"Mas, aku tidak basa-basi kali ini, aku serius dengan ucapanku. Perkara program hamil itu kita bukan aku saja!" pekik Melody tanpa ragu.
Tapapan Andrean yang berubah, dengan bibir yang terkatup rapi tanpa celah. Manik matanya hanya fokus pada sosok Melody di hadapannya. "Batalkan saja ke dokter hari ini, besok sebelum aku ke luar kota kita ke dokter dulu. Puas?" hardik Andrean keras. Deg! Sontak Melody menatap nanar ke arah Andrean, sebuah bentakan yang melayang pada dirinya membuat ia terdiam pasi. "Kenapa diam? Katanya harus kita berdua kan?" todong tanya Andrean yang terdengar seperti sindiran. "Ya sudah, kembalilah ke kamarmu. Aku malam ini tidak akan datang, tidak perlu menunggu," ujarnya menambahkan. "Baik, Mas. Terima kasih," Melody melangkahkan kakinya ke kamar. Dengan perasaan yang cukup hancur, ia memasuki kamar dengan penuh kekesalan. Air mata yang sempat ia tahan itu luruh, membasahi pipinya yang ranum. "Jika bukan untuk ibu dan adikku, aku tidak mau menjadi seorang madu anak orang terkaya di kota ini. Harusnya aku cukup bekerja saja dengan gaji pas-pasan. Tapi, aku tidak mau menikah dengan pri a tua itu!" keluh Melody dengan tangis tersedu-sedu. "Nyatanya menjadi madu dan menikah dengan Johar sama saja!" gertak Melody pada dirinya sendiri. Malam yang ia lalui sendirian, menatap bintang dari balkon. Dengan perasaan yang cukup sakit, seumur hidup ia belum pernah dibentak seorang laki-laki. Terlebih itu orang tuanya sendiri. "Andrean jahat, tapi ... Ayah lebih jahat!" gumamnya lirih. Tok tok tok! "Non, saya Inem mau mengirimkan makanan. Nona belum makan malam dan kata tuan Andrean ... Saya harus mengirimkan malanma ini ke kamar," suara Inem sayup-sayup terdengar di telinga Melody. Bahkan ia tidak menyadari jam makan malam telah tiba, alih-alih membuka pintu ia hanya berseru. Tidak lama dari itu, seorang inem yang entah masuk lewat mana. Sudah ada di samping Melody. "Non, makan itu kebutuhan tubuh yang harus dipenuhi," ucap Inem dengan penuturan lembut. "Bagaimana kalau saya menyuapi Nona Melody? Ya, anggap saja ibu sendiri," ucap Inem menawarkan diri. 'Apa aku rindu dengan ibu?' batinnya bertanya-tanya. Melody hanya menganggukkan kepalanya setuju, dengan telaten Inem menyuapi Melody. Layaknya seorang ibu yang dengan senantiasa menyuapi anaknya. "Inem lihat nona barusan bertengkar dengan tuan muda ya?" tanya Inem menelisik. "Tuan muda itu wataknya keras dan dingin, memang susah mengobrol dengan dia secara baik-baik. Ya, namanya anak tunggal 'kan, sudah pasti keras kepala. Semoga nona betah dengannya," peringat Inem. "Terima kasih, Inem. Aku kira dia hanya dingin dan minum bicara, ternyata tidak ya," ucap Melody lirih, ia hanya menebak-nebak awalnya saat pertama bertemu dengan Andrean. Tebakannya meleset jauh, ternyata Andrean memang keras dan dingin. Seperti batu yang tidak kunjung mengikis meski terkena air secara berulang. "Sama-sama, Non. Anda hari ini makannya banyak, jangan-jangan karena tangan saya ini," Inem tergelak tawa. "Hahaha, Inem. Aku juga tidak sadar kalau makan banyak," ucap Melody dengan kekehan ringan. "Nona Melody kenapa mau menikah dengan tuan muda?" tanya Inem dengan menatap nanar ke arah Melody. "Kontrak dan uang, aku butuh uang yang banyak untuk membayar hutang ayahku," jelasnya. Inem terperanjat, jika piring itu tidak ia tumpu dengan baik. Sepertinya isinya sudah berserakan di lantai. "No-nona serius?" tanyanya dengan mata yang menatap nanar ke arah Melody. "Iya, Inem. Aku serius, semua ini aku lakukan demi orang tuaku. Aku mau ibuku selamat dari siksaan ayah yang hobi berjudi itu," jelas Melody dengan suara sendu. "Nona ... Aduh, bagaimana saya mengatakannya. Bekerja sama dengan keluarga Zahari itu harus lebih hati-hati. Apalagi ini dengan Tuan muda ...," ucapan Inem terhenti, ia berjalan mendekati pintu matanya menatap ke sekeliling. Melody hanya menatap aneh gerak-gerik pembantunya itu. Tidak lama dari itu, ia sudah kembali dengan sedikit lebih dekat. "Tuan muda itu laki-laki yang masih dikendalikan ibu dan istri pertamanya. Kadang, ia juga menurut saja dengan ucapan Nona Nadea, yang jelas-jelas menentang keputusan keluarga." Semakin ke sini, Inem bercerita banyak tentang beberapa kejadian yang ada di rumah itu. Mulai dari pernikahan Andrean dan Nadea yang ditentang habis oleh Zahari dan Anjela. "Lalu, kenapa mereka tetap menikah?" tanya Melody mulai tertarik dengan topik pembicaraan malam itu. "Tuan muda memaksa dengan dalih ia bisa saja kawin lari. Pada akhirnya Tuan Zahari dan nyonya Anjela cuma bisa menerima dengan lapang. Saya jadi saksi bisu kekesalan Nyonya Anjela saat itu," tutur Inem dengan jelas dan runtut. "Tapi, Nem. Saat aku lihat sekarang, mereka terlihat baik-baik saja. Tidak terlihat jika Ibu mertua menolak kehadiran Nona Nadea," ujar Melody dengan raut bingungnya. Inem mendadak diam seribu bahasa, suara derap langkah seseorang mulai mendekat. Ia langsung beranjak dengan membawa semua piring dan nampan. "Saya pamit, kita lanjutkan kapan-kapan perbincangan soal ini ya," ucap Inem berbisik lirih. "Iya, Nem. Terima kasih atas makanannya, sangat enak dan membuatku kenyang!" seru Melody antusias. Tidak berselang lama, pintu itu terbuka lebar. Tanpa banyak basa-basi, Inem lekas pergi dari kamar itu. Hening dari Melody atau pun Andrean yang baru saja masuk. "Lama sekali Inem ada di kamarmu, apa yang ia lakukan?" todong tanya Andrean dengan raut serius. "Tidak ada, dia hanya menemaniku makan sampai selesai," tukas Melody dengan ketus. Andrean mengambil duduk di samping Melody, tangannya mulai mengusap pelan punggung tangan Melody. Entah niat apa yang sudah ada di kepalanya malam ini. "Katanya tidak datang, kenapa mas ke sini?" tanya Melody dengan ketus.Bukannya tidak suka Andrean datang, namun, setelah ia mendengar sedikit tentang pria di sampingnya. Melody sedikit meragukan keputusannya. "Nadea ingin tidur sendiri malam ini, bagaimana kalau kita melanjutkan apa yang seharusnya kita lakukan ... Mel?" bisik Andrean yang mampu membuat bulu kuduk Melody berdiri. "Maksud, Mas? Aku sudah seperti persinggahan saat mas membutuhkan sesuatu," gerutu Melody dengan menampakkan wajah kesalnya. 'Eh, kenapa aku mengatakan itu padanya!' batin Melody mengoreksi ucapannya. "Apa kau lupa tentang perjanjian kita? Aku hanya membutuhkan anak darimu, selebihnya aku tidak butuh!" ucap Andrean dengan berdecak, kini ia berdiri dengan membuka sedikit kemejanya. DEG! Hanya anak darimu? Satu kalimat yang terngiang-ngiang di kepala Melody secara berulang-ulang. Secara tidak langsung ia dianggap sebagai mensih penghasil anak, yang akan dicari saat hawa nafsunya membutuhkan pelampiasan. "Laki-laki kejam!" pekik Melody secara tiba-tiba. Sontak, Andrean menopang dagu Melody dengan satu tangannya. Senyum licik yang tercetak jelas diwajahnya. "Mel, lakukan apa pun yang yang sesuai dengan perjanjian kita, tidak perlu repot-repot memikirkan hal lain. Karena hanya itu tugasmu selama kontrak kerja kita masih berjalan ... Selebihnya, jangan berharap banyak!""Dokter! Bagaimana keadaan menantu dan cucu saya?" seru Anjela tatkala dokter yang menangani Melody keluar dari ruangan. "Syukurlah, Nona Melody dan bayi laki-lakinya selamat. Setelah ini akan dipindahkan ke ruang rawat untuk nona Melody. Untuk bayi laki-lakinya akan dibawa ke ruangan khusus dulu, sampai kondisinya membaik," papar Dokter yang menangani itu. "Baik, lakukan yang terbaik! Terima kasih banyak." Anjela menangis dengan tersedu-sedu, Andrean yang kini masih belum siuman. Membuat dirinya sangat rapuh. "Bagaimana semua ini terjadi begitu saja," keluhnya. "Halo, Bu. Bagaimana keadaan suamiku?" dengan histeris Nadea bertanya-tanya. "Ke mana saja kamu?" pekik Anjela keras. Dengan penuh emosi ia tidak dapat menahan diri. Jika saja tidak ada perawat yang menahannya, sudah pasti Nadea tidak selamat dari serangan Anjela. "Aku baru saja bertemu temanku, Bu," elak Nadea. "Sialan ya kamu, bisa-bisanya mau meracuni menantuku!" pekiknya keras. Tidak berselang
[Nona Nadea, saya ingin bertemu.] Lasmi. Nadea terpaku menatap layar ponselnya, pesan dari Lasmi berhasil membuatnya mengulas senyum. "Akhirnya, rasakan kau, Melody!" gumamnya dengan penuh kekesalan. "Senyum-senyum sendiri, gila ya, Nad?" tanya seorang wanita di samping Nadea. "Lihat, pasti dia berhasil!" tunjuknnya. Teman Nadea hanya bisa mengulas senyum dengan memberikan tepuk tangan kecil. "Wanita kalau udah licik emang beda ya, lagian ada aja suamimu itu. Dimintai nikah siri malah mau nikahin sah," timpalnya. "Udahlah, yang penting udah berhasil sekarang. Aku duluan ya!" pamitnya. Segera Nadea meninggalkan cafe itu, melangkahkan kakinya untuk bertemu dengan Lasmi. 30 menit berlalu, langkah Nadea dengan segera menemui Lasmi di sebuah restoran. Wanita yang kini menunduk dalam membuat Nadea bertanya-tanya. Prok prok prok! "Kerja bagus, Lasmi," ucap Nadea dengan sumringah."B-Bu ... E ... Maaf," lirih dengan terbata, Lasmi semakin tidak tahu harus berkata apa."Maksudmu? Me
[Aku akan mengikuti perintah ibu, Nad.] Andrean.Pesan itu terkirim, setelahnya Andrean mengusap pelan wajah Melody yang masih terlelap. Perutnya kian membuncit, lembut ia mengulas senyum. "Sayang, bangun yuk," bisiknya. "Hm, Mas. Adek masih sangat mengantuk," keluhnya. "Iya." Andrean mengeratkan pelukannya pada Melody, membiarkan rasa nyaman itu ada untuk istrinya. Niatnya sudah cukup yakin, hanya menunggu waktu untuk meresmikan pernikahan mereka. Cup! Ke duanya kembali terlelap sejenak, hingga suara nyaring dari notifikasi Andrean membuatnya terbangun. "Halo," sapanya tanpa melihat siapa penelepon. "Halo, maaf, Tuan. Saya pembantu yang disewa ibu Anjela, kalau boleh tahu nomor berapa ya apartemennya?" dengan sopan suara wanita itu terdengar. "No 55, saya akan ke sana." Sigap Andrean keluar kamar, membukakan pintu apartemen untuk pembantu yang akan datang. 'Bukannya kemarin bukan ini ya?' batin Andrean lirih bertanya-tanya. "Selamat pagi, Tuan. Saya Lasmi," sapanya dengan
"Mas, aku takut," lirih Melody. "Kita banyak berdoa ya, jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita berusaha lagi," terang Andrean lembut. Kini, keduanya turun dari mobil, memasuki rumah sakit dengan langkah pelan. Keyakinan demi keyakinan seolah sengaja ia kuatkan. Tapi, apa daya dirinya yang hanya seorang manusia biasa. "Selamat pagi, Pak, Bu," sapa dokter itu. "Baik, Dok." Setelah mengobrol beberapa hal, Melody diminta berbaring di atas brankar periksa. Beberapa waktu berlalu, benar saja Melody sedang mengandung. Rona bahagia yang tercetak jelas di wajah Andrean, "Adek, terima kasih banyak ya," bisiknya. *** Hari-hari berlalu dengan baik, kandungan Melody yang cukup lemah membuatnya hanya bisa terbaring di apartemen Andrean. "Adek, ibu datang," ucap Andrean lirih. Seraya dengan pintu yang terbuka, sosok Anjela datang dengan membawa buah. "Mel, bagaimana kabarmu sekarang, Nak?" tanyanya lembut. "Melody baik, Bu. Hanya saja lemas sekali, mungkin karena
"Ja-jalang?" desis Melody lirih. Pria yang kini berdiri di ambang pintu kamar mandi itu terdiam. Manik matanya menelisik pada wanita yang ada di hadapannya. "Mel, kenapa menangis?" tanya Andrean. Tangannya gemetar hebat, tidak hentinya matanya menatap layar ponsel yang ia genggam. "Apa sih, Mel?" Masih dengan tanya yang sama, akhirnya Andrean meraih ponsel miliknya. Alih-alih memesan makanan, ia melihat pesan Nadea. "CK!" decih Andrean keras. Kesal bukan kepalang, ingin sekali memaki Nadea saat itu juga. "Aku memang tidak pantas untuk kamu, Mas," lirih Melody. Bulir bening yang tidak berhenti mengaliri pipi Melody, membuat Andrean segera mendekapnya."Melody, lupakan pesan itu ya. Kita pesan makan saja," ucap Andrean. "Aku sudah tidak lapar, Mas. Melody tidur saja," elaknya. Segera ia meraih selimut, membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Sekilas manik matanya bertemu dengan manik mata Andrean. Tapi tidak berselang lama, ia segera memalingkan pandangan. "Aku sudah cukup m
Malam itu, Melody dan Andrean tengah sibuk mengobrol. Menunggu kedatangan Anjela. Suara dering telepon membuat Andrean segera mengangkatnya. "Halo," sapanya. "Ibu sudah di depan pintu," ucapnya. Tanpa ragu Andrean berlari menemui Anjela, senyumnya merekah dengan beberapa bingkisan di tangannya. "Ibu terjebak macet, Ndre. Capek sekali di jalan kalau macet," keluhnya. "Tidak apa, Bu. Ayo masuk," ajaknya. Anjela masuk dengan mengikuti langkah Andrean, di sana Melody sudah merasa gugup. Ia hanya bisa diam sembari menatap nanar wajah Anjela. "Mel," sapa Anjela. "Ibu, apa kabar?" tanya Melody. Senyum yang pertama kali terulas sebelum wanita paruh baya menjawab tanya Melody. "Ibu baik, senang bisa bertemu denganmu lagi, Mel," tutur Anjela. "Melody juga senang bertemu dengan ibu mertua lagi, maaf ya Bu saya gagal," ucap Melody penuh keraguan. "Tidak apa, Melody. Itu sebuah kecelakaan di luar kendali kita, tapi bolehkah saya meminta?" tanya Anjela. Andrean sempat memberikan isyar