Sejak pagi, Melody sudah sibuk dengan persiapan kembali ke Kota J. Ingin rasanya menetap di rumah ini, namun apalah daya. "Aku mau ke rumah ibu ya, Mas," ucapnya lirih. "Aku sudah beli apartemen baru loh buat kamu, Dek," ujar Andrean. Melody menolehkan kepalanya seraya melipat baju. "Bukan begitu, Mas. Aku pengen ketemu ibu aja, nanti juga balik lagi ke apartemen," paparnya. "Tapi aku gak ikut ke rumah mas ya, aku takut ketemu Nona Nadea," tambah Melody lirih. Andrean menganggukkan kepalanya paham, setelah semua persiapan selesai. "Bu Jum, terima kasih ya," ucap Melody lembut. "Nona tidak perlu berterima kasih, ini sudah tugas saya. Senang bisa menemani nona dan merawat nona di sini," manik mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca. Bulir bening yang tertahan di ujung pelupuk mata itu akhirnya pecah begitu saja. "Loh, Bu Jum. Jangan menangis," tanpa ragu Melody memeluk tubuh Juminah. Tidak membedakan kasta atau apa pun itu, ia hanya menyayangi orang-orang yang baik padanya. T
"Maafkan aku, Dek Ody," bisik Andrean. Malu, jika mengingat kejadian yang dibuatnya sendiri. Mengecam Melody dengan kalimat ia sangat ceroboh. Padahal mereka berdua yang ceroboh, Andrean dan Nadea sendiri. "Tidak usah minta maaf, Mas. Aku hanya menjaga diriku sendiri," ucapnya. "Tapi aku salah saat itu, tidak selayaknya aku-" Melody meraup wajah Andrean dengan dua tangannya. Membiarkan senyum itu merekah di bibir suaminya. "Semakin mas seperti ini, aku akan semakin kalut dalam rasa sedihku. Sudah ya, aku minta tolong," lembut suara Melody yang membuat Andrean terdiam. "Ya, mas akan diam ... Diam-diam menggendongmu masuk!" seru Andrean keras. Dibawanya Melody ke kamar utama, tidak peduli wanita yang kini memberontak minta turun. "Mas ini ya, aku bisa jantungan!" seru Melody keras. "Hahaha, tidak apa-apa. Kita makan yuk, mas lapar," keluhnya. "Mas mau makan apa? Ody aja yang masak ya," Dengan menawarkan dirinya sendiri, meski tidak handal dalam urusan dapur. Tapi masakan Melo
"I-ibu sedang sakit, Kak," ragu Lily menjawab tanya kakak sulungnya. Matanya membelalak lebar, kenapa Larasati diam saja? "Sakit apa, Ly?" todong tanya melody keras. Tanpa menunggu jawaban, Melody melenggang masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan ibunya yang ternyata tidak ada di kamar. "Ly, ibu di mana?" tanya Melody keras. "Di rumah sakit, Kak. I-ibu di rawat," jawabnya. Deg! "Dirawat?" degup jantungnya mulai tidak karuan. Lily hanya mengangguk pelan, ada apa dengan keluarganya ini? Beberapa waktu lalu, Larasati meneleponnya dengan biasa saja. Seolah tidak ada yang terjadi, tapi ini? "Ly, antar kakak ke rumah sakit sekarang!" tegasnya. Gontai langkah Lily mengantar Melody, sebuah taxi yang ia pesan akhirnya tiba. Dengan perasaan penuh kecemasan, Melody hanya bisa meremas roknya. 'Sial, kenapa selalu seperti ini sih!' gerutu Melody dalam batinnya. [Mas, adek ke rumah sakit ya. Ibu sakit ternyata, nanti adek kabarin lagi.] Melody. Pesan itu terkirim pada Andrean. Sepan
Lily mendongakkan kepalanya penuh keraguan, ditatapnya wajah Melody dengan penuh tanya. "Gak apa-apa kalau kamu mau, Ly. Biar sekalian Mas Andrean pulang ke rumah," ucap Melody. "Loh, Mel. Aku hanya akan mengantar Lily ke sekolah dan ke sini lagi," elaknya. "Tidak, Mas. Nona Nadea lebih membutuhkan kamu, tolong ya!" pinta Melody lembut. "Ya, oke." Setelahnya, Lily dan Andrean meninggalkan rumah sakit. Menyisakan Melody sendirian, lama ia menatap nanar wajah Larasati yang terlihat memar. "Bagaimana bisa ayah sekejam itu pada ibu? Padahal dulu hubungan ke duanya juga didasari cinta," lirih Melody penuh tanya. "Mel ...," panggil Larasati. Melody terperanjat, suara Larasati membuatnya tersadar dari lamunan singkatnya. "Iya, Bu. Ada apa?" tanya Melody tergagap. "Lily di mana?" Larasati menatap sekeliling, namun tidak ia temukan anak bungsunya itu. Hanya ada Melody dan seorang perawat yang mengecek dirinya. "Lily pergi ke sekolah," jawab singkat Melody. Ia hanya mengangguk paha
"Maksudmu apa, Nad!" hardik Andrean keras.Amarahnya meluap tatkala ia mendengar gumaman Andrean. Lagi-lagi nama Melody yang mulai diagung-agungkan. "Kenapa nama wanita itu yang selalu kau sebut-sebut, Mas! Tidak hanya kau, tapi ibu juga ... Semenjak ada wanita itu, aku selalu dinokor dua kan!" pekik Nadea keras. Andrean hanya memijat pelipisnya lembut, begitu lelah rasanya. Tapi apa dayanya? "Nad, maafkan aku. A-aku tidak bermaksud melakukan itu, tapi ...," ia menghentikan ucapannya. "Tapi, apa? Kamu mulai mencintainya 'kan?" hardik tanya Nadea. "Nad ...," lirih Andrean memanggil istrinya itu lembut. "Udahlah, Mas. Aku muak dengan semua ini," keluh Nadea kasar. Tangannya ditarik paksa oleh Andrean, membuatnya terperanjat kaget. Ia memberontak hebat tatkala Andrean memaksa mendekapnya. Tapi apa? Ia kembali luluh atas pelukan suaminya. "Nadea, aku sangat mencintaimu. Tidak mungkin aku menduakanmu ... Perkara aku pulang terlambat lalu kamu merasa aku sudah jatuh cinta pada Me
Brak!Seorang lelaki paruh baya itu menggebrak meja dengan kerasnya.“Hutang judi ayahmu itu harus lunas dalam waktu 2 kali 24 jam, jika tidak kamu akan menjadi istriku anak manis!” ucap Johar dengan tegas.“Hah, ini tidak masuk akal, Pak! Hutang ayah itu 75 juta, bagaimana bisa saya melunasinya dalam waktu 2 kali 24 jam?” pekik Melody keras dengan tatapan nyalang.Manik matanya kini tertuju pada seorang pria paruh baya yang menjadi tersangka hutang ini. Di sudut kursi ayahnya hanya diam tidak berkutik.“Ayah, katakan pada Pak Johar, dan mintalah keringanan untuk itu!” ujar Melody, dengan tangan yang mengoyak tubuh ayahnya perlahan.“Sudahlah, Mel. Kamu nikah saja dengan Pak Johar, tinggal nikah saja apa susahnya sih!” seru Rokim tanpa ragu.‘Sialan, ayah tidak tahu diri!’ umpat Melody dalam batinnya.Johar menatap Melody dengan penuh nafsu, sebelah tangannya menyentuh pelan dagu Melody. Jijik! Ingin sekali Melody memaki pria paruh baya itu, namun ia tidak ingin dicap menjadi wanita t
“Saya mau berpikir dulu,” ucap Melody dengan menarik kertas putih di hadapannya.“200 juta, deal!” tawar Andrean, dengan mengulurkan tangan kanannya.“200 juta?” ulang Melody dengan ragu.Seperti terhantam kenyataan berat, bahkan ia belum pernah menyentuh uang sebanyak itu. Tubuhnya memberi respons yang tidak tepat saat ini.“Tuan Andrean, saya ijin ke toilet dulu!” pamit Melody.‘Dasar tubuh tidak tahu diri, mau dapat rezeki nomplok malah segala kebelet boker,' gerutu Melody dalam batinnya.Kini ia terdiam sejenak dalam lamunannya, uang 200 juta akan cukup untuk melunasi hutang judi. Bahkan bisa untuk membiayai hidup ibu dan adiknya selama beberapa tahun.“Apa aku menerima tawaran itu ya? Menjadi seorang madu dan ... Istri siri dari anak tunggal keluarga paling kaya,” Melody bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Hidup dengan pas-pasan sudah sering ia rasakan, bekerja di butik dengan gaji yang hanya cukup untuk makan dan transportasi.“Dengan uang itu aku bisa membayar hutang judi ayah
“Apa dia tidak tahu sopan santun dan … ah, sudah tidak ada waktu lagi untuk menggerutu!” gerutu Melody.Kini ia seperti wanita kalang kabut, bagaimana tidak? Ia akan dilamar oleh seorang anak pengusaha properti ternama.“Ibu,” teriak Melody dengan sayup-sayup keluar kamar.“Ada apa, Nak?” tanya Larasati pada ana sulungnya.Melody menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia sudah kehabisan kata untuk menjelaskan pada ibunya kali ini.“Ada apa, Mel? Kamu terlihat sangat cemas, coba bilang ke ibu tentang apa?” todong tanya Larasati. Manik matanya masih menatap lekat ke anak sulungnya itu.“Bu, aduh aku gak punya banyak waktu, aku jelaskan secara singkat aja ya. Jadi, tadi pagi Pak Johar datang menagih hutang judi ayah. Dan ibu tau? Ternyata ayah menjadikan aku jaminan untuk hutang 75 juta. Ibu aku berasa langsung gila saat itu juga,” jelas Melody yang cukup panjang.Ia terlihat menghela nafasnya cukup panjang, “Setelah Pak Johar keluar rumah, aku niatnya mau cari angin dan …,” pada part in