Share

Madu Tetaplah Madu

Madu tetaplah madu. Hanya beberapa orang beruntung yang bisa menjalin hubungan baik dengan madunya. 

Ami sudah memasang tatapan garang saat aku datang. Aku mencoba menghindarinya, tidak enak jika kami sampai ribut lagi. Begitu pikirku. 

Dari pertama kali aku menginjak tempat ini, sampai sekarang aku akan meninggalkannya aku menjaga jarak dari Ami. 

Aku harap itu bisa sedikit meredam amarahnya, ternyata aku salah. Saat semua tamu sudah pulang, ia mulai meneriakiku. 

"Jal*ng! Kenapa kamu masih berani datang ke sini?" Teriaknya dari tempat ia duduk. 

Aku tidak merespon.

"Ati, sini kamu!" Lagi dan lagi ia berteriak. 

Aku tak acuh, dan tidak mendatanginya. Merasa terus diawasi Ami, aku memilih berpamitan pulang pada Ibu mertuaku. 

"Bu, Ati pulang dulu ya."

"Lo, kenapa buru-buru?"

"Kasihan Aliya Bu, nggak enak juga sama Mak Sumi."

"Oalah, ya sudah. Kamu hati-hati ya di jalan."

"Iya, Bu."

Aku pun pergi. Baru sampai di luar pintu, aku merasakan seseorang menjambak rambutku. Sangat kencang, jilbab yang aku pakai sampai terlepas, penitinya melukai leherku. 

"Ah!" Aku memekik karena kaget dan kesakitan.

"Ami?" Dia melempar jilbabku ke tanah. Aku bergegas memungutnya, namun Ami justru menginjak jemariku.

Aku meringis kesakitan, apalagi ia memakai sepatu heels yang berbahan keras. Jariku sampai lecet dibuatnya. 

"Singkirkan kakimu, Ami."

"Kenapa?"

"Kamu masih nanya kenapa? Sakit jariku."

"Ini belum seberapa Hayati, semua rasa sakit yang kamu rasakan itu masih akan ada sakit-sakit yang lain."

"Apa maksudmu?" Aku terkejut dengan yang Ami katakan, apa maksudnya dengan sakit-sakit yang lain? 

"Hahaha. Kamu akan segera tahu Ami. Saat fakta demi fakta sudah kamu ketahui."

Deg! 

'Ya Allah, apa maksudnya ini. Jadi aku masih belum tahu apa-apa? Jangan-jangan, kematian Mas Farhan tidak seperti yang diberitakan?' batinku mulai menerka-nerka. 

Beberapa orang di dalam mulai keluar, mungkin karena mendengar aku memekik. Ami langsung menyingkirkan kakinya dari tanganku. 

"Ya ampun, Mbak Hayati. Kalau jalan pelan-pelan. Duh, jadi jatuh, kan." Ami memungut jilbabku. Kemudian ia pakaikan untuk menutup kepalaku. 

"Loh, Ati kamu kenapa?" tanya Ibu mertuaku yang juga ikut keluar. 

Aku menggeleng, Ami terlalu piawai dalam berakting. Menuduhnya tanpa bukti sama saja bunuh diri, mempermalukan diriku sendiri. 

"Ati pergi dulu Bu." Aku pergi meninggalkan rumah Ami. 

Sepanjang jalan aku memikirkan perkataan Ami. Ami adalah sahabatku, tapi kenapa dia bisa setega ini denganku. Apa aku melakukan kesalahan yang tidak aku sadari, aku juga tidak tahu. 

Selama ini hubungan kami baik-baik saja, kami jarang sekali bertengkar. Hampir tidak pernah. 

Bagiku, Ami adalah sosok sahabat yang pendiam, tidak banyak menuntut. Ia justru lebih sering mengalah. 

Ami yang aku lihat tadi, bukanlah Ami yang aku kenal. Bahkan terlalu jauh, aku sempat tidak percaya bahwa mereka adalah orang yang sama. 

'Tunggu,' batinku. 

"Kenapa tadi Ami berkata seperti itu, ia sama sekali tidak terlihat bersedih atas kematian Mas Farhan. Bukankah selama ini ia adalah orang paling histeris merespon kematian Mas Farhan," ucapku lirih. 

Aku semakin bingung. Tidak cukup bingung atas perasaanku, tapi juga misteri kematian Mas Farhan yang terasa aneh menurutku. Ditambah sikap Ami juga berubah-ubah, di hadapanku dan di hadapan orang lain. 

"Ah, sudahlah. Ngapain aku pusing mikirin mereka. Lebih baik sekarang aku fokus dengan kehidupanku bersama Aliya. Biarlah yang sudah terjadi menjadi masalalu. Apapun yang aku lakukan, tidak akan pernah membuat Mas Farhan kembali, dan juga tidak akan merubah kenyataan bahwa Ami adalah adik maduku." 

Aku menepis setiap pikiran yang mengganjal. Apapun kenyataannya tidak akan merubah apapun, jadi aku memilih untuk tidak membuat diriku sendiri pusing karenanya.

***

Pagi ini, tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Aku menjemur pakaian. Memiliki anak bayi memang akan selalu memiliki banyak cucian, jadi ini tidak mengherankan. 

Hari ini adalah seratus hari kematian Mas Farhan. Rencananya akan diadakan pembagian warisan sesuai wasiat yang pernah dibuat oleh Mas Farhan. 

Aku tidak tahu apa isi wasiatnya, juga tidak berharap banyak tentang warisannya. Karena aku berencana menjual rumah ini, dan pergi meninggalkan tempat ini. Aku merasa tidak ada lagi kebahagiaan yang akan membuatku harus mempertahankan tempat ini. 

Usai memandikan Aliya, aku mulai merapikan barang-barang yang akan aku bawa pergi. 

Semuanya aku pack rapi, supaya saat hari itu tiba aku tinggal berangkat saja. Beberapa barang yang sering kupakai aku biarkan di tempatnya. Hal itu aku lakukan agar tidak perlu bongkar-bongkar lagi. 

Aku harus pergi, terlalu banyak yang tidak aku mengerti di tempat ini.

***

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status