Share

Sebuah Kebetulan?

Bulir hangat meluncur begitu saja, menetes di atas pusara Mas Farhan. 

"Mas Farhan, apa kabar? Maaf aku baru berkunjung hari ini. Kamu pergi terlalu cepat, dengan cara yang tidak pernah aku duga." Aku menghela napas berat.

"Mas, selama ini aku tahu Mas bukanlah seorang pemabuk. Lalu kenapa, setelah menikah dengan Ami, kamu berubah drastis. Bukankah pernikahan itu adalah keinginanmu. Bukankah harusnya kamu bahagia, tapi kenapa yang terlihat kamu justru tertekan?" Kuusap air mata yang mengalir. 

"Sejujurnya, luka penghianattanmu masih belum kering. Tapi bagaimana pun, aku masih istri sah mu. Aku berhak bersedih atas kematianmu. Bagaimana nasib putri kita, Aliya?" 

Aku terisak di samping pusara Mas Farhan. Sejak pernikahannya dengan Ami, ia berubah menjadi orang asing.

Ingatanku berputar pada saat aku terbangun di rumah sakit. 

Setelah mengamuk di pernikahan Ami dan Mas Farhan, aku jatuh pingsan. Pihak keluarga langsung membawaku ke rumah sakit, aku harus melakukan jahitan ulang pada bekas operasi caesar.

Mas Farhan dan Ami ada di luar saat aku terbangun. Melihat aku yang sudah sadar, mereka berdua masuk.

Darah di tubuhku masih mendidih karena amarah. Tapi aku diam saja.

"Bagaimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mas Farhan yang sudah berdiri di sampingku. Ami juga berdiri di sampingnya.

Aku mengalihkan pandangan, tak kuhiraukan pertanyaannya.

"Ati, kenapa kamu enggak mati aja sih. Kirain koma seminggu, nyawa kamu bakal enggak balik lagi ke tubuhmu. Coba aja kamu mati, aku sama Mas Farhan pasti sudah bahagia," seloroh Ami membuat dadaku berdesir.

'Jadi selama aku koma, mereka berharap berharap aku mati.' Batinku sesak. 

Setelah mengatakannya, Ami bergelayut manja di lengan Mas Farhan. 

"Sejak kapan, kalian memulai hubungan ini." tanyaku dingin.

"Sayang, kamu istirahat aja dulu ya." Mas Farhan mengalihkan pembicaraan. 

"Sudahlah, Mas. Kenapa tidak kamu kasih tahu saja sama istri pertamamu ini. Sejak kapan kita memulai hubungan." Ami tersenyum licik, sedangkan Mas Farhan diam saja. 

Ah, selemah itukah laki-l*ki yang aku cintai? Atau memang sebenarnya mereka menikah, bukan karena paksaan? 

"Jawab mas," ucapku lirih.

"Ati, aku dan Mas Farhan sudah menjalin hubungan sejak kamu hamil lima bulan. Saat dokter mengatakan, bahwa bayi dalam kandungan kamu adalah perempuan. Melahirkan anak perempuan itu nggak ada gunanya bagi seorang suami, jadi enggak usah sok ngelarang Mas Farhan nikah lagi." Ami menjawab pertanyaanku, Mas Farhan masih diam. 

'Jadi benar, Pernikahan ini terjadi atas keinginan Mas Farhan sendiri. Tega kamu, Mas! Aku benci sama kamu!' pelukku dalam hati.

"Kenapa, Ati? Apa kamu kaget. Kamu ini polos sekali. Kasihan! Coba aja kamu mati, nggak perlu kamu sakit-sakit lihat kami menikah," tambah Ami. Sahabatku itu begitu tega padaku. 

"Kalian mengharapkan aku mati? Sadarlah, harapan kita pada orang lain itu lebih sering terjadi pada diri sendiri. Hati-hati sama ucapan kamu, Ami," ujarku, kemudian bangkit dari ranjang. Sakit di hatiku membuat aku kuat. 

Ami dan Mas Farhan diam saja. Mereka sepertinya kesal mendengar ucapanku, karena secara tidak langsung aku mengatakan bahwa merekalah yang akan mati, bukan aku.

Suster masuk ke ruangan mencegah aku yang akan bangkit. 

"Mbak, Mbak istirahat dulu ya. Jangan banyak gerak."

"Aku mau pulang, Suster."

"Dokter tidak mengijinkan."

"Aku tidak butuh ijin."

"Maaf Mbak, jika masih memaksa terpaksa saya harus menyuntikkan obat bius."

Aku terdiam, sesaat kemudian menyetujui perintah suster.

"Aku akan tetap di sini, jika dua penghianat ini keluar dari ruangan ini."

"Baik, Mbak."

Suster meminta Mas Farhan dan Ami keluar. Setelahnya Suster juga keluar. Tinggallah aku di kamar ini sendirian, menangisi nasibku yang jauh dari kata mujur. 

Sepoi angin menyadarkanku. Aku kembali fokus pada pusara Mas Farhan. 

"Mas, kenapa? Tidak saat kamu masih hidup, sampai kamu sudah tiada. Aku harus merasakan sakit karena mu. Mereka menuduhku, aku membencimu Mas. Aku membencimu." Aku bangkit, kemudian berlari menjauhi makam Mas Farhan. 

Bersamaan dengan itu, angin berhembus kencang mengibarkan hijab yang aku pakai. 

Brugh!

"Bayu?" kataku lirih. 

'Sedang apa Bayu di tempat ini? Mungkinkah ini sebuah kebetulan?' batinku heran. Setahuku, Bayu tidak memiliki kerabat di desa ini. 

Jika pun ada, keluarganya pasti di makamkan di makam keluarga mereka. Jadi untuk apa Bayu ada di sini?

***

Next?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status