“Saya mau berpikir dulu,” ucap Melody dengan menarik kertas putih di hadapannya.
“200 juta, deal!” tawar Andrean, dengan mengulurkan tangan kanannya.“200 juta?” ulang Melody dengan ragu.Seperti terhantam kenyataan berat, bahkan ia belum pernah menyentuh uang sebanyak itu. Tubuhnya memberi respons yang tidak tepat saat ini.“Tuan Andrean, saya ijin ke toilet dulu!” pamit Melody.‘Dasar tubuh tidak tahu diri, mau dapat rezeki nomplok malah segala kebelet boker,' gerutu Melody dalam batinnya.Kini ia terdiam sejenak dalam lamunannya, uang 200 juta akan cukup untuk melunasi hutang judi. Bahkan bisa untuk membiayai hidup ibu dan adiknya selama beberapa tahun.“Apa aku menerima tawaran itu ya? Menjadi seorang madu dan ... Istri siri dari anak tunggal keluarga paling kaya,” Melody bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Hidup dengan pas-pasan sudah sering ia rasakan, bekerja di butik dengan gaji yang hanya cukup untuk makan dan transportasi.“Dengan uang itu aku bisa membayar hutang judi ayah, dan yang pasti aku tidak perlu menikah dengan aki-aki 70 tahun itu. Yey! Akhirnya aku bebas,” teriak Melody keras. Sontak ia menutup mulutnya rapat-rapat.Langkahnya pelan keluar dari kamar mandi, memasang wajah melas untuk mendapat belas kasihan Andrean. Sungguh ia tidak tahu malu!Lelaki yang kini duduk membelakangi pintu, sapaan Melody membuatnya berbalik menatap wanita yang kini kembali duduk.“Apa mbak sudah memikirkannya?” tanya Andrean memastikan diri.“Uang 200 juta ini banyak loh, Mbak,” tambahnya lagi.Benar, 200 juta memang bukan nominal yang sedikit, akan tetapi ..“Baiklah, katakan, apa yang harus saya lakukan?” final Melody menyetujui tawaran itu.“Sangat mudah, kamu hanya perlu menikah siri denganku. Lalu, aku mau kamu melahirkan anak laki-laki untuk menjadi penerus perusahaan Keluarga Zahari. Setelah itu terserah kamu mau bagaimana, bercerai tidak masalah. Aku tahu kamu sedang membutuhkan uang, bukan?” jelas Andrean dengan tegas dan jelas.“Hah, bagaimana tuan bisa tahu?”Tanya Melody yang hanya dibalas senyuman tipis nan manis.‘Dia sangat tampan!’ batin Melody dalam hatinya.“Jadi, bagaimana, Mbak Melody Anastasya?” todong tanya Andrean. Manik mata hitamnya menatap lekat ke arah Melody.Ia merasa sangat gugup, bagaimana tidak? Seorang pria tampan sudah beristri menatapnya dengan sangat lembut dan lekat.“Saya setuju, tetapi saya ingin mencairkan sebagian uangnya segera. Apa tuan tidak keberatan?” tanya Melody dengan wajah memerah seperti kepiting.“Ya, silakan. Kalau mau aku bayar kontan di depan juga tidak masalah,” Andrean tanpa berpikir panjang.“Apa tuan sudah gila? Bagaimana kalau sudah tuan bayar dan saya malah kabur?” todong tanya Melody dengan wajah paniknya.“Orang seperti mbak ini mana bisa kabur, besok pagi aku akan datang ke rumahmu.”Dengan kekehan ringan Andrean mengutarakan niatnya, seperti dibuat jantungan mendadak. Melody bahkan tidak ke pikiran untuk melibatkan orang tuanya.“Rumah saya kecil hanya sepetak, jangan ke rumah ya, tuan!” ucap Melody dengan sangat merendah.“Tetap saja aku butuh bertemu dengan ibu atau ayahmu, atau keluargamu entah siapa itu! Bahkan jika mbak tidak berkenan aku bertemu keluarga, aku bisa dengan mudah melacaknya,” jelas Andrean.Kepulan rokok yang kini membumbung di udara itu membuat Melody terbatuk. Sontak Andrean mematikan rokoknya secara tiba-tiba.“Jadi, tolong berikan nomor telepon yang bisa aku hubungi. Tidak perlu khawatir, aku tidak suka mengirim pesan minta pulsa,” ucap Andrean.Sebuah lelucon tidak lucu bagi Melody, pesan minta pulsa itu sudah marak di Kota J. Pesan yang dikirim random oleh orang asing.“Berhubung mbak sudah setuju, ayo tanda tangan di sini dua rangkap!” titah Andrean dengan menyerahkan bolpoin.Dengan sangat hati-hati jari itu menggerakkan bolpoin, sebuah tanda tangan tertoreh rapi di atas kertas. Melody menyetujui perjanjian sewa rahim.‘Keputusan gila!’ batinnya berteriak.****Usai sudah urusan dengan Andrean, kini ia mengendarai motornya untuk pulang ke rumah. Pikirannya yang masih melayang jauh pada ingatan tentang sewa rahim.“Apa keputusanku ini sudah benar? Uang 100 juta sudah aku bawa, masa iya aku membatalkan perjanjian begitu saja?”Kalimat tanya yang terngiang-ngiang dalam benaknya. Sepanjang jalan ia hanya bisa melongo, di dalam tasnya sudah ada cek 100 juta.“Aku harus segera membayar hutang ayah!” serunya keras.Tibalah ia pada sebuah rumah megah, halamannya sangat luas. Terlihat beberapa pasang mata menatap Melody dengan nyalang.“Ada urusan apa anak Rokim itu datang ke sini?” tanya seorang wanita paruh baya dengan perhiasan mentereng di tangan kanannya.“Permisi, Bu. Pak Joharnya ada?” tanya Melody dengan sangat sopan. Ulasan senyum tipis sedikit terpaksa.“Ada urusan apa kamu mencari suamiku?” todong tanya Lastri, istri Johar.Melody hanya meneguk salivanya dengan ragu, tatapan mata Lastri membuatnya sempat terkejut.“Membayar hutang ayah,” singkat jawaban Melody.Alih-alih segera memanggil Johar, Lastri seolah mengintimidasi penampilan Melody dari ujung rambut sampai ujung kaki.“Berapa hutang bapakmu itu, Mel? Oh, ternyata kamu toh yang katanya mau dinikahi suamiku, penampilan kaya gembel gini kok mau dinikahi!” umpatnya.“Hutang ayah saya banyak, Bu. Dan saya tidak berniat menikah dengan suami Bu Lastri yang sudah paruh baya itu,” tutur Melody dengan ketus. Ia sudah mulai naik pitam, niat membayar hutang malah dicemooh.“Kurang ajar, sudah seperti gembel tapi tidak sopan,” gerutu Lastri, langkahnya masuk ke dalam rumah memanggil Johar.Tidak lama dari itu, seorang lelaki paruh baya keluar dari rumah. Matanya berbinar menatap Melody yang masih berdiri di teras.“Masuk, Mel. Lastri itu memang bodoh, ada tamu tapi tidak di suruh masuk!” gerutu Johar cukup keras.Bahkan orang dengan jarak 1 meter bisa mendengar gerutunya itu.“Orang kampung aja di suruh masuk ke ruang tamu, penampilannya aja seperti gembel! Wanita kaya gitu mau kamu nikahi, Mas?”Alih-alih menjawab pertanyaan Lastri, Johar malah asyik menatap lekat wajah Melody. Raut wajah cuek dan galak itu membuatnya menawan, menurut Johar.“Apa kamu berubah pikiran, Mel?” tanya Johar lirih.Tangannya itu mulai sibuk menyentuh pelan tangan Melody. Beberapa tangkisan Melody tidak membuatnya kapok.“Pak Johar, jangan kurang ajar pada saya!” pekik Melody keras.“Saya ke sini mau membayar hutang judi ayah, ambil!” seru Melody menyerahkan sebuah cek uang 100 juta.Melongo!“Mel, kamu barusan merampok di mana?” tuduh Johar tanpa ragu.‘Sialan’ umpat lirih dalam batinnya.Melody beranjak dari tempat duduknya, dengan sopan ia mengulas senyum tipis.“Maaf, Pak Johar. Urusan kita sudah selesai jadi saya akan pulang, dan satu lagi jangan pernah mengganggu keluarga saya!” pekik Melody dan meninggalkan ruang tamu itu.Drtt drtt!Getaran pada ponsel miliknya membuat Melody berhenti sejenak. Manik matanya memicing saat nomor tidak di kenal mengirim sebuah pesan.[Sore ini aku akan datang ke rumahmu, jadi bersiaplah!]“Hah?”"Dokter! Bagaimana keadaan menantu dan cucu saya?" seru Anjela tatkala dokter yang menangani Melody keluar dari ruangan. "Syukurlah, Nona Melody dan bayi laki-lakinya selamat. Setelah ini akan dipindahkan ke ruang rawat untuk nona Melody. Untuk bayi laki-lakinya akan dibawa ke ruangan khusus dulu, sampai kondisinya membaik," papar Dokter yang menangani itu. "Baik, lakukan yang terbaik! Terima kasih banyak." Anjela menangis dengan tersedu-sedu, Andrean yang kini masih belum siuman. Membuat dirinya sangat rapuh. "Bagaimana semua ini terjadi begitu saja," keluhnya. "Halo, Bu. Bagaimana keadaan suamiku?" dengan histeris Nadea bertanya-tanya. "Ke mana saja kamu?" pekik Anjela keras. Dengan penuh emosi ia tidak dapat menahan diri. Jika saja tidak ada perawat yang menahannya, sudah pasti Nadea tidak selamat dari serangan Anjela. "Aku baru saja bertemu temanku, Bu," elak Nadea. "Sialan ya kamu, bisa-bisanya mau meracuni menantuku!" pekiknya keras. Tidak berselang
[Nona Nadea, saya ingin bertemu.] Lasmi. Nadea terpaku menatap layar ponselnya, pesan dari Lasmi berhasil membuatnya mengulas senyum. "Akhirnya, rasakan kau, Melody!" gumamnya dengan penuh kekesalan. "Senyum-senyum sendiri, gila ya, Nad?" tanya seorang wanita di samping Nadea. "Lihat, pasti dia berhasil!" tunjuknnya. Teman Nadea hanya bisa mengulas senyum dengan memberikan tepuk tangan kecil. "Wanita kalau udah licik emang beda ya, lagian ada aja suamimu itu. Dimintai nikah siri malah mau nikahin sah," timpalnya. "Udahlah, yang penting udah berhasil sekarang. Aku duluan ya!" pamitnya. Segera Nadea meninggalkan cafe itu, melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan Lasmi. 30 menit berlalu, langkah Nadea dengan segera menemui Lasmi di sebuah restoran. Wanita yang kini menunduk dalam membuat Nadea bertanya-tanya. Prok prok prok! "Kerja bagus, Lasmi," ucap Nadea dengan sumringah."B-Bu ... E ... Maaf," lirih dengan terbata, Lasmi semakin tidak tahu harus berkata apa."Maksudmu? Me
[Aku akan mengikuti perintah ibu, Nad.] Andrean.Pesan itu terkirim, setelahnya Andrean mengusap pelan wajah Melody yang masih terlelap. Perutnya kian membuncit, lembut ia mengulas senyum. "Sayang, bangun yuk," bisiknya. "Hm, Mas. Adek masih sangat mengantuk," keluhnya. "Iya." Andrean mengeratkan pelukannya pada Melody, membiarkan rasa nyaman itu ada untuk istrinya. Niatnya sudah cukup yakin, hanya menunggu waktu untuk meresmikan pernikahan mereka. Cup! Ke duanya kembali terlelap sejenak, hingga suara nyaring dari notifikasi Andrean membuatnya terbangun. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa penelepon. "Halo, maaf, Tuan. Saya pembantu yang disewa ibu Anjela, kalau boleh tahu nomor berapa ya apartemennya?" dengan sopan suara wanita itu terdengar. "No 55, saya akan ke sana." Sigap Andrean keluar kamar, membukakan pintu apartemen untuk pembantu yang akan datang. 'Bukannya kemarin bukan ini ya?' batin Andrean lirih bertanya-tanya. "Selamat pagi, Tuan. Saya Lasmi," sapanya dengan
"Mas, aku takut," lirih Melody. "Kita banyak berdoa ya, jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita berusaha lagi," terang Andrean lembut. Kini, keduanya turun dari mobil, memasuki rumah sakit dengan langkah pelan. Keyakinan demi keyakinan seolah sengaja ia kuatkan. Tapi, apa daya dirinya yang hanya seorang manusia biasa. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter itu. "Baik, Dok." Setelah mengobrol beberapa hal, Melody diminta berbaring di atas brankar periksa. Beberapa waktu berlalu, benar saja Melody sedang mengandung. Rona bahagia yang tercetak jelas di wajah Andrean, "Adek, terima kasih banyak ya," bisiknya. *** Hari-hari berlalu dengan baik, kandungan Melody yang cukup lemah membuatnya hanya bisa terbaring di apartemen Andrean. "Adek, ibu datang," ucap Andrean lirih. Seraya dengan pintu yang terbuka, sosok Anjela datang dengan membawa buah. "Mel, bagaimana kabarmu sekarang, Nak?" tanyanya lembut. "Melody baik, Bu. Hanya saja lemas sekali, mungkin karena
"Ja-jalang?" desis Melody lirih. Pria yang kini berdiri di ambang pintu kamar mandi itu terdiam. Manik matanya menelisik pada wanita yang ada di hadapannya. "Mel, kenapa menangis?" tanya Andrean. Tangannya gemetar hebat, tidak hentinya matanya menatap layar ponsel yang ia genggam. "Apa sih, Mel?" Masih dengan tanya yang sama, akhirnya Andrean meraih ponsel miliknya. Alih-alih memesan makanan, ia melihat pesan Nadea. "CK!" decih Andrean keras. Kesal bukan kepalang, ingin sekali memaki Nadea saat itu juga. "Aku memang tidak pantas untuk kamu, Mas," lirih Melody. Bulir bening yang tidak berhenti mengaliri pipi Melody, membuat Andrean segera mendekapnya."Melody, lupakan pesan itu ya. Kita pesan makan saja," ucap Andrean. "Aku sudah tidak lapar, Mas. Melody tidur saja," elaknya. Segera ia meraih selimut, membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sekilas manik matanya bertemu dengan manik mata Andrean. Tapi tidak berselang lama, ia segera memalingkan pandangan. "Aku sudah cukup m
Malam itu, Melody dan Andrean tengah sibuk mengobrol. Menunggu kedatangan Anjela. Suara dering telepon membuat Andrean segera mengangkatnya. "Halo," sapanya. "Ibu sudah di depan pintu," ucapnya. Tanpa ragu Andrean berlari menemui Anjela, senyumnya merekah dengan beberapa bingkisan di tangannya. "Ibu terjebak macet, Ndre. Capek sekali di jalan kalau macet," keluhnya. "Tidak apa, Bu. Ayo masuk," ajaknya. Anjela masuk dengan mengikuti langkah Andrean, di sana Melody sudah merasa gugup. Ia hanya bisa diam sembari menatap nanar wajah Anjela. "Mel," sapa Anjela. "Ibu, apa kabar?" tanya Melody. Senyum yang pertama kali terulas sebelum wanita paruh baya menjawab tanya Melody. "Ibu baik, senang bisa bertemu denganmu lagi, Mel," tutur Anjela. "Melody juga senang bertemu dengan ibu mertua lagi, maaf ya Bu saya gagal," ucap Melody penuh keraguan. "Tidak apa, Melody. Itu sebuah kecelakaan di luar kendali kita, tapi bolehkah saya meminta?" tanya Anjela. Andrean sempat memberikan isyar
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan