Share

Bab 9

"Mas, aku tidak basa-basi kali ini, aku serius dengan ucapanku. Perkara program hamil itu kita bukan aku saja!" pekik Melody tanpa ragu. 

Tapapan Andrean yang berubah, dengan bibir yang terkatup rapi tanpa celah. Manik matanya hanya fokus pada sosok Melody di hadapannya. 

"Batalkan saja ke dokter hari ini, besok sebelum aku ke luar kota kita ke dokter dulu. Puas?" hardik Andrean keras. 

Deg! 

Sontak Melody menatap nanar ke arah Andrean, sebuah bentakan yang melayang pada dirinya membuat ia terdiam pasi. 

"Kenapa diam? Katanya harus kita berdua kan?" todong tanya Andrean yang terdengar seperti sindiran. 

"Ya sudah, kembalilah ke kamarmu. Aku malam ini tidak akan datang, tidak perlu menunggu," ujarnya menambahkan. 

"Baik, Mas. Terima kasih," Melody melangkahkan kakinya ke kamar. 

Dengan perasaan yang cukup hancur, ia memasuki kamar dengan penuh kekesalan. Air mata yang sempat ia tahan itu luruh, membasahi pipinya yang ranum. 

"Jika bukan untuk ibu dan adikku, aku tidak mau menjadi seorang madu anak orang terkaya di kota ini. Harusnya aku cukup bekerja saja dengan gaji pas-pasan. Tapi, aku tidak mau menikah dengan pri a tua itu!" keluh Melody dengan tangis tersedu-sedu. 

"Nyatanya menjadi madu dan menikah dengan Johar sama saja!" gertak Melody pada dirinya sendiri. 

Malam yang ia lalui sendirian, menatap bintang dari balkon. Dengan perasaan yang cukup sakit, seumur hidup ia belum pernah dibentak seorang laki-laki. Terlebih itu orang tuanya sendiri. 

"Andrean jahat, tapi ... Ayah lebih jahat!" gumamnya lirih. 

Tok tok tok! 

"Non, saya Inem mau mengirimkan makanan. Nona belum makan malam dan kata tuan Andrean ... Saya harus mengirimkan malanma ini ke kamar," suara Inem sayup-sayup terdengar di telinga Melody. 

Bahkan ia tidak menyadari jam makan malam telah tiba, alih-alih membuka pintu ia hanya berseru. Tidak lama dari itu, seorang inem yang entah masuk lewat mana. Sudah ada di samping Melody. 

"Non, makan itu kebutuhan tubuh yang harus dipenuhi," ucap Inem dengan penuturan lembut. 

"Bagaimana kalau saya menyuapi Nona Melody? Ya, anggap saja ibu sendiri," ucap Inem menawarkan diri. 

'Apa aku rindu dengan ibu?' batinnya bertanya-tanya. 

Melody hanya menganggukkan kepalanya setuju, dengan telaten Inem menyuapi Melody. Layaknya seorang ibu yang dengan senantiasa menyuapi anaknya. 

"Inem lihat nona barusan bertengkar dengan tuan muda ya?" tanya Inem menelisik. 

"Tuan muda itu wataknya keras dan dingin, memang susah mengobrol dengan dia secara baik-baik. Ya, namanya anak tunggal 'kan, sudah pasti keras kepala. Semoga nona betah dengannya," peringat Inem. 

"Terima kasih, Inem. Aku kira dia hanya dingin dan minum bicara, ternyata tidak ya," ucap Melody lirih, ia hanya menebak-nebak awalnya saat pertama bertemu dengan Andrean. 

Tebakannya meleset jauh, ternyata Andrean memang keras dan dingin. Seperti batu yang tidak kunjung mengikis meski terkena air secara berulang. 

"Sama-sama, Non. Anda hari ini makannya banyak, jangan-jangan karena tangan saya ini," Inem tergelak tawa. 

"Hahaha, Inem. Aku juga tidak sadar kalau makan banyak," ucap Melody dengan kekehan ringan. 

"Nona Melody kenapa mau menikah dengan tuan muda?" tanya Inem dengan menatap nanar ke arah Melody. 

"Kontrak dan uang, aku butuh uang yang banyak untuk membayar hutang ayahku," jelasnya. 

Inem terperanjat, jika piring itu tidak ia tumpu dengan baik. Sepertinya isinya sudah berserakan di lantai. 

"No-nona serius?" tanyanya dengan mata yang menatap nanar ke arah Melody. 

"Iya, Inem. Aku serius, semua ini aku lakukan demi orang tuaku. Aku mau ibuku selamat dari siksaan ayah yang hobi berjudi itu," jelas Melody dengan suara sendu. 

"Nona ... Aduh, bagaimana saya mengatakannya. Bekerja sama dengan keluarga Zahari itu harus lebih hati-hati. Apalagi ini dengan Tuan muda ...," ucapan Inem terhenti, ia berjalan mendekati pintu matanya menatap ke sekeliling. 

Melody hanya menatap aneh gerak-gerik pembantunya itu. Tidak lama dari itu, ia sudah kembali dengan sedikit lebih dekat. 

"Tuan muda itu laki-laki yang masih dikendalikan ibu dan istri pertamanya. Kadang, ia juga menurut saja dengan ucapan Nona Nadea, yang jelas-jelas menentang keputusan keluarga." 

Semakin ke sini, Inem bercerita banyak tentang beberapa kejadian yang ada di rumah itu. Mulai dari pernikahan Andrean dan Nadea yang ditentang habis oleh Zahari dan Anjela. 

"Lalu, kenapa mereka tetap menikah?" tanya Melody mulai tertarik dengan topik pembicaraan malam itu. 

"Tuan muda memaksa dengan dalih ia bisa saja kawin lari. Pada akhirnya Tuan Zahari dan nyonya Anjela cuma bisa menerima dengan lapang. Saya jadi saksi bisu kekesalan Nyonya Anjela saat itu," tutur Inem dengan jelas dan runtut. 

"Tapi, Nem. Saat aku lihat sekarang, mereka terlihat baik-baik saja. Tidak terlihat jika Ibu mertua menolak kehadiran Nona Nadea," ujar Melody dengan raut bingungnya. 

Inem mendadak diam seribu bahasa, suara derap langkah seseorang mulai mendekat. Ia langsung beranjak dengan membawa semua piring dan nampan. 

"Saya pamit, kita lanjutkan kapan-kapan perbincangan soal ini ya," ucap Inem berbisik lirih. 

"Iya, Nem. Terima kasih atas makanannya, sangat enak dan membuatku kenyang!" seru Melody antusias. 

Tidak berselang lama, pintu itu terbuka lebar. Tanpa banyak basa-basi, Inem lekas pergi dari kamar itu. Hening dari Melody atau pun Andrean yang baru saja masuk. 

"Lama sekali Inem ada di kamarmu, apa yang ia lakukan?" todong tanya Andrean dengan raut serius. 

"Tidak ada, dia hanya menemaniku makan sampai selesai," tukas Melody dengan ketus. 

Andrean mengambil duduk di samping Melody, tangannya mulai mengusap pelan punggung tangan Melody. Entah niat apa yang sudah ada di kepalanya malam ini. 

"Katanya tidak datang, kenapa mas ke sini?" tanya Melody dengan ketus.

Bukannya tidak suka Andrean datang, namun, setelah ia mendengar sedikit tentang pria di sampingnya. Melody sedikit meragukan keputusannya. 

"Nadea ingin tidur sendiri malam ini, bagaimana kalau kita melanjutkan apa yang seharusnya kita lakukan ... Mel?" bisik Andrean yang mampu membuat bulu kuduk Melody berdiri. 

"Maksud, Mas? Aku sudah seperti persinggahan saat mas membutuhkan sesuatu," gerutu Melody dengan menampakkan wajah kesalnya. 

'Eh, kenapa aku mengatakan itu padanya!' batin Melody mengoreksi ucapannya. 

"Apa kau lupa tentang perjanjian kita? Aku hanya membutuhkan anak darimu, selebihnya aku tidak butuh!" ucap Andrean dengan berdecak, kini ia berdiri dengan membuka sedikit kemejanya. 

DEG! 

Hanya anak darimu? 

Satu kalimat yang terngiang-ngiang di kepala Melody secara berulang-ulang. Secara tidak langsung ia dianggap sebagai mensih penghasil anak, yang akan dicari saat hawa nafsunya membutuhkan pelampiasan. 

"Laki-laki kejam!" pekik Melody secara tiba-tiba. 

Sontak, Andrean menopang dagu Melody dengan satu tangannya. Senyum licik yang tercetak jelas diwajahnya. 

"Mel, lakukan apa pun yang yang sesuai dengan perjanjian kita, tidak perlu repot-repot memikirkan hal lain. Karena hanya itu tugasmu selama kontrak kerja kita masih berjalan ... Selebihnya, jangan berharap banyak!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status