LOGINRudi mematung cukup lama. Tangannya yang tadi begitu berani kini bergetar saat menggenggam ponsel. Yanti memperhatikan dari jarak beberapa langkah—dadanya masih naik turun oleh sisa ketegangan yang belum reda.
“Rud… ada apa?” suaranya pelan tapi waspada.
Rudi tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada pesan itu, seolah kata-katanya menancap terlalu dalam untuk ia cerna cepat-cepat. Lalu, tanpa menatap Yanti, ia menekan layar dengan tergesa, membaca pesan itu lagi—memastikan ia tidak salah lihat.
“Siapa yang berani…” gumamnya, nyaris tak terdengar.
Yanti hanya bisa berdiri kaku. Tadi dia merasa menjadi pihak paling terpojok di ruangan itu. Sekarang ada perubahan kecil, samar,
Yang terjadi sebelumya, sebelum eko memutuskan untuk datang kerumah Yanti.Eko tidak berniat datang.Setidaknya itu yang ia ulang-ulang di kepalanya sejak pagi. Beberapa hari terakhir, wajah Yanti terus muncul tanpa diminta. Bukan wajah yang sama seperti sebelumnya—bukan senyum kecil yang sering ia lihat, bukan tatapan genit yang dulu sempat membuatnya lengah. Yang muncul justru wajah yang tampak menahan sesuatu. Terlalu banyak diam. Terlalu hati-hati.Padahal suaminya sudah pulang.Itu seharusnya cukup menjadi batas.Dan Eko tahu betul batas itu ada di mana.Ini bukan urusanku, katanya pada diri sendiri.Aku tidak boleh ikut terlalu jauh dalam urusan rumah tangga orang lain.Namun kalimat itu terdengar kosong. Terlalu rapi. Terlalu dipaksakan.malam itu, saat ia ke balkon kamarnya untuk merokok. dia melihat ke arah rumah Yanti . Dari sudut matanya, ia melihat seorang pria berhenti di depan rumah itu. Tubuh tinggi, bahu sedikit condong ke depan, gerakan yang tidak asing.Rudi.Eko tid
Ketukan itu terdengar sekali lagi. Lebih keras.Yanti membeku. Napasnya tertahan di tenggorokan, jantungnya seperti dipukul dari dalam.Rudi berhenti bergerak.Alisnya berkerut, rahangnya mengeras. Bukan takut—lebih ke kesal karena momen yang hampir ia kuasai tiba-tiba terpotong.“Siapa?” gumamnya lirih, tapi matanya masih menancap ke wajah Yanti.Yanti tidak menjawab. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena ketakutan, tapi karena tekanan yang menumpuk sejak hari-hari terakhir. Herman. Bekas merah. Pesan-pesan Rudi. Dan sekarang—ketukan itu.“Tenang,” Rudi berbisik sinis, mendekat ke telinga Yanti. “Kalau ini tetangga, aku bisa urus.”Ketukan kembali terdengar. Kali ini disertai suara.“Yan… ini aku.”Suara itu membuat Yanti hampir runtuh.Eko.Rudi langsung mundur satu langkah. Wajahnya berubah. Bukan panik—tapi waspada. Nama itu jelas bukan nama asing baginya.“Kamu undang dia?” tanya Rudi dingin.Yanti menggeleng cepat. “Aku nggak… aku nggak tahu dia bakal ke sini.”Rudi tert
Pintu baru saja tertutup ketika tubuh Yanti terdorong ke belakang.Tidak keras, tapi cukup tiba-tiba untuk membuat punggungnya menghantam daun pintu. Napasnya tercekat. Tangannya refleks terangkat, namun Rudi sudah lebih dulu menahan pergelangan itu.“Jangan teriak,” ucap Rudi pelan, suaranya datar tapi dingin. “Aku selalu mengamati kamu, Yan. Aku tahu kapan kondisi aman… dan kapan tidak.”Yanti menatapnya dengan mata melebar. Jantungnya berdetak liar.“Jangan main-main, Rud,” suaranya bergetar meski ia berusaha terdengar tegas. “Suamiku sebentar lagi pulang. Jangan macam-macam.”Rudi tertawa pelan. Bukan tawa keras—lebih seperti ejekan yang ditahan.
Beberapa hari terakhir, Eko merasa pikirannya tidak pernah benar-benar tenang.Bukan karena rasa bersalah semata—itu sudah ia terima sejak awal—melainkan karena bayangan wajah Yanti yang terus muncul tanpa diundang. Padahal ia tahu, suaminya sudah pulang. Rumah itu kembali utuh. Setidaknya, dari luar.Namun justru di situlah keganjilan itu bermula.Setiap kali Eko melihat Yanti sekilas dari kejauhan, dari balik tirai, atau hanya bayangan tubuhnya melintas di halaman ada sesuatu yang tidak sama. Senyum yang terlalu rapi. Gerak yang terlalu hati-hati. Tatapan yang seolah memikul sesuatu sendirian.Kenapa wajahnya seperti orang yang ditekan…Buka
Herman tidak langsung menjauh setelah semuanya selesai. Tubuhnya masih dekat, napasnya belum sepenuhnya kembali normal. Lampu kamar yang temaram membuat suasana terasa hangat—terlalu hangat untuk situasi yang seharusnya menenangkan.Tangannya bergerak pelan, nyaris tanpa maksud, menyusuri bahu Yanti lalu berhenti di dadanya.Gerakan itu membuat Yanti refleks menegang.Herman merasakan perubahan kecil itu. Ia berhenti.Matanya turun, fokus pada satu titik.Ada bekas kemerahan samar di kulit Yanti. Tidak mencolok, tapi cukup jelas bagi mata seseorang yang terbiasa memperhatikan miliknya sendiri.Herman tidak mengubah ekspresi. Tidak ada nada tinggi. Tidak ada gerakan kasar.Hanya keheningan yang terlalu lama.“Ini bekas apa, Yan?”Suaranya datar. Tenang. Justru itu yang membuat jantung Yanti terasa jatuh ke perutnya.Yanti menelan ludah. Otaknya bekerja terlalu cepat, mencari alasan yang terdengar masuk akal tapi tidak berlebihan. Terlalu banyak alasan justru akan terlihat sebagai k
Rudi duduk sendirian di teras rumahnya, rokok di antara jari tinggal abu. Matanya kosong, pikirannya berputar tanpa arah.Pesan itu kembali terlintas di kepalanya—kalimat singkat yang terasa terlalu tahu banyak. Bukan hanya soal Yanti. Bukan hanya soal pertemuan itu.Tapi juga soal dirinya.Ia mengingat kembali Eko. Anak muda itu—terlalu polos, terlalu jujur, terlalu terbuka untuk seseorang yang sedang memainkan permainan kotor.Rudi menghela napas berat.“Kalau memang dia pelakunya…” gumamnya. “Kenapa dia kelihatan begitu tenang?”Rudi yakin Eko memang menikmati tubuh Yanti. Itu jelas. Terlihat. Tidak dibuat-buat. Tapi menikmati perempuan orang dan menyusun ancaman licik adalah dua hal yang berbeda.Dan insting Rudi—yang selama ini jarang meleset—mulai mengatakan sesuatu yang tidak ia sukai.Anak itu bukan dalangnya.Kesadaran itu membuat dadanya semakin sesak. Jika bukan Eko… maka orang itu jauh lebih rapi. Lebih sabar. Lebih berbahaya.Di sisi lain, Eko berdiri di kamarnya, m







