Selamat membaca~
-
Asya berjalan menuju ruangan Divisi Produksi untuk menyerahkan map titipan Angkasa. Di sana Asya menemui Kepala Divisi langsung, yaitu Galih Kusuma. Setiap Divisi tidak memiliki ruangan khusus untuk kepalanya, karena bagi Angkasa setiap kepala harus dekat dengan anggotanya. Maka dari itu dia tidak membuat ruangan khusus bagi Kepala Divisi pada setiap divisi.
“Halo Acha, cari siapa?” sapa Rania selaku anggota dari tim Produksi.
“Kak Galihnya ada?” jawab Asya kepada seniornya itu dengan sopan.
“Ada kok, di tempat duduknya.” jawab Rania.
“Baik, terima kasih ya Kak.”
Asya berjalan lurus untuk bisa sampai pada meja kerja Galih. Sesampainya di sana, Asya memberikan map itu tepat di hadapan Galih yang tengah fokus menatap hasil desain dari subdivisinya.
“Wih, cakep banget baju renangnya,” ujar Asya kagum pada hasil desain yang terpampang jelas di layar monitor Galih.
“Kamu kenapa di sini?” tanya Galih saat menyadari kehadiran Asya ada di sampingnya.
“Ini, dari Pak Angkasa.” Uuar Asya.
Galih pun mengambilnya dan melihat isinya dengan saksama. “Bahan dasarnya di ubah lagi?” tanya Galih
Asya menatap Galih bingung, karena ini bukan bidangnya. Asya hanya tahu sedikit tentang produksi, namun tidak mendalam. “Kata Pak Angkasa tadi, hasilnya sesuai rapat kemarin. Kan Kak Galih sendiri yang hadir di rapatnya.” jelas Asya yang membuat Galih mengangguk.
“Iya juga ya,” lirih Galih baru menyadari bahwa dirinya juga ikut andil dalam rapat persiapan launching produk baru.
“Makasih ya Cha.” ujar Galih seraya tersenyum.
Aysa mengangguk, “Santai aja kali. Kalau gitu, aku balik dulu ya Kak.” pamit Asya.
-
Angkasa berjalan menuju meja kerja milik Asya. Dia bisa melihat bahwa pegawainya satu ini memang beda dari yang lain. Di saat semuanya sibuk menikmati waktu istirahat untuk bisa makan di kantin perusahaan, Asya hanya berdiam diri untuk menidurkan dirinya sejenak.
Angkasa pun mengetuk meja itu dua kali, membuat Asya kembali menegapkan tubuhnya untuk melihat siapa pelakunya. Asya terkejut saat melihat Angkasa sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam. Asya segera berdiri dan menyambut kedatangan Angkasa dengan senyuman manis.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Asya seraya membenarkan rambutnya yang di yakininya sangat berantakan.
“Jam milik anda memang berbeda dari rekan kerja yang lain ya?” tanya Angkasa dengan nada dingin dan ekspresi datar.
Asya mengernyit bingung. Dia melihat ke sekeliling ruangan Divisi yang di tempatinya. Hampir semua orang yang ada di dalamnya menghilang, termasuk Sila. Asya pun melirik jam dinding besar yang ada di hadapannya. Rupanya sudah masuk jam istirahat.
“Maaf Pak,” ujar Asya lirih.
Angkasa menghela napas beratnya, “Saya tidak suka melihat pegawai saya tertidur di atas meja kerjanya. Jadi jangan sampai terulang.” tegas Angkasa.
Asya mengangguk paham. Jef pun menarik jas milik Angkasa saat mendengar suara lantang Angkasa yang selalu memarahi Asya.
“Oh iya, saya mau titip Jef sama anda. Dia tidak mau saya ajak rapat dan minta main sama kamu. Kalau sudah masuk jam kerja, antar dia ke ruang kerja saya lalu anda bisa balik kerja. Jef bisa main sendiri.” titah Angkasa
Asya mengangguk paham. “Baik Pak.” jawabnya.
Angkasa berjongkok, dia memegang kedua pundak kecil milik Jef. Angkasa menatap anaknya dengan tegas, seolah sedang memberikan pesan yang tidak boleh di lupakan oleh anak berumur lima tahun itersebut.
“Papa kerja dulu, kamu sama Tante Asya. Jangan bandel, kalau sudah waktunya jam kerja, tunggu Papa di ruang kerja. Jangan gangguin Tante Asya yang lagi kerja. Papa tidak suka.” ujar Angkasa yang memberikan pesan panjang kepada Jef.
“Siap Papa Asa.” balas Jef seraya mengangguk senang.
Asya pun merentangkan tangan kirinya untuk dapat menggandeng tangan kecil milik Jef. Angkasa bangkit saat Jef sudah berpindah di samping Asya. Setelahnya Angkasa pun pergi meninggalkan Asya dan Jef disana.
“Jef sudah makan siang?” tanya Asya pada anak kecil itu.
Jef menggeleng, “Jef gak boleh jajan sembarangan sama Papa Asa.” jawabnya.
“Kenapa?” tanya Asya lagi.
“Katanya kotor. Nanti buat Jef sakit.” jawab Jef.
Asya menghela, dia tahu bagaimana sikap Angkasa di kantor. Jadi Asya tidak heran jika Angkasa akan bersikap keras pada Jef, meskipun itu dengan anaknya.
“Kalau sama Tante Acha, Jef boleh jajan apapun. Tante Acha yang belikan. Asalkan Jef makan ya. Kasihan nanti perutnya sakit kalau gak makan siang.” ujar Asya dengan nada ramah yang terdengar sangat hangat bagi setiap anak kecil yang mendengarnya.
“Tapi jangan bilang ke Papa Jef ya,” pinta Jef dengan raut memohon.
Asya tersenyum seraya mengangguk. Dia menyerahkan jari kelingkingnya tepat di hadapan Jef. “Tante Acha janji gak akan bilang ke Papa Jef.” ujar Asya.
Jef ikut tersenyum dan menautkan jari kelingkingnya pada jemari Asya. Asya memeluk anak dingin itu dengan hangat, membuat Jef merasa nyaman berada dipelukan hangat yang sedari kecil tidak pernah dia terima.
Selamat membaca~ - Asya membawa Jef untuk makan di kantin perusahaan. Berbagai macam arti dari sorot mata, kini menemani langkah kecil Asya yang tampak gusar dan tak nyaman. Namun dia berusaha keras untuk terlihat biasa saja agar tidak menciptakan rumor pedas di mulut perusahaan. Asya melihat Sila yang sedang berdiri memesan makanan, dia akhirnya membawa Jef untuk menghampiri Sila. “Katanya sahabat, kok aku ditinggal sih.” tegur Asya dengan melihat lurus kearah menu yang ada dihadapannya. “Loh, udah bangun? Maaf banget, tadi mau bangunin tapi aku gak tega. Ya udah niatnya biar aku yang beliin kamu makanan, baru deh bangunin kamu.” jelas Sila tak enak hati. “Gara-gara kamu gak bangunin aku, Pak Angkasa tadi yang bangunin aku. Gila banget sih kalau wajahnya di ingat-ingat,” gerutu Asya dengan bergidik ngeri. Sila tersenyum saat melihat adanya Jef yang berdiri di samping Asya. Mata Sila bergerak dengan wajahnya yang menghadap kearah Asya. “Ada anaknya, jaga u
Selamat membaca~ - Asya masuk ke dalam kamar kost miliknya. Hari ini adalah hari yang melelahkan untuknya. Tidak hanya untuk raganya, namun jiwanya juga terguncang saat menyadari bahwa esok ia kembali menjadi pengangguran. Mencari kerja di kota metropolitan ternyata sangat susah, harus banyak usaha dan kesabaran dalam mencarinya. Usaha Asya untuk masuk kedalam Sandhaya Sea Company tidaklah mudah, namun ia dikeluarkan dengan sangat mudah. Hal itu membuat Asya seolah mentertawai dirinya yang sangat konyol. Saat ia sedang berbaring dan meratapi kesedihannya, pintunya diketuk dengan tak wajar oleh seseorang. Asya tahu siapa orang yang mengetuknya dengan tak sopan seperti ini. Ia pun bangkit dan segera membukanya. “Ada berita kalau kamu di pecat dari perusahaan. Benar gak sih?” ujar Sila dengan raut wajah serius. Asya mengangguk seraya memeluk Sila. Ia menangis dalam dekapan Sila. Sila adalah saksi bisu bahwa betapa sulitnya bagi Asya untuk bergabung ke perusaha
Selamat membaca~ - Asya menghentikan kakinya tepat dihadapan rumah tempat alamat yang sudah dikirimkan oleh Adrian semalam. Rumah sederhana dengan banyak sandal yang berserakan, tidak jauh dari yang sudah ia bayangkan. Namun tetap saja realita untuk menyambung hidup akan sulit jika hanya bergantung pada pekerjaan yang harusnya bisa dibilang sebagai relawan. “Halo, ada yang bisa saya bantu?” ujar seorang laki-laki yang baru saja keluar dari rumah yang dipandangi oleh Asya. Asya tersenyum seraya melangkah maju untuk menghampiri laki-laki dengan tubuh jangkung dan proporsional itu. “Saya mau bertemu dengan mas Adrian. Apa beliau ada?” ujar Asya yang langsung menjelaskan maksud tujuan kedatangannya. “Mbak Asya? Saya Adrian.” Balasnya seraya mengulurkan tangannya untuk mengajak Asya berjabat tangan. “Halo, mas Adrian. Saya Ashalina El Carissa, mas bisa panggil saya Acha. Saya sahabatnya Sila.” Ujar Asya seraya membalas jabatan tangan dari Adrian. “Saya Adrian Gibraseno, s
Selamat membaca~ - Asya tersenyum ke arah para murid yang baru ia temui hari ini. Kata Adrian, hari ini ia bisa langsung mengajar dan bertemu dengan para murid. Sebelum memasuki ruangan, Asya menarik napasnya dalam-dalam. Ia berusaha meniatkan langkahnya untuk bisa dekat dan mengajari mereka moral yang baik dalam bersosialisasi di lingkungan. “Halo adik-adik, selamat pagi. Apa kabar semuanya?” ujar Adrian bertanya pada lima belas murid yang duduk di kelas tiga sekolah dasar itu. “Baik pak Rian.” Jawab mereka dengan serempak. “Hari ini Bapak Rian ajak guru baru yang cantik untuk mengajar kalian. Namaya Ibu Asya, coba disapa dulu Ibunya,” perintah Adrian dengan nada dan suara yang lembut layaknya sedang berbicara dengan anak kecil. “Halo bu Asya.” Sapa mereka dengan semangat. “Halo adik-adik. Selamat pagi. Nama Ibu Ashalina El Carissa, kalian bisa panggil Ibu Acha.” Jelas Asya dengan nada dan suara yang sama lembutnya dengan Adrian. Untuk mendekatkan hubungan antara A
Selamat membaca~ - Angkasa duduk dengan fokus mengarah pada layar proyektor yang menampilkan hasil kerja Departemen Produksi dalam pembuatan produk baru yang akan diluncurkan sebentar lagi. Semua masukan maupun revisi yang diterima di bulan lalu oleh Galih Kusuma selaku kepala Departemen Produksi, kini dikemas kembali dengan apik dengan penyampaiannya yang lugas. Model design gambar produk juga ia tampilkan, Galih juga menjelaskan secara rinci model produk mulai dari bahan, fungsi utama kegunaan, tujuan yang dicapai pada produk baru, hingga detail design produk. Semua tampak memperhatikan setiap penjelasan Galih dengan seksama. Hingga ada seorang laki-laki yang lebih tua dari Angkasa memotong penjelasan dari Galih. “Apa menurut anda bahan yang digunakan sudah benar? Bukankah bahan seperti itu tidak cocok digunakan untuk pakaian renang?” sela lelaki separuh baya yang memiliki tampang sedikit menyebalkan. “Mohon izin untuk menjawab. Untuk masalah bahan, Depar
Selamat membaca~ - Angkasa masuk ke dalam kamar Jef untuk memastikan apakah anaknya sudah tidur atau belum. Dia menghela napas lelah saat Jef menatapnya dengan mata terbuka lebar. Hari ini anak lelakinya itu sangat sulit untuk diatur. Angkasa melangkahkan kakinya untuk mendekat kearah Jef yang masih bermain iPad miliknya. Angkasa duduk disamping kasur Jef sembari mengusap kepala Jef dengan lembut. “Kenapa Jef belum tidur?” tanya Angkasa. Jef diam dan tangannya bergerak untuk menuliskan sesuatu pada layar iPad miliknya. “I miss her.” tulisnya yang mengartikan jika dia merindukan kehadiran Asya. Angkasa menghela napas berat sekali lagi, “Jef, disini ada Papa. You don’t need anyone, except Papa.” tegas Angkasa jika Jef tidak memerlukan siapapun kecuali dirinya. “I like her. Mama Acha.” tulisnya lagi. Memang anak dan Bapak satu ini memiliki kesamaan, yaitu keras dan tidak bisa dikalahkan. Angkasa mengambil paksa iPad milik
Selamat membaca~ - Angkasa bagun setelah alarm miliknya berdering. Sebenarnya dia tidak betul-betul tidur dengan nyeyak setiap harinya. Maka dari itu, mendengar suara alarm bagi Angkasa bukanlah suatu hal besar dan menjengkelkan. Angkasa bangkit untuk membuka gorden kamarnya, membiarkan sinar mentari masuk ke dalam ruangan kamarnya yang dingin. Setelahnya dia beralih ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan bersiap untuk berangkat kerja. Setelah menghabiskan beberapa waktu di dalam kamar mandi, kini Angkasa keluar dengan handuk yang melingkar pada pinggangnya. Dia berjalan menuju walk in closet yang berada di dalam kamarnya. Angkasa tampak memilih baju yang akan digunakan untuknya berangkat kerja hari ini. Tak lupa Angkasa juga memilih dasi dan jam tangan yang cocok untuk menunjang penampilannya hari ini. Setelah selesai, dia beralih menuju kamar Jef. Angkasa selalu menyempatkan dirinya untuk memeriksa keadaan Jef sebelum berangkat kerja. Wal
Selamat membaca~ - Jef duduk di bangku sekolahnya dalam keadaan diam. Dia enggan bercengkrama dengan orang sekitarnya, termasuk guru yang mengajarnya. Tari yang selalu menjaga Jef tidak bisa ikut masuk ke dalam kelas selama kelas berlangsung. Dia hanya bisa memantau Jef dari ruang tunggu. Jef tampak bosan dengan pelajaran yang sudah dikuasainya. Dia menunduk dan menyandarkan kepalanya pada meja dengan lemah. Jef tidak memiliki tenaga untuk memperhatikan setiap perkataan guru yang sedang mengajarnya hari ini. “Jefrey, can you answer the question?” tanya guru yang sedang menanyakan jawaban dari pertanyaan yang dibuatnya. Jef disekolahkan oleh Angkasa di sekolah Internasional. Angkasa ingin memberikan pendidikan terbaik versinya untuk sang anak agar masa depannya cerah. Jef diam dan tidak menjawab. Membuat guru yang bernama Yulia itu berjalan mendekat kearahnya. “Jefrey, are you okay?” tanya Yulia saat melihat wajah pucat Jef. Sontak