LOGIN"Kamu pernah keguguran?"
Daisha yang sedang melipat mukena tersentak samar mendengarnya. Cepat-cepat disimpan alat salat itu dan Daisha menoleh. "Maksudnya, Kak?" Mereka bertatapan. Ini subuh pertama selepas kemarin melaksanakan acara akad. Daisha sudah sah menjadi istri pria di depannya, bahkan malam pertama sudah berlalu. Pernikahan dilakukan di rumah orang tua Daisha, dan dia merupakan putri satu-satunya dari seluruh anak Papa Genta. Daisha sosok yang sangat dijaga oleh orang tuanya, terkhusus sang papa. Sejak kecil Daisha sudah dibiasakan berhijab. Diwanti-wanti untuk tidak ada main dengan lawan jenis, sekali pun itu sekadar main mata. Daisha bukan tipe pemalu sebetulnya, bukan sosok penakut juga. Terbukti dari lintas jejaknya sebagai anak rantau, kuliah di luar kota sampai S2 dan kerja sambilan sebagai MC acara besar. Tapi itu sebelum ada kejadian yang merenggut sebagian keberaniannya. "Coba lihat hape kamu, ada chat semalam. Kakak buka." Kembali pada detik ini, Garda mengucap santai sambil menatap gelagat Daisha. Ditatap begitu, Daisha langsung melaksanakan apa yang Garda ucap. Ambil ponsel, posisinya memunggungi, yang mana Garda tak akan bisa melihat ketegangan di raut Daisha saat ini. "Yang ini, Kak?" Sebisa-bisa Daisha tetap tenang, dia hampiri suami. Ditunjukkannya layar ponsel dan Garda mengiakan. "Ini teror," terang Daisha. Maaf. Daisha takut. "Jadi, pernah atau nggak?" Garda menekankan tentang isi pesannya. Terkait keguguran dan ketidakperawanan. Daisha menggeleng. "Beneran?" Garda butuh diyakinkan. "Kalau ... kalau pernah?" Jantung Daisha berdebar. "Kalau, Kak. Bukan berarti aku pernah," imbuhnya. Masih berkilah. Tatapan Garda membuat Daisha jadi dilema. "Artinya kamu udah nggak perawan." Singkat saja. Tanpa tahu ucapannya membuat hati Daisha tersayat. Sepersekian detik Daisha menggigit bibir bagian dalam. "Oh, iya. Kalau pernah keguguran udah pasti nggak perawan, sih." Garda menimpali, "Tapi itu maksudnya gimana dan kenapa juga kamu diteror dengan kalimat kayak gitu? Ini yang Kakak bahas soal chat keperawanan dan anak 'kita' yang gugur." Tampaknya Garda belum puas, Daisha berpikir keras. Bukan maksud untuk berbohong, tetapi untuk jujur terasa begitu sulit. Ada yang bercokol di tenggorokan, ada yang menahan dalam dada, dan ada yang memprovokasi agar mulutnya tidak bersuara. Daisha geleng-geleng. "Nggak tahu. Nggak ngerti aku juga, Kak." Beranjaklah dia hendak mengambil jilbab, tetapi lengan Daisha dicekal. "Kakak belum selesai, nanti aja ambil kerudungnya. Kita bahas ini dulu." Seolah tahu bahwa tujuan Daisha beranjak untuk mengambil khimar. Sekarang Daisha didudukkan di sofa. Kamar nuansa abu muda yang lembut itu masih berantakan ranjangnya. Rambut Daisha juga sebetulnya masih basah habis mandi junub. Garda dengan setelan kaus oblong dan kolor, tampak begitu tampan kala rambutnya basah seperti Daisha tidak menutupi kening. Daisha sampai sudah membayangkan hari-hari indah ke depan, apalagi hal yang Daisha sebut teror itu selama ini sudah tidak pernah muncul lagi. Daisha bahkan sudah ganti kartu, tutup akun media sosial lama, dan menjauh dari nyaris semua teman—kecuali beberapa yang Daisha percaya. Sampai akhirnya memutuskan menerima salah satu pinangan yang datang ke papa, awal dari kejujuran mulai sulit Daisha ungkapkan. Laki-laki itu seorang Garda Pangestu Samarawijaya. Laki-laki yang kini duduk sambil memegang tangannya. "Ais." Tatapannya begitu menjanjikan ketenteraman dalam hidup. "Kalo nggak tahu dan gak ngerti, terus kenapa dia kayak yang tahu banget soal kamu? Seolah yang dia omongin di chat itu beneran." Garda belum teryakinkan. "Jujur aja, nggak pa-pa. Syukur kalo kamu tahu siapa orangnya." Daisha resah. Haruskah? Tapi bagaimana kalau setelah jujur, lantas hubungan yang baru sehari ini hancur? Andai Daisha tidak dibuat jatuh cinta, sepertinya sejak awal bisa dengan mudah dia beri tahukan. Namun, ada cinta yang sudah berperan. Waktu Daisha masih di luar kota, waktu papa mengabarkan tentang pinangan pria. Di mana untuk lelaki yang kali itu papa kabarkan, beliau menceritakan tanpa pernah tertinggal satu malam pun soal Garda. Daisha yang sempat terlintas untuk tidak menikah seumur hidupnya, batal. Daisha yang sempat berpikir untuk jujur tentang ketidaksempurnaannya sejak awal di hari pertama pulang dan bertemu dengan Garda, batal juga. Ada detak yang tidak biasa kala itu, yang membuatnya merasa berat mengungkapkan. "Kakak nggak percaya sama aku?" Daisha sangat berharap obrolan soal ini dilewati. Tidak bisakah seperti itu? "Kakak cuma merasa kamu nggak jujur." Daisha terdiam. Dia jujur soal teror. Dan dalam diamnya, Daisha sedang mempertimbangkan sekaligus menyiapkan diri atas konsekuensi bila— "Bener kamu masih perawan?" Narasi dalam benak Daisha terpangkas. Mata sebening telaga mereka berjumpa lebih intens. "Yang Kakak rasain gimana semalam?" tukasnya. Daisha menggigit bibir bagian dalam. Berusaha tetap tenang. "Nggak tahu. Itu yang pertama bagi Kakak. Nggak bisa bedain gimana rasanya yang masih atau yang udah nggak perawan. Tapi kamu nggak keluar darah, sih." Agak memelan di akhir kalimat. Segera lelaki itu imbuhi. "Dan Kakak tahu kalo darah gak bisa jadi patokan cewek udah gak perawan atau masih." "Maaf ...." Akhirnya, Daisha ucapkan. "Aku—" "Kamu juga pernah keguguran?" Lirih suara Garda mengalun, memotong Daisha. Dia telah membuat kesimpulan dari kata maaf istrinya. Diamnya putri Papa Genta membuat suasana jadi kurang mengenakkan. Dengan segenap keberanian Daisha merekam setiap perubahan mimik di wajah suaminya. Garda tampak lemas. Mungkin hatinya juga mencelus? Kecewa terhadapnya? Sudah pasti, kan? Daisha menunduk. "Maaf, Kak." *** Ini hari pertama bagi Daisha menjadi istri Garda, dan sekarang lelaki itu sejak pagi belum pulang juga. Daisha jawab apa ke papa dan mama saat mereka bertanya, "Mana suami kamu, Ais?" Masih di hari yang sama dengan kejadian subuh tadi. Pembicaraan soal isi pesan si peneror dan soal keperawanan hingga keguguran berakhir tanpa sempat Daisha memberi penjelasan. Garda memangkas, lalu pria itu melenggang tanpa bisa Daisha tahan. Begitu keluar dari kamar, Daisha melihat mama dan papa. Jadi, dia bertingkah seakan sedang mengantar suaminya keluar. Daisha tak mau permasalahannya tercium oleh mereka, apalagi soal ketidakperawanan. Yang paling Daisha hindari adalah informasi itu bocor ke orang tua. Sayang, Daisha belum meminta Garda supaya merahasiakannya. Lebih daripada itu, dia bahkan belum memberi penjelasan. Ah, salahnya yang di awal menahan-nahan diri. Tapi Demi Tuhan, tidak mudah baginya. Bisakah dilema Daisha dimengerti? Daisha menatap kepergian suami yang melenggang keluar gerbang, lalu tampak seperti sedang joging. Sampai sekarang belum kembali. Daisha katakan, "Tadi izinnya, sih, habis joging mau langsung ke mana gitu. Emang ada apa, Pa?" "Ke mana?" Papa malah balik bertanya. "Ke rumah Mama Gea." Daisha rasa, dia terlalu sering berbohong sehingga mudah mengeluarkan kebohongan yang lain. Namun, mau bagaimana lagi? Daisha tak mau begini, tetapi banyak hal yang membebani. Kalian tahu siapa papa Daisha? Dia laki-laki yang citranya 'baik' mengarah pada 'agamis' di mata keluarga besar berikut teman dan kenalan, sehingga menyeramkan bayangan Daisha bila ketidaksempurnaannya terbongkar. Dari hubungan rumah tangga yang baru seumur jagung ini, yang kalau teraba mulai ada retakan, bisa jadi hal yang Daisha rahasiakan terdengar. Jadi, begini dulu saja. Daisha balik ke kamar, diambilnya ponsel. Pesan-pesan yang Daisha kirim kepada suaminya bahkan masih centang dua abu. Telepon dari Daisha yang terbaru pun masih tidak terjawab. Sekali lagi dia kirimkan pesan untuk sang suami. Daisha: [Kak, udah sore. Kakak di mana?] Daisha: [Tadi papa dan mama nanyain. Aku bilang Kakak habis joging langsung ke rumah Mama Gea buat ambil motor.] Daisha: [Kak?] Daisha: [Kita masih suami-istri, kan?] ***"Pindah bentar, yuk?" Daisha terkesiap, menoleh dan mendapati putra Mama Gea di belakangnya. Posisi Daisha rebah menyamping menghadap Adya. Malam itu minta bobok di kamar mami katanya. Anak sekecil itu sudah dilatih tidur sendiri, di kamar sendiri pula. Lagi pula kamar Adya berada tepat di sebelah kamar Garda."Ais ...." Garda bisik-bisik lagi.Jangan bilang serius mau bikin adik? Selama ini Daisha KB, sih, jujur. Garda tahu, kok. Diizinkan, asal KB pil katanya biar kalau mau anak, tinggal tidak usah diminum.Tadinya sempat mau KB alami saja, tetapi setelah Daisha pikir-pikir ... tak apalah KB medis. Dibicarakannya dengan pak suami, syukur Garda langsung membolehkan.Oh, ya, ketidakjujuran Daisha di awal pernikahan itu menjadi sebuah pelajaran paling berharga bagi dirinya sendiri. Yang mana sekarang ini, mau apa-apa juga Daisha bilang dulu ke suami. Lapor, cerita, izin, dan diskusi.Tidak jauh beda dengan Daisha, Garda juga sekarang mengedepankan komunikasi. Tak lagi mendewakan emos
"Kenapa, Kak?"Sudah cukup banyak hari berlalu, sampai kini tak terasa Adya mulai bisa berjalan, mulai bisa diajak ngobrol dan nyambung. Di mana selama itu, Garda telah mempersiapkan bisnis galeri seninya di Coffee U. Namun, Daisha melihat Garda seperti termenung. Mungkin ada sesuatu yang menimpanya? Maka dari itu Daisha tanya kenapa."Ais ....""Hm?"Tuh, kan. Suaminya terlihat resah, seperti ada hal yang ingin dibicarakan, tetapi Garda bingung bagaimana bilangnya sampai-sampai termenung."Kenapa, Kak?""Kakak rasa ... pendapatan Kakak menurun." Garda sudah menggunakan seluruh tabungannya untuk perwujudan galeri tersebut. Saat itu dia yakin-yakin saja bila stok pundi-pundi dunia yang ada di rekening tabungannya akan mudah terisi lagi, mengingat penghasilan Garda sebagai konten kreator lukis tak bisa dikatakan sedikit.Awal terasa penurunannya tidaklah signifikan hingga di bulan-bulan itu Garda rasa 'wajar', nanti juga naik lagi. Namun, bulan ke bulan ... sampai satu tahun Garda ama
"Ais. Kamu inget, gak?" Garda bertanya, tetapi tatapannya di Adya, sedangkan pertanyaannya untuk Daisha.Mami Adya pun menoleh, dia sedang berbenah memasukkan pakaian ke dus, bersiap-siap mau pindahan. Furnitur sudah dikirim dan langsung dengan pengerjaan desain interior. Mungkin lusa atau besok juga selesai, sudah dari kemarin soalnya. Rencana pindahan juga diputuskan mundur beberapa hari sampai rumah benar-benar sudah tertata sampak ke isi-isinya."Ingat apa, Kak?"Adya tengkurap, Garda usap-usap punggungnya, sesekali dia juga jawil pipi si kecil. Gemas, jujur. Menatap Adya tak pernah bosan karena inilah hasil karya Garda yang sesungguhnya bersama Daisha. Bukan sekadar lukisan, tetapi buah hati mereka."Pas SMP kita camping. Tepatnya, waktu angkatan kamu kemah dan Kakak jadi seniornya."Gerak tangan Daisha henti untuk sepersekian detik, kembali menoleh menatap Garda yang tidur menyamping menghadap Adya—juga menghadap ke arah Daisha yang lesehan di dekat lemari."Ingat." Saat camping
[Kak.][Bagusan yang mana warna birunya buat langit?][Sore, Kak. Kalau buat lukis abstrak ....]Dan masih banyak lagi kiriman pesan lain dari nomor Leona, hanya saja kontak itu sudah tidak disimpan di ponsel Garda—sedang Daisha lihat-lihat, inspeksi suka-suka. Tahu bahwa itu nomor Leona karena namanya tercantum di profil.[Sedih banget Kak Garda udah nggak open jasa lukis buatku lagi, padahal langganan sejak Kak Garda baru netes. :( ]Kalau itu dari Ayla.Nomornya sudah dihapus juga di ponsel Garda. Tahu ini kontak Ayla karena dari riwayat chat sebelumnya.Garda: [Terima kasih, ya, Ayla. Selama ini udah jadi pelanggan tetap dan ....]Ungkapan macam itu kira-kira yang Garda kirim terakhir kali. Ke sini-sininya pesan Ayla tidak pernah Garda balas lagi.Kalau begini sama saja dengan memutus tali silaturahmi tidak, sih? Tapi kalau mereka masih kontakan, Daisha juga kurang senang. Salahkah? Atau sudah benar seperti ini?Suami tidak berkontak dengan lawan jenis mana pun yang berpotensi mem
Bangun tidur, habis mandi, lalu bertatapan dengan Garda menjadi hal yang membuat perut Daisha digelitiki sayap kupu-kupu imaji. Ini pasti karena kejadian semalam. Ah, tidak mau Daisha jabarkan dengan rinci. Terlalu intim, Daisha malu. Garda tersenyum-senyum, masih di kasur. Oh, azan Subuh sudah berkumandang. Makanya itu Daisha bangun dan mandi suci lekas-lekas. "Aku udah wudu, Kak," tukas Daisha saat Garda hendak menempel. Takutnya bersentuhan dengan iringan nafsu sisa semalam. Garda mengerti. "Tunggu, ya? Jangan salat duluan. Kakak imamin." "Iya ...." Lagi, pipi Daisha memanas. Ini baru benar. Ini baru rumah tangga sungguhan, serasa malam pertama yang sebenarnya, tanpa ada kekhawatiran apa pun karena tak ada kebohongan yang dirawat. Lekas Daisha siapkan alat salatnya. Hal-hal kecil macam ini jadi terasa manis, menyiapkan seperangkat alat salat untuk suami. Di sisi lain, Baby Adya masih terpejam. Oh, tentu di jam-jam tertentu Daisha sempatkan bangun untuk menyusui putranya.
Rasanya seperti yang pertama. Debarannya sama. Saat ada tatapan Garda yang tidak biasa menjamah mulai dari wajahnya, tampak berkabut, seperti ada hasrat yang perlahan berkobar. Daisha merasakan semua itu sekadar dari sorot mata dan embusan napas papi Adya. Bayi kecil mereka sudah lelap, tetapi sejujurnya Daisha masih khawatir. Bagaimana jika Adya bangun saat dirinya dan Garda sedang di puncak keintiman? Kini ... kerudung Daisha sudah dilepas, jarak wajah ke wajah juga tak sampai satu jengkal, dapat Daisha rasakan buruan napas panas pria di atasnya. Oh, tentu. Adya tidur di dalam boks bayi. Agak tercekat napas Daisha kala bibir Garda mengecup-ngecup pipi hingga ke sekitaran daun telinga. Mulai intens. Lengan Daisha juga diusap-usap. Kecupan itu turun ke rahang, Daisha agak mendongak. Meremas sprei. Jantung makin heboh saja berdetak. Betul-betul seperti sedang malam pertamaan lagi. Di mana sekarang ... bibir dan bibir yang berjumpa. Daisha memejamkan mata, pun dengan Garda. Ada







