Pramam mengangsurkan piring berisi buah-buahan segar, seperti anggur merah kesukaan Anne. Wanita yang baru saja menuntaskan mandinya kini melangkah menuju bibir ranjang. Tubuhnya sudah dibalut bathrobe bersama rambut yang dilapisi handuk.Anne akhirnya bermalam di kamar hotel yang dipesan sang suami. Begitu mendapati izin dari Arian, tentu saja Pramam girang dan meminta jatah untuk ke sekian kali. Meski Anne sudah menolak karena lelah, tapi mereka tetap melakukannya hingga Pramam terlelap demi menghindari pertanyaan sang istri soal Dokter Mega.“Coba dulu, Sayang.”Pramam memberikan sebutir anggur untuk disuapkan pada Anne. Wanita itu membuka mulut lebar dan menerimanya. Gigitan pertama berhasil membuat irisnya membulat akibat rasa manis yang menyegarkan memenuhi mulut.“Enak banget, mau lagi!” pintanya kemudian yang langsung dipenuhi Pramam.Setelah puas menyuapi istri, Pramam merebahkan diri dengan menumpu kepala menggunakan tangan. Tatapnya terus tertuju pada pesona Anne yang kini
Menggigit bibir, Anne meraih gelas dan menenggaknya pelan. Di hadapannya, Pramam masih sibuk mengunyah potongan melon dan beberapa butir anggur. Pria itu memang rutin mengonsumsi buah dan sayur, pantang memakan gorengan.“Mas?”Sekembalinya di meja yang ditempati Pramam, Anne disergap kebingungan juga kaget. Apa benar yang dibahas beberapa orang tadi soal suaminya?“Ada apa?”Pramam spontan menatap Anne, tangannya terulur hendak menyuapi potongan melon di garpu. Namun, Anne menolak karena sudah kenyang. Sebuah pertanyaan sudah mengendap di kepala, tapi mendadak Anne membatalkannya karena ragu. Kalau Anne melakukan konfrontasi sekarang, apa mungkin Pramam akan mengaku?Lagi pula, Pramam kerap datang bersama sekretarisnya ke hotel untuk melakukan meeting atau menjalankan perjalanan bisnis ke luar kota. Bukankah wajar jika petugas hotel menganggap sekretaris tersebut adalah istri atau pasangan Pramam?Lantas Anne menggeleng. “Aku harus buru-buru ke rumah sakit, takut Ari ada perlu,” kata
Tak banyak perbedaan yang Anne sadari ketika menapaki jejak di rumah. Salah satunya yang mudah terlihat adalah bunga segar yang diletakkan di meja dan beberapa sudut ruang. Aroma masuk dengan baik ke hidungnya. Membuat perasaan menghangat setelah dibuat gondok.“Selamat datang, Bu,” sapa Rina, si asisten muda yang kerap mengurusi keperluannya.“Rumah baik-baik aja, ‘kan?”“Baik, Bu, semua aman.”“Terus ini?” tunjuk Anne pada hiasan bunga yang tersebar. “Bapak yang sengaja buat ide begini buat penyambutan kepulangan saya?”Mengerjap bingung, Rina pun menggeleng pelan. “Anu … ini buat Non Mara yang katanya ngidam harum bunga.”Kepala Anne kontan meneleng. Ditambah kedua alisnya yang bertaut dan membentuk kerutan jelas di kening. Perlahan matanya pun bergerak menyipit, berusaha mencerna ucapan Rina.“Ngidam, kamu bilang?”“Iya, Bu.”Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, Anne memejamkan mata sejenak. Kalau Mara sudah berada di tahap ngidam, bukankah sudah jelas kalau gad
Perkara nasi putih di meja makan pun mampu membuat mood Anne kembali berantakan. Beruntung Rina cepat-cepat mempersiapkan nasi merah kesukaan sang majikan. Piring dengan satu centong nasi itu sudah disodorkan dihadapan Anne.Wanita itu mengambil lauk seadanya dan menyantap dalam diam. Sementara Mara memilih duduk dengan tampang was-was. Rina turut melarikan diri dengan memanggil Pramam untuk ikut serta.Pria itu betulan datang tak lama kemudian. Menangkap dua wanita yang duduk berseberangan dengan suasana mencekam. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya jika Anne dan Mara akan hidup satu rumah begini. Terlebih keduanya tampak normal dan tentunya akrab.“Makannya kok cemberut begitu, Sayang?” celetuk Pramam seraya memberi kecupan di kepala Anne.Si wanita menengadah, menangkap paras tampan suaminya. Lantas ia tersenyum geli dan meraih lengan Pramam untuk duduk di sampingnya. Tak lupa jemarinya menyangkut di milik Pramam seperti enggan berpisah, meski ada Mara dan Rina di sana.“Ada dada ay
Entah hanya perasaannya saja, Anne menangkap reaksi Mara menjadi diam. Seakan sedang memikirkan sesuatu hal. Namun, tak berselang lama, gadis yang tengah mengandung itu memasang ekspresi seperti biasa.“Benar, Mbak, itu nggak salah.”Anne mengulum senyum puas. Hingga kemudian, ia teringat soal mertuanya yang rewel meminta bertemu Mara. Ya, wanita itu memang terkenal cerewet kalau dihadapkan dengan keturunan Pramam. Ina Basuki harus memastikan dari berbagai segi untuk mendapatakan cucu sempurna.“Beberapa hari lalu, ibu mertuaku sempat tanya-tanya soal kamu dan pengen ketemu.” Anne bertanya, “Apa semuanya berjalan lancar, Mar?”“Ya … lumayan, Mbak.” Mara menahan ringis. “Seorang nenek pasti ingin mendapatkan cucu yang sehat dan dilahirkan sempurna tanpa kurang sedikitpun.”“Well, dari dulu setiap aku hamil, Ibu selalu cerewet dan mengharuskan aku minum jamu inilah, itulah,” terang Anne cukup menggebu-gebu. “Semoga aja kamu nggak mengalami itu, Mar.”Tak segera menjawab, Mara malah meng
Anne sudah terjaga, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Di meja makan tersedia makanan kesukaan Pramam. Mangkuk kecil berisi sambel tomat pun menjadi primadona di sana.Semenjak keguguran, Anne kembali dibebaskan mengurus dapur dan rumah sesuka hati. Termasuk mengurus suami dengan baik, seperti hari biasa. Ia tak ingin melewatkan masakan teruntuk suaminya, walaupun ada asisten yang bisa melakukannya.“Wanginya sampai ke kamar, aku jadi lapar,” celetuk Pramam sewaktu menimbrung Anne yang masih berkutat dengan peralatan dapur.Anne menoleh sesaat, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. “Mandi dulu, ah. Lagian ini masih jam enam.”“Mandiin dong, Sayang.” Pramam menaik turunkan kedua alis, tampak melancarkan aksinya menggoda sang istri.“Mas, jangan mulai deh. Kamu kudu ke kantor hari ini. Ingat, kemarin udah ambil cuti banyak banget.”“Sekali aja kok, Ann. Masa kamu nolak permintaan suamimu ini?” Pramam menyandarkan tubuh ke sisi bak cucian piring seraya memandangi Anne lekat.Anne
Satu hal yang jelas Anne ingat adalah tanggapan Mara soal kedatangan ibu mertuanya. Sejauh ini, Anne tak menduga kemungkinan buruk soal Ibu saat memperlakukan Mara di pertemuan pertama. Mengingat Mara yang terang-terangan menunjukkan bingkisan dari Ibu, berisikan beragam jamu khusus ibu hamil. Bukankah itu bukti nyata kalau Ibu memang setuju dan tak mempermasalahkan Mara?Dari tempat duduknya, Ina Basuki mengangguk-angguk. “Setelah kamu kasih tahu di mana dia tinggal, keesokannya Ibu langsung ke rumah,” jelasnya ringkas. “Ibu nggak yakin kalau orang yang kamu sewa rahimnya itu kepala klinik. Yang benar aja?”Sebelumnya Ibu sempat memarahinya melalui pesan dan membahas tentang Mara, tapi ia tidak berpikir kalau ibu mertuanya benar-benar langsung datang ke rumah.Menelan ludah, Anne mencoba tenang sebelum membalas. Ia menjelaskan tentang latar belakang Mara cukup detail agar Ibu tidak menanyakan hal yang sama berulang kali. Namun, upaya Anne nyatanya gagal, karena wanita itu terus saja
“Kamu itu ngeyel banget, udah dibilang jangan kerjain apa pun, tapi masih aja,” ujar Pramam tak habis pikir. “Tinggal banyak istirahat di kamar, apa susahnya?”Mengerjap dua kali, Mara melepas sarung tangan khusus mencuci piring. Kemudian memutar tubuh dan melangkah kembali ke kamar. Tidak berniat membalas perkataan Pramam yang jelas menunjukkan sikap protektifnya.Maklum saja, di sana hanya ada mereka berdua. Anne juga sudah pergi keluar, kebetulan Pramam belum menunjukkan rencananya berangkat ke kantor. Apalagi Rina yang memutuskan membantu asisten lain di lantai dua.Baru beberapa langkah Mara menjejaki lantai, tangannya sudah disergap Pramam. Tubuhnya nyaris terhuyung kalau saja pria itu tak menahannya dengan sigap.“Cepet-cepet banget, sih, mau ke mana, Ra?” Pramam mendekatkan wajah ke bagian leher belakang Mara, ingin menjelajahi sekaligus membuat tanda seperti yang biasa ia lakukan pada Anne.Mara mendorong jauh dada Pramam dan sekarang mereka cukup berjarak. “Ke kamar, emang