Share

4. Rencana Baru

“Rupanya kamu udah menikah, Mas.” Mara terkekeh geli. “Dan kamu suaminya pelanggan VIP, sahabat, sekaligus orang yang udah aku anggap kakakku sendiri.”

Pramam bergeming di tempat. Dapat ia lihat betapa frustasinya si gadis. Ditambah sorot geli bercampur jijik mengarah padanya.

“Sejak kapan kamu berteman sama Anne, Ra?” tanya Pramam pada akhirnya.

“Itu bukan urusan kamu!” tandas Mara yang disertai amarah berapi-api. “Aku nggak nyangka bisa menjalin hubungan, bahkan setahun lamanya sama suami orang.”

“Ra.” Tangan Pramam mengulur, berniat menggapai bahu Mara yang tersengal. Namun, ditepis wanita muda itu.

“Tega benar kamu mengkhianati orang sebaik Mbak Anne,” isak Mara sambil menggeser duduknya. “Dan berani-beraninya kamu bilang sama aku kalau statusmu selama ini single. Astaga, udah seberapa banyak hal yang kamu sembunyikan, Mas?”

 “Ra, maafkan aku.”

Pramam sengaja berlutut di depan gadis yang memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Uki’ setiap kali bertemu. Dan puncaknya, sewaktu berada di ruang perawatan Anne. Tentu sang istri tak mendengar bisikan si gadis yang kerap membuat tubuh Pramam meremang hebat.

Mara menatap gamang Pramam sesaat, lalu memalingkan wajah. Detik itu juga, Pramam merasa hubungannya sudah di ambang kehancuran, tapi ia tidak akan menyerah. Lantas tubuhnya bangkit dan ikut duduk di samping si gadis.

 “Kalau aja sejak awal aku tahu, aku nggak mungkin punya perasaan terkutuk ini,” tukasnya menyesal. Kemudian pandangannya beralih pada Pramam yang sejak tadi memandanginya tanpa jeda. “Anggap aja kita nggak pernah kenal, apalagi menjalin hubungan setahun.”

Pramam berjengkit. Kontan ia menggenggam tangan Mara yang saat itu hendak beranjak. Kali ini perlakuannya tidak ditepis sama sekali, malah dibiarkan.

“Jangan begitu, Ra. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, apa pun yang kamu mau, akan aku kasih.” Pramam masih getol memohon dan mengiming-imingi materi seperti biasa. “Kamu mau tas kulit buaya, cincin dan kalung berlian, uang bulanan mau naik sepuluh kali lipat? Aku kasih semua asal kamu nggak akhiri hubungan kita ini.”

Mendengkus sebal, Mara kemudian menahan senyum geli sebelum akhirnya menepis kuat-kuat genggaman si laki-laki. “Kamu pikir aku akan luluh hanya karena uang?” ujarnya yang terdengar menantang. “Sayangnya, nggak. Aku justru kasihan sama Mbak Anne punya suami kaya, tapi minim hati nurani.”

“Lupakan aku, Mas,” sambungnya.

Tanpa menoleh, gadis itu beranjak dan mantap melangkah tegap. Tak mempedulikan seberapa banyak Pramam memanggil serta memohonnya untuk tinggal. Pramam mengikuti beberapa langkah sampai ia berhenti di satu titik ketika banyak mata ikut memandang.

“Ra … please, jangan pergi!” ujarnya dengan suara parau.

Di bawah guyuran shower, Pramam membasahi diri. Namun, kepalanya tetap teringat pada momen di mana Mara memutuskan pergi dari hidupnya. Bahkan apartemen yang semula ditinggali gadis itu, kini kosong tanpa penghuni.

Dua tangannya mengepal erat. Bersama gemuruh dalam benak yang tak kunjung tuntas sejak pulang dari pemakaman. Pramam sudah kehilangan dua orang penting dalam hidupnya sekarang, calon bayinya dan … Mara.

Sembari mengacak rambut yang dipenuhi busa, Pramam terus berpikir keras untuk mendapatkan Mara kembali. Jika sudah kehilangan anak, tak akan ia biarkan kehilangan gadisnya juga. Mara akan menjadi miliknya lagi, harus.

“Aku bisa dapatkan kamu lagi, Ra, kalau perlu aku akan buat kamu bertekuk lutut sama aku,” katanya dalam benak.

***

 “Yang tenang di sana ya, Sayang,” ujar Anne lirih sambil menyentuh perutnya yang kembali menyusut. “Maafkan Mami karena gagal jaga kamu.”

Setelah kehilangan begini, Anne kerap dirayapi rasa bersalah teramat besar. Ia menghabiskan waktunya untuk menangis dan menyalahkan diri sendiri. Namun, malam itu, malam yang dipenuhi taburan bintang di langit, Anne hanya bergumam pada mendiang bayinya yang sudah dimakamkan sore tadi oleh Pramam.

Di ruang pemulihan, Anne baru menuntaskan makan malam. Ia duduk sambil menonton tayangan tv dengan ditemani asistennya, Rina. Sementara suaminya urung tampak sejak tadi.

“Bapak kok belum sampai ke sini, Rin?” tanya Anne yang terlihat gusar. Mengingat jam sudah melewati setengah sembilan. “Apa dia nggak berniat mau ke rumah sakit lagi buat jagain saya di sini?”

Rina menoleh ke sumber suara, Anne tengah menatapnya lurus, menanti jawaban darinya. “Habis dari makam, tadi Pak Yon bilang mau mampir ke rumah dulu, Bu. Bapak mau bebersih sama ganti pakaian sebelum ke sini lagi.”

“Tapi, kok, lama banget?” balas Anne dengan bertanya lagi.

“Sebentar saya telepon Pak Yon dulu, Bu.” Rina berniat menelepon di luar, tapi ketika langkahnya baru sampai di ambang pintu, seseorang yang dicari Anne muncul di baliknya.

“Lho ini Bapak udah datang, Bu,” katanya memberitahu Anne yang saat itu wajahnya langsung berubah cerah. Lantas ia buru-buru permisi keluar ruangan.

“Makasih, Rin. Kamu pulang aja sama Pak Yon, biar saya yang jaga Ibu,” pesan Pramam santai.

“Baik, Pak.”

Tidak lagi mengenakan setelan formal seperti kemeja dan celana kain. Pramam kini hanya memakai kaus biru muda dan celana tiga perempat. Tampak kasual sekaligus menunjukkan aura ketampanannya.

“Mas bebersihnya lama, aku kira nggak akan balik lagi ke sini.” Mara bersungut-sungut, ia membaringkan tubuh dari posisi duduk. “Mentang-mentang aku nggak bisa hamil lagi, kamu jadi berubah begini.”

Ini bukan sekali-kalinya Anne merasa rendah diri dan tidak berharga. Sewaktu mengalami pendarahan beberapa kali sebelumnya, Anne menangis meraung-raung. Lalu dan meminta Pramam untuk menikahi wanita lain agar bisa memenuhi keinginan ibunya.

Akan tetapi, Pramam enggan. Ia mencintai Anne dan tidak akan melepaskannya sampai kapan pun, meski ia sendiri yang sudah mengkhianati wanita itu. Ditambah simpanannya adalah sahabat istrinya sendiri.

“Sayang … jangan ngomong begitu, mana ada aku berubah.” Pramam duduk di pinggiran ranjang, menggenggam telapak tangan Anne erat. “Aku masih sayang kamu, kita bisa lakukan apa pun agar kamu hamil dan kita bisa punya anak.”

Anne menggeleng singkat. Bibir bawahnya ia gigit untuk menahan tangis yang mungkin sebentar lagi akan pecah. “Aku nggak bisa hamil lagi, Dokter Mega yang bilang. Aku kena APS, ‘kan?”

Pramam terkesiap. Soal penyakit yang juga menjadi penyebab utama bayinya tak selamat, belum ia kabarkan pada Anne. Memang sengaja, takut mental sang istri belum kuat dan siap. Namun, dokter mereka justru yang membeberkannya.

“Ann ….” Pramam berujar seperti berbisik.

“Pasti akan susah mempertahankan kehamilan, dan kamu bisa cari wanita lain.” Anne tersenyum simpul. “Aku kasih kebebasan untuk kamu sekarang, Mas.”

Dengan sorot mata tegas, Pramam menggeleng cepat. “Aku nggak suka kamu ngomong begitu. Kita bisa melakukan cara lain, jangan berhenti berjuang, Sayang.”

“Kamu yakin mau kalau aku dapat cara lain itu—untuk mendapatkan anak?”

Pramam mengerjap kaget. Wajahnya menunjukkan kebingungan. “Cara lain yang bagaimana?”

“Aku udah kepikiran ini kalau kehamilan kemarin gagal dan ternyata benar, aku keguguran … lagi.” Anne menelan ludah, masih belum terbiasa dengan keadaannya sekarang.

Lantas Pramam melenyapkan jarak dengan istrinya. Memeluk tubuh itu erat dan memberikan kecupan lembut di puncak kepala Anne. Mencoba membuat Anne tegar dan tak patah semangat dengan curahan kasih sayangnya.

“Kamu mau, ‘kan, nurutin keinginanku? Aku mau punya anak, Mas.” Anne mendongak, menatap pasang mata kucing yang selalu membuatnya tergila-gila.

Sebagai CEO di perusahaan properti dengan keuntungan luar biasa besar, bukan hal sulit memenuhi keinginan istri. Sebab dengan memiliki keturunan, Pramam bisa menjadi pemegang saham utama perusahaan. Apalagi sekaligus diberi kewenangan lebih dari ayah juga kakeknya, tentu sangat menggiurkan jika dilewatkan begitu saja.

“Aku pasti akan menuruti semua kemauan kamu, Ann, bahagiamu adalah bahagiaku juga,” tuturnya sambil mengusap wajah Anne. “Bilang aja, kamu mau apa?”

Satu senyum terukir di wajah Anne. “Aku mau … rahim pengganti.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status