Tak banyak perbedaan yang Anne sadari ketika menapaki jejak di rumah. Salah satunya yang mudah terlihat adalah bunga segar yang diletakkan di meja dan beberapa sudut ruang. Aroma masuk dengan baik ke hidungnya. Membuat perasaan menghangat setelah dibuat gondok.“Selamat datang, Bu,” sapa Rina, si asisten muda yang kerap mengurusi keperluannya.“Rumah baik-baik aja, ‘kan?”“Baik, Bu, semua aman.”“Terus ini?” tunjuk Anne pada hiasan bunga yang tersebar. “Bapak yang sengaja buat ide begini buat penyambutan kepulangan saya?”Mengerjap bingung, Rina pun menggeleng pelan. “Anu … ini buat Non Mara yang katanya ngidam harum bunga.”Kepala Anne kontan meneleng. Ditambah kedua alisnya yang bertaut dan membentuk kerutan jelas di kening. Perlahan matanya pun bergerak menyipit, berusaha mencerna ucapan Rina.“Ngidam, kamu bilang?”“Iya, Bu.”Menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, Anne memejamkan mata sejenak. Kalau Mara sudah berada di tahap ngidam, bukankah sudah jelas kalau gad
Perkara nasi putih di meja makan pun mampu membuat mood Anne kembali berantakan. Beruntung Rina cepat-cepat mempersiapkan nasi merah kesukaan sang majikan. Piring dengan satu centong nasi itu sudah disodorkan dihadapan Anne.Wanita itu mengambil lauk seadanya dan menyantap dalam diam. Sementara Mara memilih duduk dengan tampang was-was. Rina turut melarikan diri dengan memanggil Pramam untuk ikut serta.Pria itu betulan datang tak lama kemudian. Menangkap dua wanita yang duduk berseberangan dengan suasana mencekam. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya jika Anne dan Mara akan hidup satu rumah begini. Terlebih keduanya tampak normal dan tentunya akrab.“Makannya kok cemberut begitu, Sayang?” celetuk Pramam seraya memberi kecupan di kepala Anne.Si wanita menengadah, menangkap paras tampan suaminya. Lantas ia tersenyum geli dan meraih lengan Pramam untuk duduk di sampingnya. Tak lupa jemarinya menyangkut di milik Pramam seperti enggan berpisah, meski ada Mara dan Rina di sana.“Ada dada ay
Entah hanya perasaannya saja, Anne menangkap reaksi Mara menjadi diam. Seakan sedang memikirkan sesuatu hal. Namun, tak berselang lama, gadis yang tengah mengandung itu memasang ekspresi seperti biasa.“Benar, Mbak, itu nggak salah.”Anne mengulum senyum puas. Hingga kemudian, ia teringat soal mertuanya yang rewel meminta bertemu Mara. Ya, wanita itu memang terkenal cerewet kalau dihadapkan dengan keturunan Pramam. Ina Basuki harus memastikan dari berbagai segi untuk mendapatakan cucu sempurna.“Beberapa hari lalu, ibu mertuaku sempat tanya-tanya soal kamu dan pengen ketemu.” Anne bertanya, “Apa semuanya berjalan lancar, Mar?”“Ya … lumayan, Mbak.” Mara menahan ringis. “Seorang nenek pasti ingin mendapatkan cucu yang sehat dan dilahirkan sempurna tanpa kurang sedikitpun.”“Well, dari dulu setiap aku hamil, Ibu selalu cerewet dan mengharuskan aku minum jamu inilah, itulah,” terang Anne cukup menggebu-gebu. “Semoga aja kamu nggak mengalami itu, Mar.”Tak segera menjawab, Mara malah meng
Anne sudah terjaga, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Di meja makan tersedia makanan kesukaan Pramam. Mangkuk kecil berisi sambel tomat pun menjadi primadona di sana.Semenjak keguguran, Anne kembali dibebaskan mengurus dapur dan rumah sesuka hati. Termasuk mengurus suami dengan baik, seperti hari biasa. Ia tak ingin melewatkan masakan teruntuk suaminya, walaupun ada asisten yang bisa melakukannya.“Wanginya sampai ke kamar, aku jadi lapar,” celetuk Pramam sewaktu menimbrung Anne yang masih berkutat dengan peralatan dapur.Anne menoleh sesaat, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. “Mandi dulu, ah. Lagian ini masih jam enam.”“Mandiin dong, Sayang.” Pramam menaik turunkan kedua alis, tampak melancarkan aksinya menggoda sang istri.“Mas, jangan mulai deh. Kamu kudu ke kantor hari ini. Ingat, kemarin udah ambil cuti banyak banget.”“Sekali aja kok, Ann. Masa kamu nolak permintaan suamimu ini?” Pramam menyandarkan tubuh ke sisi bak cucian piring seraya memandangi Anne lekat.Anne
Satu hal yang jelas Anne ingat adalah tanggapan Mara soal kedatangan ibu mertuanya. Sejauh ini, Anne tak menduga kemungkinan buruk soal Ibu saat memperlakukan Mara di pertemuan pertama. Mengingat Mara yang terang-terangan menunjukkan bingkisan dari Ibu, berisikan beragam jamu khusus ibu hamil. Bukankah itu bukti nyata kalau Ibu memang setuju dan tak mempermasalahkan Mara?Dari tempat duduknya, Ina Basuki mengangguk-angguk. “Setelah kamu kasih tahu di mana dia tinggal, keesokannya Ibu langsung ke rumah,” jelasnya ringkas. “Ibu nggak yakin kalau orang yang kamu sewa rahimnya itu kepala klinik. Yang benar aja?”Sebelumnya Ibu sempat memarahinya melalui pesan dan membahas tentang Mara, tapi ia tidak berpikir kalau ibu mertuanya benar-benar langsung datang ke rumah.Menelan ludah, Anne mencoba tenang sebelum membalas. Ia menjelaskan tentang latar belakang Mara cukup detail agar Ibu tidak menanyakan hal yang sama berulang kali. Namun, upaya Anne nyatanya gagal, karena wanita itu terus saja
“Kamu itu ngeyel banget, udah dibilang jangan kerjain apa pun, tapi masih aja,” ujar Pramam tak habis pikir. “Tinggal banyak istirahat di kamar, apa susahnya?”Mengerjap dua kali, Mara melepas sarung tangan khusus mencuci piring. Kemudian memutar tubuh dan melangkah kembali ke kamar. Tidak berniat membalas perkataan Pramam yang jelas menunjukkan sikap protektifnya.Maklum saja, di sana hanya ada mereka berdua. Anne juga sudah pergi keluar, kebetulan Pramam belum menunjukkan rencananya berangkat ke kantor. Apalagi Rina yang memutuskan membantu asisten lain di lantai dua.Baru beberapa langkah Mara menjejaki lantai, tangannya sudah disergap Pramam. Tubuhnya nyaris terhuyung kalau saja pria itu tak menahannya dengan sigap.“Cepet-cepet banget, sih, mau ke mana, Ra?” Pramam mendekatkan wajah ke bagian leher belakang Mara, ingin menjelajahi sekaligus membuat tanda seperti yang biasa ia lakukan pada Anne.Mara mendorong jauh dada Pramam dan sekarang mereka cukup berjarak. “Ke kamar, emang
Perkataan Ibu terus terngiang di kepala, memenuhi pikiran Anne. Membuat wanita itu tidak begitu peduli dengan sekitarnya sekarang. Bahkan ketika perawat tiba-tiba memanggil namanya juga Mara.“Mbak?” panggil Mara sambil menyentuh lengan Anne. “Mbak Ann?”“Oh, iya!” seru Anne kaget karena lamunannya diakhiri mendadak. “Kenapa, Mar?”“Kita udah dipanggil suster buat masuk ke ruangan.”Anne berpaling, mengikuti arah tunjuk Mara mengarah pada perawat yang berdiri di ambang pintu tengah menunggunya bereaksi. “Oh, cepat banget perasaan,” komentarnya heran.“Mbak ngelamunin apa?” Mara bertanya sambil memerhatikan raut wajah Anne yang menggambarkan kalau wanita itu tengah memikirkan banyak hal. “Apa ada hal yang mengganggu pikiran Mbak?”Anne menggeleng. Tak berkenan terbuka dengan isi kepalanya sekarang. Lantaran semua penuh dengan kecurigaannya pada Mara karena omongan ibu mertuanya pagi tadi.Keduanya pun memasuki ruangan di mana Dokter Mega sudah duduk bersama berkas penting di tangan. Me
“Mara Cikal, right?”Tuturan Varen kontan membuat Anne berjengkit di tempat. Padahal ia hendak mengenalkan Mara pada Varen, tapi ternyata ada hal yang baru diketahuinya sekarang. Varen mengenal Mara, rupanya.“Kalian udah saling kenal?” tanya Anne, kemudian bangkit dan mendekati Mara yang baru keluar dari ruang pemeriksaan. “Ren?” Anne menatap Varen dan Mara bergantian.“Ya, siapa sih yang nggak tahu Mara?” Kepala Varen meneleng, tatapnya tertuju lurus pada Mara yang menunduk terus. “Tapi aku nggak sangka kalau teman yang kamu maksud itu adalah Mara Cikal.”Anne merangkul pundak Mara seketika. Menatap gadis itu sekilas dan beralih pada Varen. “Iya, dia teman yang udah aku anggap sebagai adik sendiri.”“Oh ya?” Varen membelalak. “Omong-omong, kamu lagi hamil?” tanyanya pada Mara.Alih-alih yang ditanya menjawab, Anne justru angkat suara. “Iya, doakan bayinya sehat, Ren,” terangnya yang jelas tak ingin menerangkan perihal program yang menyeret Mara.“Siapa yang hamilin? Apa pacar CEO—“