“Sean?” Valerie terbangun dengan rasa sakit di kepala yang menyerang. Semalam ia tidak tahu berapa lama ia menangisi dirinya yang bodoh dan begitu mudah terperdaya dengan segala perhatian-perhatian yang diberikan oleh Sean. Tetapi entah kenapa orang pertama yang dicarinya saat terbangun adalah Sean. Pemikiran bodohnya kembali menganggap jika Sean akan datang seperti malam-malam sebelumnya, tertidur di sampingnya dengan memeluk tubuhnya erat. Tetapi ternyata semuanya nihil, pria itu tidak di sampingnya. Sama seperti apa yang diharapkannya. “Sadarlah, orang yang kau cari tidak ada di sini. Dia tengah berbahagia dengan istri tercintanya.” Dan gambar kemesraan antara Sean dan Amora seketika menyadarkannya. Mengharapkan Sean adalah hal yang tabu, hubungan mereka tercipta karena perjanjian. Jadi, setelah ia berhasil melahirkan anak untuk Sean dan Amora, maka dia juga harus siap kehilangan segalanya. Kehilangan Sean ... dan tentu saja kehilangan darah dagingnya sendiri. Dengan langkah
Valerie langsung membalikkan tubuhnya setelah mendengar ucapan dari Sean. Tetapi pria itu masih setia memerangkapnya, menyudutkannya dengan pinggiran wastafel dengan tubuh kekar Sean.“Bu—bukankah kalian di hotel?”Sean langsung mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti dengan perkataan Valerie. “Hotel?”Terjawablah sudah kalau gambar itu hasil kiriman dari Amora yang dikirim melalui ponsel Sean. Dan malah berbohong entah karena alasan apa.Valerie segera menggeleng. “Ti—tidak ... bukan apa-apa, Sean.” Sean tersenyum, mulai mencium leher Valerie dan membuatnya kegelian. “Ayo, katakan!” pintanya memaksa.Valerie kembali menggeleng. Mendorong tubuh kekar itu dan terkikik. “Sudah, Sean. Aku kegelian. Tadi aku salah bicara, bukan apa-apa,” ucap Valerie cepat berusaha menghentikan kegiatan Sean di lehernya. Dan mencoba mengalihkan pria itu agar tidak lagi memaksanya mengulang perkataannya barusan.Sean yang pada awalnya hanya bermaksud untuk mengerjai wanita itu, malah ikut terpancing. M
Sean tidak kunjung beranjak dari sana, ia tetap setia duduk di pinggiran ranjang dengan segudang pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya.Semua itu bermula dari telepon wanita bernama ‘suster Anna’ dan segala perkataannya yang mengundang banyak pertanyaan di dalam kepala Sean.Ternyata selama ini ia hanya mengenal tubuh Valerie, tetapi tidak dengan kehidupannya.Oleh karena itu ia belum pergi karena sengaja menunggu Valerie terbangun. Ia ingin mengulik sedikit kehidupan perempuan itu, agar rasa penasarannya sedikit mereda.Mungkin tidak ada salahnya jika ia terkesan penasaran dengan kehidupan Valerie, toh wanita itu sudah menjadi istrinya dan sebentar lagi akan menjadi ibu dari anaknya.Tidak tahu berapa jam ia bertahan di sana, sampai sebuah pergerakan kecil di susul dengan terbukanya kedua bola mata itu membuat Sean bernapas lega.“Sean?” tanya Valerie dengan suara serak, sembari mengucek kedua matanya untuk menyesuaikan penglihatannya. “Jam berapa ini?”Sean melirik sekilas ke a
Setelah melewati perdebatan panjang yang penuh dengan drama bersama Sean, pada akhirnya dia berada di sini, dalam taksi yang akan mengantarnya menuju ke rumah sakit. Memang tidak mudah meminta izin kepada Sean karena pria itu begitu keukeuh ingin mengetahui tentang siapa itu ‘suster Anna’. Bahkan lebih gilanya lagi, banyak sekali pemikiran-pemikiran konyol yang keluar dari kepalanya yang dituduhkan kepada dirinya yang baginya sangat tidak masuk akal.Tetapi untunglah ia bisa terlepas juga tanpa harus menjawab jujur segala pertanyaan-pertanyaan yang pria itu lontarkan. Semua itu karena di sela-sela perdebatan mereka suster Anna kembali menghubungi, Sean ingin kembali mengambil ponsel itu tetapi kalah cepat dari Valerie.Alhasil, ia tidak membiarkan Sean kembali berbicara pada perempuan itu. Takut jika tiba-tiba suster Anna keceplosan dan malah membeberkan segala rahasianya. Tentunya hal itu kembali mengundang perdebatan, mengingat sifat Sean yang keras kepala. Ya, typical pria arogan
Valerie benar-benar tidak bisa membendung air matanya. Sebelum membuka handle pintu itu, Valerie sudah lebih dulu menguatkan diri untuk tidak menangis di hadapan ibunya, tetapi yang ada ia tidak mampu.Melihat ibunya yang masih terbujur di atas ranjang, sama seperti dulu membuatnya tak bisa menahan tangisannya. Tubuhnya yang masih dipenuhi alat-alat yang tersambung ke mana-mana, meskipun alat-alat itu tidak sebanyak dulu. Hal itulah yang membuatnya sedih bukan main.Valerie membekap mulutnya dengan tangan agar suara tangisannya tidak sampai keluar dan membangunkan ibunya. Dia mendekat lebih dekat ke arah ibunya, mengamatinya secara jelas. Wajah yang sudah tirus itu begitu pucat, bibir yang selalu tersenyum indah setiap melihatnya kini tidak lagi.Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu ibunya, dan dia sudah serindu ini. Tanpa sadar suara isakan tangisannya terdengar keluar, ia benar-benar tidak kuat untuk menahan diri lagi.Dan ternyata suara itu berhasil membangunkan tidur ibunya. V
Di lantai sebuah apartemen besar yang dijadikan tempat untuk pesta kini sudah dipenuhi lautan manusia berbeda jenis kelamin tengah meliukkan tubuh mereka satu sama lain. Amora juga ada di tengah-tengah pesta itu, mengenakan gaun super minim yang menampilkan belahan dada dan kaki jenjangnya dengan satu tangan yang tengah memegang sloki berisi cairan alkohol.Ia tengah tersenyum cantik ke arah Bara yang baru saja datang dan mengambil tempat duduk di sebelahnya. “Kau di sini?” seru Amora tidak menyangka akan kembali bertemu dengan Bara di sini padahal mereka tidak janjian untuk datang.Pria itu balas tersenyum. “Sepertinya kita memang ditakdirkan untuk selalu bertemu, Amor. Kalau seperti ini apa suamimu tidak curiga sama sekali?” tanyanya, sambil meremas paha Amora yang terbuka.“Aww ....” Amora mendesah pelan, menyandarkan tubuhnya pada pundak Bara sepenuhnya. “Dia tidak akan menduga jika aku sampai akan selingkuh. Aku selalu menjadi wanita paling baik di matanya,” ucapnya dengan tawa
“Kamu di mana?” Pertanyaan itu langsung menyambut pendengaran Valerie sesaat ia menerima panggilan telepon dari Sean.Valerie mengedarkan pandangan ke sekitarnya, sejujurnya ia masih berada di rumah sakit. Ia baru saja memberi ibunya makan dan langsung jatuh tertidur.“Aku ... aku sudah mau pulang,” ujarnya dengan terpaksa.Kalau boleh memilih, ingin sekali rasanya Valerie tinggal dan menginap di sini untuk menjaga ibunya. Akan tetapi, Sean memberinya izin untuk datang ke sini hanya beberapa jam dan tampaknya izin dari pria itu sudah habis buktinya dia sudah dicari.Alhasil, ia lebih memilih berbohong dibanding membuat Sean marah kembali padanya.Terdengar kembali seruan Sean di seberang sana. “Bagus! Aku memang menghubungimu untuk memberitahukan kalau waktu kamu sudah habis.”Benar, bukan? Sean memang si tepat waktu.“Mau aku jemput?” tawar pria itu tiba-tiba.Dijemput? Itu tandanya ia akan ketahuan tempat yang ia datangi. Dan jika tempatnya sudah diketahui, maka cepat atau lambat o
Langit di luar sudah tidak menunjukkan pagi lagi, sinar mentari sudah sangat terang benderang yang terasa menyengat kulit. Langit biru yang dipenuhi awan putih itu tampak luas terlihat dari kamar Valerie yang sepi.Saat ini sudah pukul dua belas siang. Valerie masih diam tak bergerak dibalik selimut, ia masih begitu nyaman bergelung di dalam selimut di kala rasa lelah di tubuh masih menyerang. Seperti kata Sean yang begitu rindu pada tubuhnya, semalam pria itu benar-benar tak melepasnya. Seakan pria itu tidak pernah puas dengan tubuhnya, menyentuhnya di mana-mana.Ketika perasaan kantuk mulai menghilang, ia menggeliat membuka kedua matanya. Secara refleks mencari seseorang yang bersamanya semalam.Melihat ke samping, tempat itu sudah kosong. Bantal dan seprei yang kusut membuktikan bahwa ia tidak tidur semalam sendirian dan ada yang menemani. Tetapi raga pria itu sudah menghilang tanpa memberitahunya terlebih dahulu.Valerie mengerjap pelan dan langsung mencari keberadaan jam. Ia lang