Rasa amarahku kian tak terbendung saat melihat pemandangan di depan sana, ada amarah yang meletup-letup siap dilampiaskan.
Ketika tangan lancang itu ingin menampar pipi Melati, dengan gerakan cepat kutahan dengan kuat. Kemudian menghempaskannya dengan kasar. "Jauhkan tangan kotormu Alex," ucapku penuh penekanan. Lelaki sesuisaku itu hanya tersenyum remeh setelah bisa menguasai diri yang awalnya tanpak kaget atas kedatanganku secara tiba-tiba. Juga berhasil menghentikan aksinya ingin berlaku kasar. "Jangan ikut campur urusan saya juga Melati, Biantara," balasnya tertawa sumbang. Sungguh memuakan, dari dulu Alex tak pernah berubah tetap sombong karena kuasa yang dimilikinya. "Jika berurusan dengan Melati, termasuk juga berurusan dengan saya," kataku membalas tatapan sengitnya. "Oh ya? Tidak usah formal begitu. Hem, aku kekasihnya Melati, kamu siapa?" "Biantara kekasih baruku! Puas kamu Alex?" teriak Melati berhasil membuatku kaget. Tapi aku hanya bisa diam, mungkin saja Melati berkata begitu agar Alex berhenti mengusik hidupnya. "Benarkah? Lalu aku siapa? Melati Adista." "Ingat Alex, hubungan yang kita jalani hanya sebatas hubungan bisnis juga atas desakan Papa. Dan ketika Papa uda ngak ada maka hubungan kita sudah berakhir. Satu yang harus kau tahu, sesuatu yang kusesali seumur hidup adalah pernah dikenal publik sebagai kekasih Alexandra Mahesa.. Lelaki gila," pekik Melati mengeluarkan amarah yang selama ini hanya bisa terpendam. "Kau.." "Silahkan pergi, atau saya akan memanggil pihak keamanan rumah sakit," ancamku ketika Alex ingin kembali menampar Melati. Alex balas menatapku dengan tajam. Kobaran api kemarahan dan permusuhan terlihat jelas. "Awas kalian berdua, tunggu pembalasan untuk kalian." Setelah mengatakan itu Alex melangkah pergi diikuti ajudan setianya. Tidak heran lagi, Alex hanya lelaki lemah bermodalkan otak licik agar bisa tenar nama. Ketika bayangan Melati benar-benar pergi barulah kurengkuh Melati dalam dekapan. Aku tahu apa yang dirasakannya, sebab hal menyakitkan itu lebih dulu kualami. Meskipun Papa dan Mama Melati suka bertindak memaksa, tapi mereka hanya ingin yang terbaik untuk anaknya meskipun caranya yang salah. Gadis itu tersenggal-sengal dalam tangisannya, jiwa Melati pasti terguncang hebat atas kepergian kedua orang tuanya. Aku tak perlu dijelaskan lagi sebab pesan yang dikirim Melati semalam telah memperjelas semuanya, belum lagi banyak berita mengegerkan kota. Bahwa pengusaha kaya Mario Adista bersama sang istri, Inara Adista. Mengalami kecelakaan hebat hingga nyawa keduanya tak bisa tertolong lagi. "Aku ngak tahu harus bahagia atau sedih atas kepergian Papa dan Mama. Tapi jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin berteriak sekerasnya bahwa aku telah bebas. Tapi ternyata aku ngak bisa Bi, aku ngak bisa." Tangisan keras Melati membuatku bingung ingin menanggapi seperti apa. Hanya bisa diam mengusap kepala Melati memberikan ketenangan. "Kamu pantas sedih Mel, kamu pantas Menangis. Tapi terlepas dari semuanya. Aku cuma berharap mungkin ini jalan menujumu untuk bahagia. Tak akan ada lagi orang menuntutmu untuk terlihat sempurna, mari jalani kehidupan sesukamu Mel, tanpa kekangan orang tuamu!" bujukku agar Melati berhenti menangis, akan semakin membuat kesehatannya menurun. "Makasih ya Bi, dari dulu kamu selalu ada untuk aku!" ucapnya merebakkan senyum meskipun terlihat terpaksa. "Santai aja Mel." "Bi?" "Hemm" gumamku menanggapi. "Sekarang aku ngak punya siapa-siapa lagi, kamu mau ngak nikahi aku Bi. Aku ingin merasakan hidup bahagia." Aku menelan ludah susah payah mendengar permintaan Melati. Tentu saja aku tak bisa, sebab sudah ada Alinda, melepaskannya tentu saja aku tak bisa apalagi kami baru berbaikan. Melati tanpak merajuk sebab ucapannya tak kutanggapi, tapi kali ini biarlah ia merajuk sampai lelah. Bagaimana mau membujuk sedangkan aku sibuk bertarung dengan pikiran. Merasa bosan karena kami saling mendiamkan, akhirnya aku pamit pulang. Tiba dirumah Alinda sedang sibuk bertarung dengan alat dapur. Dalam hati aku memuji keterampilan Alinda yang tanpak cekatan dalam berkerja. Dari sinilah aku sadar melepaskan Alinda bukan pilihan yang benar. "Lagi apa?" tanyaku meskipun sudah tau. "Mas? Tadi kemana buru-buru?" Bukanya menjawab Alinda balik bertanya. "Urusan perkerjaan!" jawabku terpaksa berbohong. "Bukanya hari ini libur?" Aku terngangap ketahuan berbohong pada Alinda. "Emang, tapi tadi ada sedikit hal mendesak!". "Bunda tadi kesini." "Bunda kesini?" tanyaku was-was. Takut Alinda mengatakan yang tidak-tidak karena aku tidak ada dirumah. "Bunda pasti nanya aku, kamu jawab apa?" "Kepasar beli sayur." "Hemm." "Mas, aku ingin cerita sama kamu!" ucap Alinda bergerak kewastafel untuk mencuci tangan. Setelah mengerikan tangannya, Alinda menariku untuk duduk dikursi meja makan. Ia juga duduk tepat di depanku. "Ceritalah.." kataku lebih dulu karena Alinda tak kunjung berucap. "Ini mengenai masalalu, Alin. Setelah ini Alin berharap kita tidak membahas masalalu yang sudah-sudah." "Jadi benar kamu mantan, pel*cur,'' tanyaku sepontan. Meskipun masih ada rasa kecewa namun tak seperti awal mengetahuinya. "Mas. Dengarkan dulu cerita Alin," pintanya memelas. "Lanjutkan." "Mas Bian pernah mendengar berita viral 2 tahun yang lalu, mengenai seorang wanita yang dianiaya, dirusak secara paksa. Setelah mengalami semua itu korban dirawat dirumah sakit selama 6 bulan. Pelaku semua itu selaku pamanya sendiri dan kawan-kawan pamanya yang dijual oleh Pamanya hanya demi uang, miris sekali bukan. Mereka semua dikenai 5 tahun penjara. Hanya 5 tahun Mas, semuanya dimudahkan hanya karena uang. Lalu bagaimana dengan korban yang telah mereka rusak. Selain kehormatan dan harga dirinya turut hilang. Ia juga butuh waktu untuk keluar dari rasa trauma yang hampir gila." Penjelasan Alinda berhasil menarikku pada berita yang lagi hangat-hangatnya sekitar 2 tahun lalu. Berita itu sempat mengegerkan dunia masa lalu lenyap berjalan seperti biasanya. "Mas juga merasa itu tidak adil.. Tapi banding yang diajukan pelaku sangat mempengaruhi." Alinda tak menjawab hanya sibuk menghapus air matanya. Pada akhirnya aku sadar ada yang aneh dari cerita yang dibuka Alinda. "Kamu kenal wanita itu?.. Atau?" "Ya Mas, itu aku. Alinda Tasifa Bella, yang hanya dicantumkan pada berita inisial saja, ATB." Aku terdiam mendengar semua itu, tak kusangka berita malang yang sempat viral ternyata dialami oleh istriku sendiri.. Rasa bersalah menyerang karena menuduhnya yang tidak-tidak. Padahal Alinda korban disini. "Alin, kamu kenapa sayang?" tanyaku panik saat melihat Alinda mengalami sesak nafas hebat. Wajahnya yang putih terlihat pucat. Tanpa pikir panjang aku segera membawa Alinda menuju rumah sakit. - - - Bersambung."Apa?.. Alin mengidap kanker otak?"Sontak saja tubuhku menegang mendengar pertanyaa Alinda."Sayang..." kataku berusaha berkilah."Mau sampai kapan kalian merahasiakanya pada Alin?""Dr. Indra!" sahut kami secara bersamaan.Alinda menatap kearahku dan juga Bunda dengan pandangan getir, tak lama kemudian air mata telah lolos membasahi pipi putih pucatnya."Sayang..!" Aku langsung memeluk Alinda untuk menenangkan kondisinya.Bisa dibayangkan seperti apa mental Alinda saat ini, siapa pun ia tak akan sanggup dengan penyakit ganas yang telah Alinda alami. Apalagi dari penuturan Bunda sudah stadium tiga. Memikirkan itu semua menghancurkan pertahananku agar tidak menangis.Memang pada kenyataanya maut telah ditentukan, tapi ada kala masa kematian itu jangan dulu menghampiri setidaknya sampai siap. Tapi menunggu kata 'siap' tentu tak mudah. Tapi terlepas dari semuanya, satu harapan agar ihklas melepaskan yaitu puncak tertinggi dari bahagia telah dirasakan. "Kita hadapi sama-sama, oke!" ucap
Sekujur tubuhku rasanya bergetar hebat ketika menyaksikan rekaman CCTV di mana Alinda mengalami kekerasan dari lelaki gila itu, siapa lagi kalau bukan Bram.Awal mula sepertinya Alinda mendengar bunyi ketukan pintu tanpa suara salam seseorang. Detik selanjutnya Alinda terdorong masuk hingga terhempas jatuh kelantai. Aku melihat dengan pandangan nyilu betapa sakit yang dirasakan Alinda. Bisa di lihat berkali - kali Alinda mencoba melindungi area perutnya.Dalam rekaman tanpak Alinda dan Bram terlibat perbincangan berhasil memancing emosi terbukti dari gurat wajah saling menegang, meskipun aku tak tahu apa yang mereka katakan. Sebab suara tidak terlalu jelas terdengar.Rekaman selanjutnya Bram telah mengijak perut Alinda hingga Alinda mengerang kesakitan, namun Alinda masih mencoba melindungi diri juga kedua nyawa anak kami dengan cara mengigit tangan Bram.Tapi justru kepala Alinda di tarik bahka bahkan jilbabnya ikut terlepas, kemudian tubuh Alinda telah melayang keras pada meja berba
Menatap kearah dua makam kecil masih terlihat baru terbukti dari tanah yang merah juga masih terlhat basah. Padahal sudah dua hari berlalu tapi masih belum kering mungkin saja karena faktor hujan yang menyerang deras bumi siang tadi."Berbahagia lah kalian di sana nak!" Setelah menyertakan bacaan Al- Fatiha aku beranjak pergi. Pasalnya awan di langit terlihat bergumpal - gumpal, aku yakin cepat atau lambatnya awan itu akan segera mencair dan menjatuhkan diri ke bumi.Mengusap air mata kasar karena rasa sakit masih kentara terasa. Ternyata penantianku selama ini hanya berujung sia - sia, lalu pantaskan diri ini untuk kecewa?."Bian!..." Gerakanku ingin membuka pintu mobil terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namaku."Melati," sapaku karena ternyata yang memanggil namaku adalah Melati.Meskipun hampir tiga tahun kami tak pernah bertemu tapi wajah itu masih teringat jelas dalam ingatanku. Sepertinya ia ingin mengunjungi makan orang tuanya. "Haii! Apa kabar Bian?" "Baik." jaw
"Mohon isi surat persetujuanya dulu Pak, bahwa Ibu Alinda akan segera kami oprasi. Untuk melihat perkembangan lebih lanjut terkait Ibu dan jan*innya."Dengan tangan gemeter aku meraih pulpen yang diberikan oleh suster itu, detik berikutnya garis tinta telah melekat diatas kertas putih persetujuan orpasi yang akan dilakukan pada Alinda.Menit berikutnya aku tersadar bahwa suster tadi telah pergi setelah mengucapkan terimakasi. Mataku tertuju pada pintu ruangan oprasi yang sudah tertutup beberapa menit yang lalu. Lampu diatas menyala terang membuktikan oprasi sedang berjalan.Mengusap wajah berkali - kali bahwa saat ini aku sedang frustasi. Tidak memperdulikan perut yang terasa melilit akibat belum diisi. Belum lagi tubuh terasa gerah karena tidak menjumpai air dari pagi tadi.Kilasan bayangan demi bayangan yang telah kulalui hari ini terus mengusik pikiranku. Masih teringat jelas banyaknya darah Alinda yang berceceran apalagi saat aku mengangkatnya kemobil. Mengingat itu semua aku tak
Aku menatap kearah Dr. Liona dengan perasaan kesal luar biasa. Bukanya tadi ia membawaku kesini untuk makan dan juga berdiskusi masalalu Alinda.Tapi hampir 10 menit berlalu ia tak kunjung buka suara, ia makan dengan tenang tanpa mengubris siapa pun. Termasuk menawarkanku untuk ikut makan juga tidak. "Allhahdulilah! Sudah selesai." Aku semakin kesal ketika Dr. Liona memandangiku tanpa rasa bersalah atau merasa tidak enak. Padahal ia makan sudah sangat lama walaupun hanya menghabiskan nasi goreng yang ukuranya tak seberapa."Kenapa tidak bicara? Apa perlu saya lebih dulu bersuara?""Saya punya adab. Menghormati ketika orang makan." Dr. Liona mengganguk singat seolah tak peduli."Yang saya ketahui Alinda mengalami trauma berat akibat masalalunya. Setahu saya sudah hampir beberapa tahun yang lalu Alinda keluar dari masa pengobatanya, karena sudah clear.. Intinya Alinda telah sehat berhasil melalui masa traumanya dengan baik. Lalu apa lagi yang perlu dipermaslahkan?""Dokter ingat saat s
Mas! Aku lihat kamu akhir - akhir ini sering melamun deh! Kenapa?. Seharusnya senang karena ngak lama lagi keluarga kita akan lengkap," ucap Alinda. Berhasil membuyarkan lamunanku.Menampilkan senyuman kemudian mendekat pada Alinda. "Mas ngak sedang melamun, cuma kepikiran sama tugas kantor yang akhir - akhir ini menumpuk," kataku menyakinkan Alinda, benar saja Alinda mengganguk percaya.Padahal aku sedang memikirkan Pamanya, Bram Wijaya. Selain memukirkan ucapan sekaligus fakta yang ia katakan aku juga berfikir bagaimana membuat ia tidak pernah bertemu dengan Alinda.Meskipun itu mustahil apalagi setelah mendengar ancamanya ketika di lobi kantor tadi. Dari penampilanya sosok Bram tak pernah main - main dari apa yang ia katakan.Tapi setidaknya jika Bram dan Alinda bertemu jangan sekarang, setidaknya sampai anak kami nanti lahir kedunia.Aku tak mau kondisi Alinda memburuk dan berakibat fatal pada calon anak kami. Apalagi dengan kondisi Alinda seperti yang dikatakan Dr. Indra.Sangat