Share

3. Jangan Banyak Tanya!

Tanpa berucap, Pramam merengkuh Anne. Meletakkan kepala istri di dadanya. Tangannya pun ikut sibuk membelai punggung Anne yang terkesan ringkih.

Hingga kemudian, bibirnya bergerak dan mengucapkan sesuatu, “Kita harus relakan dia, Ann. Aku yakin, kamu kuat.”

Detik berikutnya, dorongan kuat menghantam Pramam. Ada kilat amarah sekaligus kecewa tergambar di mata indah itu. Anne menggeleng cepat, air matanya tumpah ruah, tapi tak ada isak tangis menyertainya.

“Aku masih ngerasain dia hidup di perutku, Mas. Anak kita … baik-baik aja,” tandas Anne sambil membelai perutnya. “Jangan iseng gitu, deh. Soal pendarahan, kamu tahu sendiri kalau aku sering mengalami itu. Ini bukan apa-apa, Mas.”

“Ann, tolong,” ujar Pramam lirih. “Kita harus ikhlaskan dia, sekarang waktunya kita biarkan dia keluar, ya?”

Anne menyeka dagu yang terus meneteskan air di sana, gelengan itu muncul lagi dan semakin cepat. “Masih beberapa bulan lagi, kamu yang sabar dong. Jangan paksa anak kita!”

“Anne! Ini demi kebaikan kamu juga, aku nggak mau kehilangan kamu setelah anak kita pergi.”

Jika Anne terus mengelak dan enggan menerima, keadaan tubuhnya akan semakin memburuk. Mendiang bayi mereka harus cepat dikeluarkan sebelum terlambat. Pramam masih mencoba, terus mencoba sampai Anne tenang dan sadar akan kenyataan, meski pahit sekalipun.

“Mas ….” Akhirnya setelah pertahanan kuatnya, tangis Anne pecah seketika. “Anakku, Mas. Nggak mungkin dia … itu nggak mungkin!”

Di sela perdebatan suami-istri itu, pintu ruangan didorong dari luar. Menampilkan sosok Mara yang sebagian pakaiannya terkena noda darah. Langkah gadis itu terayun mendekati ranjang yang ditempati Anne.

“Permisi, Mbak—“ Suaranya terjeda saat mendapati sosok laki-laki yang tengah menenangkan Anne.

“Mara?” Anne yang berantakan karena tak berhenti histeris itu menatap lurus, menyadari keberadaan Mara. “Tolong bilang ke suamiku, kalau bayiku baik-baik aja, Mar. Aku nggak mau dia pergi, nggak mau, Mas.”

Mengerjap sekali, Mara mengangguk dan terus berjalan mendekati Anne beserta suaminya. Setelah beberapa langkah, tatapnya bertemu pada sosok yang dikenal sebagai suami Anne. Tubuh Mara mematung di tempat, kelopak miliknya bergetar.

Hingga kemudian, bibir menggumam lirih, “Mas Uki ngapain di sini?”

Anne mengerjap pelan. Tangannya mengerat pada lengan sang pria, sedangkan tatapnya tertuju pada raut Mara yang mendadak tegang. Iris gadis itu tertuju pada Pramam bersama gerak bibir tanpa suara.

Pramam tercenung di tempat. Mengamati Mara sesaat. Kemudian memalingkan wajah dan kembali memandangi Anne, istrinya.

Pak Yon yang mengikuti Mara pun mengerutkan kening. “Mas Uki? Ini mah Pak Pram, Bu, suaminya Nyonya Anne—majikan saya,” koreksinya spontan.

Anne menyipitkan mata. Mendengar sembari menatap percakapan sopir pribadi dengan Mara yang menyebut nama Mas Uki. Kemudian ia berpaling pada Praman yang kelihatan tak sudi menoleh lagi.

“Pak Pram?” tanya Mara tanpa mengalihkan pandangan dari Pramam.

“Betul, Bu. Namanya Pramam Basuki.”

Dapat Anne lihat Mara kehilangan arah, tak mengerti situasi apa yang tengah di hadapinya. Namun, kemunculan Dokter Mega membuat gadis itu tersadar dan harus menjauh dari ruangan. Ditemani Pak Yon yang kini ikut duduk di sampingnya di bangku tunggu yang tersedia.

Mulanya Anne ingin bertanya, apakah Mara mengenal suaminya atau bagaimana? Mengingat gerak-gerik Pramam juga aneh saat itu. Hingga kemudian, atensi pada gadis itu luruh dan tergantikan oleh sosok sang dokter.

“Bagaimana keadaan Nyonya Anne sekarang?”

“Saya nggak merasakan apa-apa, Dok, bayi saya juga sehat di perut,” sahut Anne enteng. Mengenyahkan rasa sakit luar biasa hingga membuat kedua kakinya kebas sekarang.

Pramam berdeham singkat. Hendak menyela ucapan Anne, tapi sang istri lebih dulu angkat suara. “Iya, ‘kan, Mas?”

“Anne—“

“Bayi kita baik-baik aja!” Sorot teduh itu mendadak berubah seperti kilatan petir. Sungguh menakutkan.

Sang pria hanya bisa menghela napas kasar. Melirik Dokter Mega yang sejak tadi memerhatikan tindakan denial pasien. Ia menarik napas sesaat, lalu mengulas senyum sambil mendekatkan diri pada Anne.

“Pendarahan tadi, tak bisa terealakan lagi, Nyonya Anne.” Sang dokter meraih tangan Anne dan mengusap punggung tangannya pelan. “Kita harus merelakan si bayi, agar ke depannya tidak ada resiko besar.”

Mengerjap pelan, Anne menatap lurus Dokter Mega. Kepalanya bergerak menggeleng, dan beralih mendongak melihat paras Pramam. Ia tidak ingin berpisah dengan jabang bayi yang sudah dirawat dan dijaganya mati-matian.

Pasang iris itu mulai berair. Jejak basah berada di kedua sisi wajahnya sekarang. Pramam bersikeras mengelap dua pipi Anne dengan tangan, tapi wanita itu menepisnya kasar.

“Aku yakin dia masih hidup di perutku, dia baik-baik aja!”

Napas Anne mulai tersengal. Rasa sakit itu makin menjadi-jadi. Perutnya yang buncit, yang biasa menunjukkan gerak kehidupan di dalam pun tak kunjung muncul tanda-tanda. Anne mulai sadar tak ada pergerakan dari bayinya.

“Mas ….” Anne terisak.

Pramam mengangguk. “Sudah waktunya kita mengucapkan salam perpisahan, Ann.”

***

“Aku pergi dulu,” pamit Pramam dengan pakaian serba hitam yang membalut tubuh atletis pria itu. “Kamu … yakin nggak mau ikut ke makam? Biar aku tunda pemakaman sampai kamu siap, Ann.”

Buliran air yang semula menggenang di permukaan mata akhirnya luruh. Anne meremas pinggiran ranjang rumah sakit yang menjadi tempatnya berbaring. Pandangannya dibuang ke tempat lain bersamaan dengan tangan yang sibuk menyeka dua sisi wajah.

“Pergi aja, hati-hati di jalan,” sahutnya dengan suara parau.

Pria itu mengangguk dan mengusap rambut Anne sejenak, sebelum akhirnya melenggang pergi. Ia menitipkan sang istri pada Rina, asisten rumah tangganya yang paling muda. Gadis itu langsung patuh melalui anggukan singkat.

Pramam melangkah keluar. Di bangku tunggu sudah ada Pak Yon yang siap mengantar mendiang bayinya menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Pemakaman kali itu, ia sengaja mengurus sendiri, tanpa istri.

“Pak Pram, Nyonya Anne tidak ikut ke makam?” tanya Pak Yon begitu mesin kendaraan dinyalakan.

Pria yang ditanya menghela napas panjang. “Masih sulit, Pak, Anne … belum menerima semuanya.”

“Padahal tadi Nyonya kelihatan senang dan sehat aja, Pak waktu pergi ke salon,” terang Pak Yon. “Tapi pas keluar malah udah berdarah-darah. Kasihan betul Nyonya.”

Perhatian Pramam sontak jatuh pada ucapan sang supir. Seluruh rasa penasarannya berkumpul di satu titik. Tangannya pun bergerak sejalan dengan tubuh yang dicondongkan pada pria di belakang kemudi.

“Salon? Apa nama salon yang tadi didatangi istri saya, Pak?”

Beauty and Sweet, Pak,” jawab si supir. “Itu lho yang punya Mbak Mara, temannya Nyonya.”

Bagai dihantam palu besar di kepala, tubuh Pramam menegang di tempat. Ia tak mungin lupa atau salah dengar soal nama salon yang baru disebutkan supir pribadinya. Apalagi nama pemilik yang juga ikut diseret Pak Yon dalam perbincangan.

Lama, Pramam terdiam. Membuat Pak Yon mengimbuhkan, “Omong-omong, Mbak Mara tadi aneh ya, Pak, panggilannya ke Bapak bukan ‘Pak Pramam’, tapi ‘Mas Uki’. Buru-buru-buru saya koreksi, takut salah orang Mbaknya.”

Kedua tangan Pramam ditekuk erat. Jantungnya berdegub dua kali lebih kencang. Keningnya mulai mengeluarkan keringat, padahal suhu mobil saat itu terbilang dingin.

“Soal Mara yang panggil saya ‘Mas Uki’ jangan sampai bocor ke Nyonya,” peringatnya tegas. “Saya nggak segan-segan potong gaji Pak Yon atau perlu saya PHK sekalian.”

“Lho, tapi, Pak—“

“Sebaiknya jangan terlalu banyak bicara saat mengemudi seperti ini.” Pramam menegaskan. “Apalagi banyak tanya dan ikut campur.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status