"Mama doakan saja supaya Sabrina segera hamil dan melahirkan anakku dengan selamat dan sehat," timpal Darren tidak ingin memperpanjang obrolan mereka. Darren tahu, perempuan yang berdiri di belakangnya sangat ketakutan.
"Tentu saja. Aku akan mendoakan supaya dia cepat hamil, cepat melahirkan dan cepat pergi dari rumah ini." Ibu Renata melengos, pergi meninggalkan Darren dan Sabrina bersama Pak Sugeng. Sabrina menarik napas lega, walaupun ada rasa sakit di hati. Memegang dadanya yang berdebar tak karuan. "Hei, are you oke?" panggil Darren. "Hah?" Sabrina malah melongo. "Kamu takut?" Darren merundukkan sedikit kepala, ingin melihat wajah Sabrina. "I-iya. Takut banget," jawab Sabrina tersenyum miring. Darren terkekeh, meraih telapak tangan anak gadis pak Sudarso. "Enggak usah takut. Aku tadi kan udah bilang, ada aku. Apa yang mesti kamu takutin?" "Huh, apaan ada aku? Buktinya waktu Mbak Lica memukul tubuhmu, kamu diam aja," cibir Sabrina, memanyunkan bibirnya. Darren mencubit gemas hidung Sabrina. "Aku bukannya gak mau melawan dia. Cuma gak mau menyakiti fisiknya. Cukup hatinya saja yang aku sakiti." Seketika, Sabrina tercenung mendengar jawaban Darren. Sabrina menganggukkan kepala. Sekarang dia setuju Darren tidak membalas perlakuan buruk Angelica. "Bagus. Aku pikir tadi... Kamu bakalan ngelawan dia. Ternyata enggak. Bagus sih," kata Sabrina merunduk. Darren meraih dagu Sabrina. "Jangan cemburu. Malam ini aku tidur bersamamu lagi," kata Darren mengedipkan sebelah mata. "Dih pede amat? Siapa juga yang cemburu." Darren tertawa lepas, merangkul pundak Sabrina, mengajak wanita itu ke kamar mereka. Membuka pintu kamar yang terletak di ujung lorong lantai bawah, kedua mata Sabrina membeliak takjub melihat ornamen dan luasnya kamar yang akan ditempatinya. "Ini ... ini kamarku?" tanya Sabrina saat mereka masuk ke dalam kamar. "Hanya kamarmu saja?" Darren bertanya sambil bersidekap. "Ups, maksudku ... kamar kita," ralat Sabrina tersenyum simpul. Darren menarik tubuh Sabrina, memeluknya. Entah mengapa, Darren merasakan kenyamanan jika berada di dekat Sabrina. Kenyamanan yang sebelumnya tidak pernah ia rasakan. Kenyamanan itu tidak hanya dirasakan Darren, tetapi dirasakan pula oleh Sabrina. Sekarang Sabrina tak merasa canggung lagi menerima pelukan hangat dari lelaki yang telah menyentuhnya semalam. "Tuan?" panggil Sabrina ditengah pelukan. "Kenapa?" Darren melepaskan pelukan, menatap wajah Sabrina yang mendongak. "Apa Tuan yakin, akan mempertahankan pernikahan ini?" tanya Sabrina yang membiarkan Darren memegang dagunya. "Yakin." Sabrina merunduk, memalingkan wajah. "Tapi tadi ... Mamamu bilang, dia enggak mau melihatku ada di sini lama-lama." suara Sabrina sangat pelan namun masih didengar Darren. Darren menuntun Sabrina duduk di sisi ranj4ng. Sebelah telapak tangan Sabrina, digenggamnya. "Mamaku gak mau melihatmu ada di sini. Bukan berarti kita gak bisa pindah ke tempat lain. Aku akan membawamu pergi dari rumah ini kalau mamaku enggak mau lihat kamu." Bola mata Sabrina tertuju pada wajah tampan Darren. Menatapnya lekat, mencari kesungguhan dari sorot mata anak tunggal Pak Sugeng dan Ibu Renata. "Beneran? Serius?" "Iya. Aku serius," jawab Darren, menc1um punggung tangan istri keduanya. "Kamu percaya akan cinta pada pandangan pertama?" tanya Darren, membalas tatapan Sabrina. "Iya. Aku percaya. Kenapa?" "Kalau jatuh cinta pada s3ntuhan pertama, kamu percaya?" Senyum yang sempat mengembang di bibir Sabrina, seketika menguncup. "Hah?" Mulut Sabrina menganga lebar. Lalu, tanpa disadarinya, Darren meng3cup singkat. Sabrina malu-malu. Ia memunggungi Darren. Lelaki itu tersenyum bahagia, memeluk pinggang Sabrina. "Aku mengalami itu. Saat kamu pertama kali meny3ntuh pe--" Sabrina langsung membalikkan tubuh, membekap mulut Darren. "Enggak boleh ngomong jorok!" Kedua mata Sabrina melotot, memberi peringatan pada suaminya. Darren melepaskan tangan Sabrina dari mulut. Lalu, membuka hijab yang menutupi kepala Sabrina. "Enggak boleh ngomong jorok?" tanya Darren mengulangi peringatan Sabrina. "Iya. Gak boleh." "Owh ...." Darren memandangi wajah Sabrina. Mereka saling memandang satu sama lain. Jantung Sabrina kembali berdebar lebih cepat. Kali ini bukan karena takut tapi karena pandangan Darren. "Sabrina?" desis Darren memanggil nama gadis yang rambutnya sudah terurai indah. "I-iya, Tuan?" Suara Sabrina bergetar. "Aku ingin memberimu nafkah batin. Kamu siap?""Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka