Share

Bab 2

“Saya mau berpikir dulu,” ucap Melody dengan menarik kertas putih di hadapannya.

“200 juta, deal!” tawar Andrean, dengan mengulurkan tangan kanannya.

“200 juta?” ulang Melody dengan ragu.

Seperti terhantam kenyataan berat, bahkan ia belum pernah menyentuh uang sebanyak itu. Tubuhnya memberi respons yang tidak tepat saat ini.

“Tuan Andrean, saya ijin ke toilet dulu!” pamit Melody.

‘Dasar tubuh tidak tahu diri, mau dapat rezeki nomplok malah segala kebelet boker,' gerutu Melody dalam batinnya.

Kini ia terdiam sejenak dalam lamunannya, uang 200 juta akan cukup untuk melunasi hutang judi. Bahkan bisa untuk membiayai hidup ibu dan adiknya selama beberapa tahun.

“Apa aku menerima tawaran itu ya? Menjadi seorang madu dan ... Istri siri dari anak tunggal keluarga paling kaya,” Melody bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Hidup dengan pas-pasan sudah sering ia rasakan, bekerja di butik dengan gaji yang hanya cukup untuk makan dan transportasi.

“Dengan uang itu aku bisa membayar hutang judi ayah, dan yang pasti aku tidak perlu menikah dengan aki-aki 70 tahun itu. Yey! Akhirnya aku bebas,” teriak Melody keras. Sontak ia menutup mulutnya rapat-rapat.

Langkahnya pelan keluar dari kamar mandi, memasang wajah melas untuk mendapat belas kasihan Andrean. Sungguh ia tidak tahu malu!

Lelaki yang kini duduk membelakangi pintu, sapaan Melody membuatnya berbalik menatap wanita yang kini kembali duduk.

“Apa mbak sudah memikirkannya?” tanya Andrean memastikan diri.

“Uang 200 juta ini banyak loh, Mbak,” tambahnya lagi.

Benar, 200 juta memang bukan nominal yang sedikit, akan tetapi ..

“Baiklah, katakan, apa yang harus saya lakukan?” final Melody menyetujui tawaran itu.

“Sangat mudah, kamu hanya perlu menikah siri denganku. Lalu, aku mau kamu melahirkan anak laki-laki untuk menjadi penerus perusahaan Keluarga Zahari. Setelah itu terserah kamu mau bagaimana, bercerai tidak masalah. Aku tahu kamu sedang membutuhkan uang, bukan?” jelas Andrean dengan tegas dan jelas.

“Hah, bagaimana tuan bisa tahu?”

Tanya Melody yang hanya dibalas senyuman tipis nan manis.

‘Dia sangat tampan!’ batin Melody dalam hatinya.

“Jadi, bagaimana, Mbak Melody Anastasya?” todong tanya Andrean. Manik mata hitamnya menatap lekat ke arah Melody.

Ia merasa sangat gugup, bagaimana tidak? Seorang pria tampan sudah beristri menatapnya dengan sangat lembut dan lekat.

“Saya setuju, tetapi saya ingin mencairkan sebagian uangnya segera. Apa tuan tidak keberatan?” tanya Melody dengan wajah memerah seperti kepiting.

“Ya, silakan. Kalau mau aku bayar kontan di depan juga tidak masalah,” Andrean tanpa berpikir panjang.

“Apa tuan sudah gila? Bagaimana kalau sudah tuan bayar dan saya malah kabur?” todong tanya Melody dengan wajah paniknya.

“Orang seperti mbak ini mana bisa kabur, besok pagi aku akan datang ke rumahmu.”

Dengan kekehan ringan Andrean mengutarakan niatnya, seperti dibuat jantungan mendadak. Melody bahkan tidak ke pikiran untuk melibatkan orang tuanya.

“Rumah saya kecil hanya sepetak, jangan ke rumah ya, tuan!” ucap Melody dengan sangat merendah.

“Tetap saja aku butuh bertemu dengan ibu atau ayahmu, atau keluargamu entah siapa itu! Bahkan jika mbak tidak berkenan aku bertemu keluarga, aku bisa dengan mudah melacaknya,” jelas Andrean.

Kepulan rokok yang kini membumbung di udara itu membuat Melody terbatuk. Sontak Andrean mematikan rokoknya secara tiba-tiba.

“Jadi, tolong berikan nomor telepon yang bisa aku hubungi. Tidak perlu khawatir, aku tidak suka mengirim pesan minta pulsa,” ucap Andrean.

Sebuah lelucon tidak lucu bagi Melody, pesan minta pulsa itu sudah marak di Kota J. Pesan yang dikirim random oleh orang asing.

“Berhubung mbak sudah setuju, ayo tanda tangan di sini dua rangkap!” titah Andrean dengan menyerahkan bolpoin.

Dengan sangat hati-hati jari itu menggerakkan bolpoin, sebuah tanda tangan tertoreh rapi di atas kertas. Melody menyetujui perjanjian sewa rahim.

‘Keputusan gila!’ batinnya berteriak.

****

Usai sudah urusan dengan Andrean, kini ia mengendarai motornya untuk pulang ke rumah. Pikirannya yang masih melayang jauh pada ingatan tentang sewa rahim.

“Apa keputusanku ini sudah benar? Uang 100 juta sudah aku bawa, masa iya aku membatalkan perjanjian begitu saja?”

Kalimat tanya yang terngiang-ngiang dalam benaknya. Sepanjang jalan ia hanya bisa melongo, di dalam tasnya sudah ada cek 100 juta.

“Aku harus segera membayar hutang ayah!” serunya keras.

Tibalah ia pada sebuah rumah megah, halamannya sangat luas. Terlihat beberapa pasang mata menatap Melody dengan nyalang.

“Ada urusan apa anak Rokim itu datang ke sini?” tanya seorang wanita paruh baya dengan perhiasan mentereng di tangan kanannya.

“Permisi, Bu. Pak Joharnya ada?” tanya Melody dengan sangat sopan. Ulasan senyum tipis sedikit terpaksa.

“Ada urusan apa kamu mencari suamiku?” todong tanya Lastri, istri Johar.

Melody hanya meneguk salivanya dengan ragu, tatapan mata Lastri membuatnya sempat terkejut.

“Membayar hutang ayah,” singkat jawaban Melody.

Alih-alih segera memanggil Johar, Lastri seolah mengintimidasi penampilan Melody dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Berapa hutang bapakmu itu, Mel? Oh, ternyata kamu toh yang katanya mau dinikahi suamiku, penampilan kaya gembel gini kok mau dinikahi!” umpatnya.

“Hutang ayah saya banyak, Bu. Dan saya tidak berniat menikah dengan suami Bu Lastri yang sudah paruh baya itu,” tutur Melody dengan ketus. Ia sudah mulai naik pitam, niat membayar hutang malah dicemooh.

“Kurang ajar, sudah seperti gembel tapi tidak sopan,” gerutu Lastri, langkahnya masuk ke dalam rumah memanggil Johar.

Tidak lama dari itu, seorang lelaki paruh baya keluar dari rumah. Matanya berbinar menatap Melody yang masih berdiri di teras.

“Masuk, Mel. Lastri itu memang bodoh, ada tamu tapi tidak di suruh masuk!” gerutu Johar cukup keras.

Bahkan orang dengan jarak 1 meter bisa mendengar gerutunya itu.

“Orang kampung aja di suruh masuk ke ruang tamu, penampilannya aja seperti gembel! Wanita kaya gitu mau kamu nikahi, Mas?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Lastri, Johar malah asyik menatap lekat wajah Melody. Raut wajah cuek dan galak itu membuatnya menawan, menurut Johar.

“Apa kamu berubah pikiran, Mel?” tanya Johar lirih.

Tangannya itu mulai sibuk menyentuh pelan tangan Melody. Beberapa tangkisan Melody tidak membuatnya kapok.

“Pak Johar, jangan kurang ajar pada saya!” pekik Melody keras.

“Saya ke sini mau membayar hutang judi ayah, ambil!” seru Melody menyerahkan sebuah cek uang 100 juta.

Melongo!

“Mel, kamu barusan merampok di mana?” tuduh Johar tanpa ragu.

‘Sialan’ umpat lirih dalam batinnya.

Melody beranjak dari tempat duduknya, dengan sopan ia mengulas senyum tipis.

“Maaf, Pak Johar. Urusan kita sudah selesai jadi saya akan pulang, dan satu lagi jangan pernah mengganggu keluarga saya!” pekik Melody dan meninggalkan ruang tamu itu.

Drtt drtt!

Getaran pada ponsel miliknya membuat Melody berhenti sejenak. Manik matanya memicing saat nomor tidak di kenal mengirim sebuah pesan.

[Sore ini aku akan datang ke rumahmu, jadi bersiaplah!]

“Hah?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status