Share

Bab 3. Telepon dari Rumah

"Nggak apa-apa mas, tidak jadi."

Reyhan menyatukan ke dua alisnya kebingungan, namun karena pekerjaan yang banyak membuatnya memutuskan untuk bertanya nanti dan melanjutkan pekerjaannya membaca laporan.

Freya pun pamit masuk ke dalam kamarnya, setelah kegundahan sepanjang malam kemarin ditambah dengan makan banyak membuatnya mengantuk.

"Hoam."

Tak butuh waktu lama Freya pun tertidur pulas dan terbangun dengan sebuah tangan yang melingkari tubuhnya.

"Mas, Mas Reyhan."

Freya terkejut saat melihat siapa yang sedang terbaring di sebelahnya, tatapan matanya beralih pada tangan yang melingkari perutnya, tangan berotot yang membuatnya tidak bisa beranjak dari tempat tidur.

Gadis dengan baju tidur berbahan satin itu sedikit menggeliat, entah bagaimana caranya Reyhan sudah tidur di sebelahnya sedangkan dia sangat yakin bahwa sore tadi dia tidur sendiri karena merasa kelelahan. Meskipun begitu Freya yang kini masih terbaring seolah terhipnotis oleh wajah teduh di hadapannya, wajah Reyhan yang sedang tertidur nyenyak tampak sangat menyejukkan, berbeda halnya dengan saat laki-laki itu membuka mata yang mana hanya akan memberikan dampak kedinginan untuk orang-orang di sekitarnya.

"Dia tampan sekali jika sedang terlelap seperti ini,'" ucap Freya dalam hati.

Lama dia memandangi wajah terlelap Reyhan, hidungnya yang mancung, alisnya yang tebal, dan rahangnya yang tegas sangat menggambarkan wajah tampan yang dimiliki oleh laki-laki itu. Bukan berarti Freya baru menyadari hal tersebut, sudah sangat lama Freya tahu bahwa laki-laki yang kini berstatus sebagai suaminya adalah orang yang tampan, namun sifat acuh dan dingin laki-laki itu membuat wajah tampan yang dimiliknya seolah tertutupi oleh kabut gelap. Freya tidak pernah mengira bahwa laki-laki delapan pintu inilah yang kelak menjadi suaminya, sedangkan selama ini dia selalu membayangkan keluarga yang hangat dan romantis, sungguh sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi pada keluarganya nanti.

Setelah berusaha payah Freya akhirnya berhasil keluar dari kukungan tangan berat yang melilit tubuhnya, dengan perlahan Freya beranjak dari kasur dan melangkah keluar dari kamar, dia takut akan menggangu tidur Reyhan dan membuat laki-laki tersebut marah karenanya.

Freya berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air, diteguknya dengan cepat karena rasa haus dan gugup yang bersamaan.

"Huh, sungguh detik-detik yang sangat mendebarkan," ucap Freya lirih.

Tiba-tiba saja Freya merasa lapar dan dengan segera dia mencari apa saja yang sekiranya bisa dia makan, akan tetapi setelah beberapa saat dia tidak menemukan apapun untuk dimakan hingga membuatnya cukup frustasi. Entah mengapa akhir-akhir ini dia sering merasa kelelahan dan lapar berlebih namun karena keadaan akhir-akhir ini membuatnya tidak bisa makan banyak meski perutnya terasa lapar.

"Apa aku memasak saja ya? Rasanya sangat boros jika terus-terusan beli di restoran," ucap Freya bermonolog sambil membayangkan kartu ATM yang pernah Reyhan berikan padanya.

"Tapi bagaimana jika mas Reyhan tidak suka aku masak? Ah biarlah, siapa yang akan tahu jika tidak dicoba."

Freya akhirnya berjalan ke arah tasnya yang masih terletak di ruang santai dan berjalan keluar rumah setelah menggunakan jaket. Karena minimarket terletak tidak jauh dari apartemen dia memutuskan untuk tidak berganti baju, lagi pula baju tidur yang dia gunakan saat ini adalah sebuah terusan panjang berbahan satin tebal dan cukup hanya di lapisi blezer.

Dengan segera Freya keluar dari apartemen dan berjalan menuju minimarket terdekat, di sana dia membeli bahan-bahan makanan yang sekiranya mudah untuk dimasak, dia hanya membeli beberapa bahan makanan seperlunya karena tidak berani mengeluarkan uang banyak dari kartu ATM milik Reyhan. Setelah merasa cukup dia pun kembali berjalan menuju apartemen.

Di tengah perjalana Freya tiba-tiba merasakan kram di perutnya, dia berjongkoh sambil memegangi perutnya, keringat di keningnya bercucuran. Freya ingin meminta bantuan pada orang-orang di sekitarnya namun dia tidak sanggup meski hanya untuk bersuara, hingga terdengar seorang wanita yang datang menghampiri dan bertanya padanya.

"Nona, apa kamu baik-baik saja?" tanya wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan.

"Tolong, perut saya sakit," ucap Freya lirih.

"Di dekat sini ada klinik, mari saya antar kamu kesana."

Freya menganguk, wanita itu kemudian memanggil taksi dan membawa Freya ke klinik terdekat. Dokter segera memeriksa keadaan Freya dan menuliskan sesuatu setelahnya.

"Apa anda sedang hamil?" tanya dokter tersebut.

"Iy Dokter," jawab Freya.

"Apa anda pernah terjatuh ada mengalami sesuatu yang mengakibatkan guncangan cukup hebat?" tanya dokter itu lagi.

"Iya Dokter belum lama ini saya sempa terjatuh, namuj ini pertama kali saya merasa sangat kesakitan setelah insiden itu."

"Sebaiknya anda lebih banyak instirahat, insiden itu memang tidak berakibat fatal untuk saat ini namun itu bisa memicu kram dan rasa sakit jika anda tidak beristirahat dengan baik."

"Baik Dokter terimakasih."

"Ini resep obatnya silahkan tebus di bagian farmasi."

Freya mengambil kertas tersebut dan keluar klinik setelah menebus obat.

"Terimakasih karena sudah membantu dan membawa saya ke klinik," ucap Freya yang baru di tahu bernama Laras.

"Sama-sama, semoga kamu lekas sehat kembali."

"Terimakasih."

Mereka berdua berpisah, Freya menaiki taksi menuju apartemen Reyhan dan dia segera meletakkan barang belanjaannya di meja dapur.

Butuh waktu satu jam untuk Freya menyelesaikan masakannya, tepat saat dia sedang menyajikan di meja makan dia melihat pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok Reihan dengan muka bantal serta rambut berantakan khas orang bangun tidur.

"Mas Reyhan sudah bangun?" tanya Freya basa basi.

"Hmmm," jawab Reyhan seperti biasanya.

"Mas Reyhan mau saya buatkan kopi?"

"Kamu masak apa?" tanya Reyhan tanpa menggubris pertanyaan yang Freya layangkan.

"Saya masak spaghetti dan ayam goreng, apa Mas Reyhan tidak suka dengan masakannya?" Freya menunduk khawatir, dia sangat takut Reyhan tidak suka dengan inisiatifnya memasak.

Tanpa menjawab pertanyaan dari wanita itu Reyhan segera masuk ke dalam kamarnya dan keluar 5 menit kemudian dengan wajah dan rambut yang sudah lebih segar, laki-laki itu kemudian duduk di meja makan tepat di depan makanan tersaji.

"Kenapa diam saja? Apa masakan ini bukan untuk saya?" tanya Reyhan kemudian.

Freya yang mendengar pertanyaan itu langsung merasa gugup dan salah tingkah, dia pun segera duduk di meja makan dengan canggung.

"Mas Reyhan tidak marah karena saya masak untuk makan malam kita?" tanya Freya sebelum menyentuh makanannya.

"Kenapa saya harus marah? Apa kamu membuat kesalahan?"

"Bukan, bukan itu Mas," jawab Freya sambil mengibaskan kedua tangannya.

"Lalu?"

"Sa-saya tadi menggunakan uang yang ada di ATM Mas Reyhan berikan pada saya," cicit Freya dengan menundukkan kepala.

"Lalu apa masalahnya?"

"Sa-saya takut Mas Reyhan marah karena saya menggunakan uang di kartu itu tanpa ijin Mas Reyhan terlebih dulu."

Reyhan menghembuskan napas sejenak lalu menatap ke arah wanita yang kini duduk berseberangan dengannya.

"Berapa IPKmu Frey?" tanya Reyhan kemudian.

"I- IPK? IPK kuliahku maksud Mas Reyhan?"

"Iya."

"3,5 Mas," jawab Freya bingung.

"Bukankah seharusnya kamu memiliki otak yang encer dengan IPK itu? Apalagi kamu adalah calon dokter onkologi."

"Mak- maksud Mas Reyhan apa?"

"Dengarkan saya Freya, dengan saya memberikan kartu ATM itu kepada kamu itu artinya saya sudah memberikan kebebasan pada kamu untuk menggunakan uang yang ada di dalamnya. Kamu bisa menggunakan uang itu sepuasnya untuk keperluanmu, saya akan rutin untuk mengisi saldo di dalamnya."

"Ta-tapi Mas."

"Harus berapa kali saya bilang tidak ada kata tapi Freya," ucap Reyhan mulai menunjukkan sisi dinginnya.

"Maaf Mas Reyhan," ucap Freya lirih karena merasa takut dengan tatapan laki-laki di hadapannya.

"Ayo makan! Atau kamu tidak ingin saya memakannya?"

Tanpa mengatakan apapun Freya langsung memakan bagiannya, dia sudah menyajikan dengan lengkap bagian Reyhan di atas piring tepat di hadapan laki-laki itu, keduanya pun makan dengan diam dan tenang.

Tiga puluh menit kemudian mereka sudah menyelesaikan makan malam dan saat ini keduanya masih duduk saling berhadapan.

"Apa kamu tidak keberatan jika saya meminta kamu masak setiap hari?" tanya Reyhan kemudian.

"Tidak Mas, saya tidak keberatan," jawab Freya cepat.

"Kalau begitu saya ingin kamu masak setiap hari, tapi jika kamu merasa kelelahan kamu bisa mengatakannya pada saya dan kita bisa membeli makanan."

"Tidak Mas, saya tidak keberatan sama sekali."

"Baiklah kalau begitu sepakat, kamu bisa menggunakan uang yang ada di kartu ATM itu untuk keperluan sehari-hari dan apartemen ini, kamu tidak perlu khawatir dengan saldonya karena saya akan rutin mengisinya seminggu sekali."

"Terimakasih Mas."

Tiba tiba handphone milik Reyhan berbunyi menandakan ada sebuah panggilan, laki-laki itu bergegas mengambil handphonenya yang masih terletak di sofa santai. Diangkatnya panggilan tersebut dan mendadak wajahnya tampak semakin dingin.

"Oke," jawab Reyhan lalu langsung mematikan panggilan.

Masih dengan wajah dingin Reyhan berjalan ke arah Freya yang masih duduk di meja makan.

"Besok kita akan ke rumah utama dan mengumumkan pernikahan kita," ucap Reyhan.

"Ap-apa Mas?" sahut Freya dengan wajah kaget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status