Brak!
Seorang lelaki paruh baya itu menggebrak meja dengan kerasnya.“Hutang judi ayahmu itu harus lunas dalam waktu 2 kali 24 jam, jika tidak kamu akan menjadi istriku anak manis!” ucap Johar dengan tegas.“Hah, ini tidak masuk akal, Pak! Hutang ayah itu 75 juta, bagaimana bisa saya melunasinya dalam waktu 2 kali 24 jam?” pekik Melody keras dengan tatapan nyalang.Manik matanya kini tertuju pada seorang pria paruh baya yang menjadi tersangka hutang ini. Di sudut kursi ayahnya hanya diam tidak berkutik.“Ayah, katakan pada Pak Johar, dan mintalah keringanan untuk itu!” ujar Melody, dengan tangan yang mengoyak tubuh ayahnya perlahan.“Sudahlah, Mel. Kamu nikah saja dengan Pak Johar, tinggal nikah saja apa susahnya sih!” seru Rokim tanpa ragu.‘Sialan, ayah tidak tahu diri!’ umpat Melody dalam batinnya.Johar menatap Melody dengan penuh nafsu, sebelah tangannya menyentuh pelan dagu Melody. Jijik! Ingin sekali Melody memaki pria paruh baya itu, namun ia tidak ingin dicap menjadi wanita tidak sopan.“Baik, aku akan melunasi hutang judi ayah dalam waktu 2 kali 24 jam. Jadi, silakan pergi dari rumah saya, Pak Johar!” ujar Melody keras. Tangannya menunjuk tanpa ragu ke arah pria paruh baya itu.“Aku pamit dulu, anak manis. Aku sangat tidak sabar menikah denganmu,” bisiknya, sembari mengecup tangan kanan Melody.“Najis!” pekiknya keras.Selepas kepergian Johar, Melody berjalan dengan kesal ke luar rumah. Ia mulai memanasi motornya dan melenggang meninggalkan pelataran rumahnya.Dengan sialnya, ia menabrak sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan.“Mel, sepertinya hari ini adalah hari penuh kesialan untukmu,” gumam Melody lirih.Seorang pria dengan jas rapi keluar dari sebuah restoran. Matanya membelalak lebar, Melody hanya bisa turun dari motornya. Sayup-sayup ia berlari mendekati pria itu.“Beraninya wanita itu menabrak mobil anak orang ternama di kota ini,”“lihatlah pakaiannya sangat lusuh, apa mungkin dia bisa mengganti rugi?”Beberapa celoteh yang terdengar di telinga Melody, ia hanya diam setelah sadar pemilik mobil itu adalah Andrean Putra Zahari. Pemilik perusahaan properti terbesar di Kota J.“Sa-saya minta maaf, Tuan Andrean.” Dengan menundukkan kepalanya di depan Andrean, Melody merapal banyak doa untuk keselamatannya.“Apa kamu tidak bisa mengendarai motor dengan benar, Mbak?” tanya Andrean dengan ketus.‘Mbak? Hoi, Tuan muda! Aku bukan mbak-mbak penjual jus di pinggir jalan!’ umpatnya dalam hati.Melody hanya menundukkan kepalanya dalam, ia sudah tidak bisa berkutik.“Ikut aku ke kantor!” seru Andrean tegas.“Baron, bawa di ke kantor,” titah Andrean yang diikuti oleh sopir dan ajudan pribadinya.“Tu-tuan Andrean, saya mau di bawa ke mana?” tanya Melody tergagap.Tanpa banyak basa-basi, pria itu hanya memberikan isyarat tangan. Entah apa maksudnya, untuk memenuhi rasa tanggung jawabnya. Melody hanya mengikuti langkah Andrean masuk ke mobil Pajero hitam itu melaju menembus jalanan kota J.***CIT!Manik mata Melody membulat saat mobil Pajero itu berhenti tepat di depan kantor bertuliskan Zahari Group.“Mimpi apa aku semalam sampai bisa menginjakkan kaki di sini?” gumam Melody.“Silakan ikut saya, Mbak,” ucap Baron, sopir pribadi Andrean.Melody mengikuti langkah Baron, entah ia akan di bawa ke mana oleh sopir pribadi Andrean. Matanya memicing saat mendapati sebuah ruangan bertuliskan “Ndalem Andrean.”“Silakan masuk, Tuan Andrean sudah menunggu di dalam,” ucap Baron dengan membuka kenop pintu.Pelan langkah Melody masuk ke dalam ruangan kerja Andrean. Dengan terkejutnya ia melihat punggung pria yang kini duduk membelakanginya.“Duduk!” titahnya.Tanpa basa-basi, Melody langsung duduk di tempat yang Andrean tunjukkan. Ia sempat menghela nafas panjang sebelum mengutarakan niatnya.“Tuan, maafkan saya. Jujur saya ini orang miskin dan gaji saya tidak cukup untuk ganti rugi kerusakan mobil itu,” cerocos Melody tanpa ragu. Dengan melipat-lipat bajunya hingga kumal.“Aku tidak butuh uang recehmu,” ucap Andrean dengan sombongnya.Secarik kertas putih bertuliskan surat perjanjian itu menyita perhatian mata Melody. Entah angin apa yang membuatnya merasa deg degan.“Kamu bisa baca tulis ‘kan, mbak?” tanya Andrean dengan menekan kata ‘mbak’.Melody hanya mengangguk, manik matanya menggulir ke setiap kalimat yang ada di kertas putih itu. Jantungnya seperti akan berhenti berdetak, saat namanya sudah terpampang di kertas itu dengan lengkap.“Bagaimana?” tanya Andrean dengan mengernyitkan dahinya.“Maksudnya? Tu-tuan, Anda pasti bercanda ‘kan? Mana mungkin seorang Andrean Putra Zahari membuat perjanjian sewa rahim,” Melody dengan terkekeh melemparkan tanya.“Ya, kalau kamu tidak mau. Tidak masalah,” Andrean kembali menarik secarik kertas putih di atas meja.“Akan tetapi, uang recehmu itu akan menjadi ganti rugi atas kerusakan mobilku,” tambahnya.Deg!Boro-boro akan ganti rugi kerusakan mobil, hutang judi 75 juta saja ia masih kalang kabut. Melody masih menghela napasnya panjang.“Tuan, jujur saya ini orang miskin. Gaji saja hanya cukup buat makan dan transportasi, bahkan Anda tahu sendiri kalau tinggal di kota J ini biaya hidupnya mahal,” keluh Melody dengan wajah yang memelas.Ia mengharapkan kemurahan hati Andrean agar melepaskannya tanpa banyak syarat. Alih-alih simpati, Andrean menunjukkan kembali secarik kertas putih itu ke depan Melody.“Jadi, apa mbak tidak tertarik dengan perjanjian ini?” tanya Andrean dengan tegas.“Saya mau berpikir dulu,” ucap Melody dengan menarik kertas putih di hadapannya.“200 juta, deal!” tawar Andrean, dengan mengulurkan tangan kanannya.“200 juta?” ulang Melody dengan ragu.Seperti terhantam kenyataan berat, bahkan ia belum pernah menyentuh uang sebanyak itu. Tubuhnya memberi respons yang tidak tepat saat ini.“Tuan Andrean, saya ijin ke toilet dulu!” pamit Melody.‘Dasar tubuh tidak tahu diri, mau dapat rezeki nomplok malah segala kebelet boker,' gerutu Melody dalam batinnya.Kini ia terdiam sejenak dalam lamunannya, uang 200 juta akan cukup untuk melunasi hutang judi. Bahkan bisa untuk membiayai hidup ibu dan adiknya selama beberapa tahun.“Apa aku menerima tawaran itu ya? Menjadi seorang madu dan ... Istri siri dari anak tunggal keluarga paling kaya,” Melody bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Hidup dengan pas-pasan sudah sering ia rasakan, bekerja di butik dengan gaji yang hanya cukup untuk makan dan transportasi.“Dengan uang itu aku bisa membayar hutang judi ayah
“Apa dia tidak tahu sopan santun dan … ah, sudah tidak ada waktu lagi untuk menggerutu!” gerutu Melody.Kini ia seperti wanita kalang kabut, bagaimana tidak? Ia akan dilamar oleh seorang anak pengusaha properti ternama.“Ibu,” teriak Melody dengan sayup-sayup keluar kamar.“Ada apa, Nak?” tanya Larasati pada ana sulungnya.Melody menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia sudah kehabisan kata untuk menjelaskan pada ibunya kali ini.“Ada apa, Mel? Kamu terlihat sangat cemas, coba bilang ke ibu tentang apa?” todong tanya Larasati. Manik matanya masih menatap lekat ke anak sulungnya itu.“Bu, aduh aku gak punya banyak waktu, aku jelaskan secara singkat aja ya. Jadi, tadi pagi Pak Johar datang menagih hutang judi ayah. Dan ibu tau? Ternyata ayah menjadikan aku jaminan untuk hutang 75 juta. Ibu aku berasa langsung gila saat itu juga,” jelas Melody yang cukup panjang.Ia terlihat menghela nafasnya cukup panjang, “Setelah Pak Johar keluar rumah, aku niatnya mau cari angin dan …,” pada part in
Melody membelalakkan matanya lebar saat mendapati seorang wanita berbisik padanya. Ia duduk di antara wanita paruh baya, yang sepertinya adalah ibu Andrean.“Mel, apa kamu tidak apa-apa?” tanya Larasati lirih.“Tidak apa-apa, Ibu.”Setelah itu, seorang penghulu dengan berjas hitam itu masuk ke ruangan. Ia menggulirkan manik matanya ke sekeliling.“Jadi, ini mempelai pria dan wanitanya?” tanyanya.“Iya.” Singkat jawaban Andrean pada pria itu.“Silakan jabat tangan saya,”Seorang penghulu yang mengulurkan tangan kanannya, dibalas dengan uluran tangan oleh Andrean.Ijab qobul itu berlangsung dengan lancar, Andrean memberikan seperangkat alat sholat dan uang 10 juta sebagai mahar.“Selamat atas pernikahan kalian,” ucap seorang wanita yang tidak asing di mata Melody.“Cukup, Nad Jangan seperti itu,” ucap Arsen dengan lembut.“Mas, memangnya aku salah memberikan selamat pada istri keduamu?” tanya wanita itu lagi.“Dia Nadea, istriku. Tolong hormati dia seperti kamu menghormati aku, Mel,” tu
"Saran seseorang?" tanya Melody dengan sangat terkejut. "Iya, orang yang cukup dekat denganmu sepertinya," jawab Andrean dengan ragu. "Oh ya, terima kasih untuk hari ini. Apa kamu keberatan tidur di sini sendiri?" tanya Andrean lirih. "Ti-tidak, Mas Suami-" Melody menutup mulutnya dengan dua tangannya. Andrean terlihat kikuk di depan Melody, panggilan yang sengaja ia berikan itu membuat siapa pun akan berpikir dua kali. "Baiklah, aku pamit! Selamat tidur, Mel," pamitnya. Pintu itu kembali tertutup rapat, Melody menatap kepergian Andrean dengan nanar. Menjadi madu tidak sepenuhnya menjadi keinginannya! "Ternyata seperti ini menjadi madu," gumamnya lirih. Melody merebahkan tubuhnya di ranjang, matanya menatap langit-langit kamar. Lampu yang sudah padam dan hanya tersisa cahaya dari balik jendela kaca. "Ibu, aku sudah rindu sekarang," ucapnya lirih. ***Tok tok tok!Ketukan pada pintu kamar itu membuyarkan tidur panjang Melody. Semalam iya tertidur nyenyak sampai lupa makan mal
"Ada apa, Mel?" tanya Andrean menoleh ke wanita di sampingnya. "Em, aku berhenti di depan saja, Mas. Butik tempatku bekerja tidak jauh dari gang itu," tunjuk Melody pada sebuah gang kecil yang tidak jauh dari mobil itu melaju. "Kenapa? Itu masih terlalu jauh jika kamu ingin berjalan kaki, nanti kamu kelelahan dan program kehamilan akan terhambat," timpal Andrean. Perasan yang awalnya sempat membuat pipinya merona, seketika berubah menjadi rasa kesal pada pria di sampingnya. Bahkan Melody sempat lupa jika posisinya hanya seorang madu, yang harus bisa melahirkan penerus perusahaan Keluarga Zahari. "Tidak, Mas Suami. Itu sudah dekat, aku tidak masalah jika harus berjalan kaki," tutur Melody dengan sedikit memaksakan kehendak. Andrean terlihat berpikir sejenak, ia hanya mengangguk dan memberi arahan pada Baron sopir pribadinya. "Saat jam pulang, kamu bisa mengirim pesan padaku," ucap Andrean lirih. "Mas, aku bisa naik angkutan umum, tidak perlu repot-repot," elak Melody dengan kiku
"Hah, maksud Bu Rena?" tanya Melody dengan terkejut. Rena membenarkan posisi duduknya lebih dekat dengan Melody. Ia menatap tajam ke arah Melody. "Apa kamu mengenal Andrean? Andrean Putra Zahari," tanya Rena mengulang. "Upik abu seperti saya mana mungkin mengenal anak orang tersohor itu, Bu. Rasanya seperti remahan rengginan saya kalau mengenalnya," jawab Melody dengan kekehan ringan. "Heh! Seharusnya kamu bisa mengenalnya, Mel. Emm ...." Rena terlihat berpikir sangat keras. Entah apa yang ada di kepalanya saat itu, mengapa wanita itu terlihat lebih menyesal jika Melody tidak mengenal Andrean. "Bu Rena, Memangnya ada apa dengan Tuan muda Andrean?" celetuk Melody dengan ragu. "Tidak apa-apa, oh ya! Kemarin kamu ke mana? Baju yang kamu jahit itu harus selesai besok, apa kamu keberatan!?" todong tanya Rena dengan menatap lekat Melody. Deg! Deadline yang maju dengan tiba-tiba, rasanya Melody ingin menghilang dari hadapan Rena saat itu juga. "Seharusnya bisa, Bu. Selama tidak ada
"Eng-enggak, siapa itu Rena?" tanya Andrean tergagap. "Oh, sepertinya aku salah dengar. Terima kasih ya, mas suami. Aku tidak menyangka akan mendapat perhatian seperti ini," ucap Airina dengan tersipu malu. "Iya, sama-sama. Aku ingin kamu bisa menjaga diri agar program hamil kita berjalan lancar," ujar Andrean dengan menekan kalimat program hamil. Melody merasa tercengang! Lagi-lagi Andrean memperhatikannya hanya karena program hamil yang mereka jalani. Beberapa kali Andrean dan Melody membicarakan tentang ini, namun nihil ia tidak paham sama sekali. "Iya, Mas. Jadi, kita kapan ke dokter kandungan?" todong tanya Melody. "Mel, malam ini aku tidak bisa menemanimu pergi ke dokter. Aku harus menemani Nadea ke acara temannya, kamu keberatan gak berangkat ke dokter sama Baron?" jelas Andrean dengan senyum yang tidak beralih dari wajahnya yang jenjang itu. "Mas, kita 'kan harus cek bersama, em maksud aku ... Bukan hanya aku yang trs keadaan rahimku, tapi kamu juga harus trs ...," ucap
"Mas, aku tidak basa-basi kali ini, aku serius dengan ucapanku. Perkara program hamil itu kita bukan aku saja!" pekik Melody tanpa ragu. Tapapan Andrean yang berubah, dengan bibir yang terkatup rapi tanpa celah. Manik matanya hanya fokus pada sosok Melody di hadapannya. "Batalkan saja ke dokter hari ini, besok sebelum aku ke luar kota kita ke dokter dulu. Puas?" hardik Andrean keras. Deg! Sontak Melody menatap nanar ke arah Andrean, sebuah bentakan yang melayang pada dirinya membuat ia terdiam pasi. "Kenapa diam? Katanya harus kita berdua kan?" todong tanya Andrean yang terdengar seperti sindiran. "Ya sudah, kembalilah ke kamarmu. Aku malam ini tidak akan datang, tidak perlu menunggu," ujarnya menambahkan. "Baik, Mas. Terima kasih," Melody melangkahkan kakinya ke kamar. Dengan perasaan yang cukup hancur, ia memasuki kamar dengan penuh kekesalan. Air mata yang sempat ia tahan itu luruh, membasahi pipinya yang ranum. "Jika bukan untuk ibu dan adikku, aku tidak mau menjadi seora