Home / Romansa / Rahasia di Ranjang Malam Pertama / 3 | Bohong Salah, Jujur Sakit

Share

3 | Bohong Salah, Jujur Sakit

Author: Lolly
last update Last Updated: 2025-07-27 10:58:05

Hari kedua, Daisha langsung diajak pindah ke rumah pengantin baru yang dihadiahkan oleh orang tua Garda, yakni Papa Khalil dan Mama Gea.

Jawaban atas tanya Daisha di pesan tentang hubungan 'masih suami-istri' itu dijawab 'iya, masih' oleh pria yang kemarin pergi dari pagi sampai menjelang magrib. Pulang dengan membawa motor, sesuai apa yang Daisha kirim di pesan.

Daisha merasa suaminya hanya syok dan butuh waktu kemarin itu. Karena ketika makan malam berlangsung, Garda bersikap kembali hangat. Ada tawa juga di kala mengobrol dengan orang tua Daisha, rasanya melegakan.

Namun, sampai di kamar, sampai saat hanya berdua dengan Daisha, entah perasaan dia saja atau memang Garda terkesan tak sama seperti sosoknya yang tadi di ruang makan. Tapi tidak Daisha gubris, toh Garda langsung tidur meski bayangan Daisha mau ada ngobrol-ngobrolnya dulu.

Habis itu, besoknya langsung ngajak pindah ke rumah pengantin baru.

Di sini.

Hari ini.

Satu per satu keluarga yang mengantar kepindahan pun bubar. Daisha dadah-dadah, sempat cupika-cupiki dengan Mama Gea, lalu pelukan dengan Mama Nuni.

Daisha melihat kebahagiaan di raut para orang tua, mungkin karena putra mereka yang berusia 31 tahun dan putri mereka yang mendekati 30 tahun ini akhirnya menikah juga.

Yang tersisa di dalam ada sepupu Daisha, yaitu Dikara sekaligus suaminya—Daaron. Sebagai sobat Garda, Daaron masih mau main dulu di sini. Malah katanya teman-teman suami Daisha yang lain sedang di perjalanan hendak bertandang.

"Cie-cie! Akhirnya kesampean juga lo, Gar, nikah sama gadis pujaan dari zaman putih biru."

Mendengar celoteh Bang Daaron, pipi Daisha yang memerah. Diliriknya suami, Garda senyum juga.

"Iya, ya? Gak nyangka."

Begitu katanya.

Daisha mengulum senyum. Ini pertanda baik, kan?

"Gimana? Sedap, kan, 'pecah telor'? Abis berapa ronde semalem, Gar?" Kembali Daaron menggoda pengantin baru.

Dikara sebagai istrinya cuma mesem-mesem melihat rona kemerahan di pipi Daisha. Tampak mendukung aksi goda-menggoda yang dilakukan Bang Daaron.

"Ais haid."

Eh?

Daisha menoleh, agak tak menyangka akan dijawab begitu oleh Garda. Minimal, kan, jawabannya 'kepo, lo' atau 'rahasialah'. Namun, ini ... sepertinya tidak diakui soal malam pertamaan itu yang terbaik.

Oke.

Daisha mengerti. Dia senyumi.

"Aih ... palang merah di malam pertama, Mbak?" celetuk Dikara.

"Iya, nih." Daisha mengikuti alur yang suaminya buatkan.

"Wah, wah ... nanti langsung digarap aja, Gar, pas bini masuk masa subur. Dijamin ces pleng nyusul Dikara beranak-pinak," kata Bang Daaron.

Daisha terbiasa menyebut Daaron dengan embel-embel 'abang' karena di masa kecil sudah seperti kakak sungguhan, sementara Dikara ini sepupu yang lahir lebih muda dari Daisha dan merupakan putri dari adiknya Papa Genta. Sekadar info tentang silsilah mereka.

Yang mana begitu para tamu lain datang, Garda menyambut ketiga sobat sepergaulan. Sementara, Daisha beranjak ke dapur untuk memberi sesuguhan.

Acara kepindahan itu berlangsung dari pagi sampai menjelang sore, Daisha tinggal beres-beresnya saja sekarang. Belum ada ART karena masih baru, mungkin nanti bisa dibicarakan dengan suaminya.

Setelah subuh pertama, Daisha merasa semuanya masih berlangsung baik-baik saja. Mungkin cuma perasaan Daisha tentang Garda yang terkesan acuh tak acuh sejak obrolan di pagi kemarin. Buktinya tadi masih saling melempar lirikan manis. Waktu ada teman-teman dan keluarga besar.

Iya, sepertinya hanya perasaan Daisha saja tentang Garda yang ... cuek?

Kemarin itu mungkin masih terbawa suasana. Garda marah, sih, sepertinya. Nah, sekarang sudah membaik.

"Kak, mau—eh?"

Daisha melihat Garda membawa tas pakaiannya keluar dari kamar utama.

Berhadapan.

Bertatapan.

Tanpa kata, Garda melanjutkan langkahnya melintasi Daisha. Memasuki kamar yang lain.

***

"Kita pindah kamar, Kak?" Berpikir positif dulu saja walau perasaan Daisha mulai tak enak.

"Cuma Kakak, kamu tetep di situ," timpal Garda, acuh tak acuh.

Daisha menatap sosok pria yang konon telah mati-matian memerjuangkannya karena banyak mendapat ujian dari papa. Di mana ujian itu sudah pasti soal; bisa ngaji bukan sekadar bisa, lalu pemahaman tentang fikih munakahatnya—sejenis segala hukum tentang pernikahan, sampai ditanyai soal kehidupan percintaan sebelumnya. Secara teori, Garda lulus dengan predikat sempurna hingga meraih kekaguman Papa Genta.

Sebelumnya, Daisha pernah meminta papa agar tidak usah melakukan semua itu kepada tiap lelaki yang datang memintanya, tetapi papa tidak menggubris. Papa berjalan di atas 'aspal' ketentuannya sendiri untuk sang putri. Daisha yang tinggal di luar kota kala itu tak bisa berbuat banyak.

"Kak ...." Daisha mulai merasa rumah tangga ini mendingin, padahal baru hitungan hari. Dia lantas mencoba mendapatkan kehangatan hubungan di awal akad terucap.

"Kita, kan, udah suami-istri." Tentang kamar yang mau terpisah. Daisha berucap di detik Garda hendak menutup pintu kamar yang dia masuki. "Kalo ini karena keadaan aku yang mengecewakan, aku minta maaf."

"Kamu bahkan nggak jujur sejak awal." Garda menatap Daisha tepat di mata.

"Aku jujur sekarang, Kak. Dan kalo Kakak mau tahu kejadiannya, aku dilecehkan."

"Dilecehkan?"

Daisha rasa ini bukan respons yang seharusnya. Kenapa ada senyum di satu sudut bibir lelaki itu? Kenapa tampangnya seakan Daisha telah mengucap kebohongan?

"Siapa yang bisa menjamin kalo kamu jujur sekarang?"

Ah, hati Daisha perih mendengarnya. Dia terhenyak. Matanya, dari mata ini apa Garda tidak melihat ada kristal yang retak?

Membuat Daisha tercekat. Dan di jeda geming Daisha, pintu kamar itu ditutup. Daisha berdiri mematung. Tanpa sadar kristal retak di matanya kini mencair, menjadi tetesan yang bernama tangis. Hanya saja, tidak ada isak. Daisha lekas memupuskan jejaknya. Dia beranjak.

***

Berbohong jelas salah, tetapi jujurnya menyakitkan. Bukan untuk Garda saja, untuk Daisha juga sakit.

Sangat malah.

Dan ini ... berat baginya.

Daisha kurang hati-hati. Terlena oleh beberapa waktu tanpa ada yang mengungkit masa lalu. Daisha pikir hidupnya sudah kondusif.

Kembali ke tanah kelahiran, meninggalkan tanah pelarian dari tanah rantau lain yang pernah mencetak sejarah kelam, ke depannya Daisha pikir akan baik. Apalagi dia dapat info di internet bahwa lelaki—khususnya yang belum pernah memerawani anak orang—tak bisa benar-benar tahu tentang rasa dari keperawanan.

Timbul harapan dari yang semula dilema untuk mengatakan rahasia terburuknya kepada pria bernama Garda, makin-makin menguatkan Daisha untuk mengurungkan hal itu, apalagi cinta mulai bersemi.

Bahkan sebelum bertemu, saat Daisha masih di kota pelarian, dalam perjalanan pulang hatinya sudah berperan untuk Garda. Sampai saat bertemu, Daisha makin berat mengungkap kejujuran.

Karena pikiran Daisha, andai dia jujur saat itu, informasinya pasti akan tersiar ke orang tua dan Daisha sangat tidak mau ini terjadi. Sekali pun kasusnya dilecehkan, tetapi ... Daisha punya andil atas kesalahan yang tak akan orang tuanya sukai. Paling penting, Daisha malu.

Oh, pintu kamar utama dibuka. Daisha melihat suaminya masuk. Sejenak bersitatap, tetapi kemudian Garda melengos dan jalan ke arah kanvas beserta alat lukis yang lain.

Benar, Garda Pangestu Samarawijaya adalah seorang pelukis. Itu pekerjaannya. Rangkap jadi konten kreator, khusus lukis juga. Setidaknya, di usia tiga puluh satu tahun ini demikianlah profesi suami Daisha.

"Kak, maaf."

Berharap setelah jujur maka hubungan yang baru seumur jagung ini akan kembali menghangat.

"Aku nggak bohong soal dilecehkan."

Garda tidak menggubris. Masih fokus di alat lukis.

"Dan ... bisa Kakak janji buat nggak ngasih tahu siapa pun soal keadaanku? Termasuk papa dan mamaku, tolong jangan sampai mereka tahu." Pelan suara Daisha. Dia lantas menggigit bibir bagian dalamnya.

Garda berbalik, menatap sang istri. Intinya, benar Daisha bukan perawan kala Garda nikahi. Benar bahwa Daisha pernah punya anak dan gugur.

Saat diakui, ternyata tidak mudah juga Garda terima walau bibirnya pernah bilang tidak masalah. Perawan atau bukan, tak penting. Namun nyatanya, Garda sekecewa ini. Ditambah ketidakjujuran di awal, rasanya sulit untuk percaya pada tutur kata Daisha setelahnya. Bisa saja bohong lagi. Atau mungkin dibumbui.

"Aku nggak sebaik penampilanku, maaf." Daisha tersenyum getir. Ada kepahitan di dalam dada.

Garda menarik napas panjang, lalu dia embuskan. "Selain sebagai pelaku, siapa si peneror itu?"

Tatapan Garda runcing. "Temen kuliah? Rekan kerja? Atau ... pacar?"

Karena tidak mungkin orang asing dari isi pesan yang terkesan seolah dulu sangat akrab.

"Nggak mau jawab?"

Bibir Daisha lantas menggetarkan jawaban, "Pacar."

Sepersekian detik atmosfer terasa mengerikan. Tapi bisakah fokus di satu titik bahwa Daisha dilecehkan? Terlepas dari siapa pun orangnya, bahkan pacar sekali pun, bisakah—

"Murahan." Lancar Garda menggumamkannya.

Narasi di benak Daisha kontan habis terpangkas, mulutnya kini terkatup. Dia pun melihat sang suami meneruskan pijakan yang sempat berhenti. Membawa semua alat lukis keluar dari kamar ini.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ziana Anindya
dari dulu ais tahu garda suka ama dia, tapi emang aku ngewajarin meskipun g wajar garda bilabg murahan, soalnya yang lecehinnya pacar.. tapiiii aku kasian sama ais, mana belum tau yang sebenernya gimana
goodnovel comment avatar
pangestusamarawijaya
oh Daisha... salah 1 hal paling menyakitkan bagi perempuan ketika di sebut murahan bahkan pd wanita paling murahan sekalipun .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   57 | Didatangi Mereka

    "Pa, udah!""Papa!"Itu semua suara Mama Nuni. Ada tamu tak diundang soalnya di sini. Setelah sekian lama ... dan itu Om Reinaldi bersama istri.Benar, kedua orang tua Ilias. Makanya Daisha sebut 'setelah sekian lama.'Belum Daisha keluar, dia sudah tahu duluan bahwa itu Om Reinal. Ya, soalnya ... Daisha sedang berdiri di balkon—semula. Dia menikmati indahnya panorama tempat tinggal papa di sore hari.Waktu kecil Daisha sering duduk-duduk di balkon. Bercerita dengan papa atau sekadar membahas 'kenapa langit disebut langit, kenapa tidak disebut tanah saja. Dan kenapa tanah disebut tanah, kenapa tidak air saja.' Hal-hal semacam itu suka dibicarakan waktu kecil. Nah, saat itu ... ada mobil berhenti di depan. Daisha sontak bisa melihatnya dari atas sini.Jantungnya seketika berdegup kencang, sosok Om Reinal dan Tante Shan turun dari kuda besi tersebut. Dan dari sini, bisa Daisha dengar juga suara lantunan salam mereka.Bukan jenis 'Asalamualaikum', tetapi 'Permisi', lalu memanggil-mangg

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   56 | Ngidam

    Daisha melongok hasil lukisan yang Garda buat, masih belum rampung. Namun, begini saja sudah terlihat akan sebagus apa nanti. Daisha akui, karya Garda memang indah, tidak pernah gagal. Sosoknya yang sedang menggoreskan cat di kanvas juga tampak menakjubkan, pantas bila banyak wanita dari berbagai generasi menyukainya, tak hanya menyukai karyanya.Daisha usap-usap perut. Ini yang di dalam rahimnya juga hasil karya Tuhan dari perbuatan Garda. Daisha penasaran akan seelok apa nanti keturunan lelaki most wanted itu.Waktu di sekolah, Garda banyak penggemarnya walau mereka tidak seberisik fans Bang Daaron. Yang menyukai Garda kebanyakan para wanita pendiam, meski ada juga yang berisik. Daisha salah satu yang menganggumi Garda sewaktu sekolah dulu, jujur, Daisha akui pernah menyukai lelaki itu.Jadi teringat lagi kisah lama. Garda selain mahir melukis, tangannya itu penuh keajaiban, juga pandai bermain alat musik. Dia bisa memetik gitar, meski seringnya duduk di bagian drum band dan memuk

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   55 | Mangap Mingkem

    "Duduk kayak gini?" Daisha bertanya, di kursi yang Garda sediakan. Dengan kanvas yang sudah siaga beserta cat warna-warni.Yeah, Daisha mau dilukis. Semalam itu Ayla nelepon, awalnya tidak mau Garda angkat, tetapi Daisha yang lantas membuatnya menerima sambungan nirkabel itu. Bicara dan bicara, Ayla minta satu saja lagi lukisan terakhir—untuk hari kelulusannya.Garda hendak menolak, tetapi Daisha bilang, "Kasihan, toh buat kelulusan. Kenang-kenangan."Masih terhubung teleponnya.Ayla nyeletuk, "Aaaa! Makasih, Kak Istri."Sebutannya membuat kening Daisha mengernyit. Kok, jadi berasa sok akrab? Atau anak zaman sekarang memang begitu tingkahnya? Daisha tidak lupa bahwa Ayla pernah membuatnya sakit hati, sakit sekali.Mulai dari karet kucir, intensitasnya bersama Garda, kedekatan di tiap kali bertemu, hingga mangkuk lucu. Walaupun katanya, karet kucir itu ada sejarahnya; bahwa Garda sengaja membeli untuk Daisha.Namun, Garda lupa dan sedang di fase bingung-bingungnya. Mau memberi, tetapi

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   54 | Berproses

    Tidak habis pikir. Rasanya mustahil. Bagaimana bisa seseorang dapat menyimpan perasaan cinta hanya untuk satu orang sejak awal puber hingga menapaki umur tiga puluhan? Bagaimana bisa .... "Kamu nggak sempet naksir selain Ais gitu, Gar? Ais aja sempet—" Urung dilanjut. Ini sensitif. Hampir saja keceplosan bilang 'Ais sempat berpacaran dengan Ilias.' Takutnya, Daisha bersedih lagi. Ah, lihat itu! Benar saja ada raut sendu di Daisha. Mama Nuni lekas mengusap-usap lengan putrinya, mengganti kata maaf dengan sentuhan agar tersirat. Kalau dibahas, khawatir malah tambah jauh obrolan tentang Iliasnya. Garda senyum. "Anehnya, yang Garda suka cuma anak Mama. Kenapa, ya?" "Obsesi?" celetuk Daisha. "Mana ada," tukas Garda. Kisah masa lalu diakhiri sampai di momen Hari Kemerdekaan. "Tapi kayaknya, sih, karena lukisan Ais ada banyak di buku sketsa, jadi sering-sering nggak sengaja kelihatan, otomatis perasaan sukanya nggak hilang." "Sebanyak apa?" Daisha pun sudah beranjak dari sendu

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   53 | Menepi di Masa Transisi

    Sejenak, izinkan menepi pada kisah masa lalu yang manis itu. Mungkin untuk beberapa episode ke depan karena Garda dituntut bercerita oleh mama mertua. Kok, bisa naksir putrinya dari saat masih berseragam merah putih? Kira-kira begitu. Jadi, dulu itu .... Yeah, Daisha kelas 1 SD. Oh, tentu, Garda masih bocah juga. Belum ada rasa cinta-cintaan. Biasa saja, biasa. Murid baru kelas 1 lucu-lucu, Daaron menandai Daisha sebagai miliknya. Fyi, Daaronlah yang menyukai Daisha sedari masih TK. Soalnya, kebersamaan mereka dimulai sejak dini. Cinta ala anak TK gitu, lho. Yang belum betul-betul bisa disebut naksir. Hanya euforianya saja menyenangkan, membawa semangat untuk terus bisa bertemu. Paham, kan? Dulu .... Daaron menandai Daisha, anaknya Om Genta. Garda tidak tertarik. Belum. Sampai saat dirinya menapaki bangku kelas 6 SD. Semakin diperhatikan, kok, semakin menarik, ya, adik kelas yang selalu berjilbab itu. Siapa tadi namanya? Daisha. Sering diajak main juga oleh Daaron, aut

  • Rahasia di Ranjang Malam Pertama   52 | Seolah Begini Baru Benar

    Garda sempat suuzan. Dia pikir mertuanya setega itu memisahkan. Soalnya, kan, sudah ada kesepakatan bahwa Garda siap pergi sesuai saran Mama Nuni asal hari ini diizinkan full dengan Daisha. "Nggaklah, Gar. Mama sama papa walau marah banget sama kamu atas tindakanmu ke Ais, tapi nggak sampai begitu ... apalagi tahu kamu juga beneran mau memperbaiki. Beda cerita misal kamunya naudzubillah." Mama Nuni berkata demikian di akhir obrolan sebelum kemudian Garda masuk ruang rawat Daisha. Tak lama setelahnya, papa kembali. Kemudian orang tua sang istri pamit pulang dulu, nanti kembali lagi.Awalnya Mama Nuni berat meninggalkan Daisha hanya bersama Garda, mengingat kasus yang sampai detik ini masih seperti benang kusut. Namun, pada akhirnya bisa diyakinkan bahwa kekhawatiran beliau tak akan terjadi. Garda menjamin. Kini hanya berdua. Garda dan Daisha saja. Tanpa dibicarakan, keduanya bersepakat untuk tidak menyinggung perkara yang sudah-sudah. Daisha juga menepikan segala rasa sakit yang se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status