Share

2. Perpisahan Terhebat

Pramam mengaduk saku celana saat ponselnya bergetar tak karuan, buru-buru ia mengeluarkannya. Siapa tahu orang penting memanggilnya, salah satunya Anne. Begitu melihat nama yang muncul di layar, napas Pramam tertahan.

Ia memijat sesaat pangkal hidung sembari memejamkan mata. Di awal hari seperti ini, pasti ibunya baru melakukan panggilan dengan Anne. Lalu sesi berikutnya, sang ibu mengeluh sifat Anne yang inilah, itulah. Pramam mencoba mengumpulkan kesabaran sebelum akhirnya menggeser layar.

“Pram, kamu udah di kantor?”

“Iya, Bu. Ada meeting pagi sama klien sebentar lagi,” balas Pramam berusaha tenang. “Ada apa, Bu?”

“Itu lho, istri kamu, si Anne.”

Benar, ‘kan? Perbincangan ini tak akan jauh dari persoalan Anne dan ibunya yang kerap menjadi bahan keluhan. Hingga kini Pramam belum bisa mengerti, mengapa ibunya setega itu menyimpan rasa benci pada menantunya sendiri. Dalam situasi di mana Anne tengah mengandung cucunya.

“Bisa nggak, sih, dia ngurus kamu dengan benar? Kerjanya cuma makan dan tidur. Kapan coba ngurus suaminya?” sambung sang ibu.

Pramam berusaha mengatur napas agar bisa mengendalikan diri. “Bu, Anne lagi mengandung anak Pram. Lagian udah ada asisten rumah tangga, jadi Anne melakukan seadanya aja. Pram juga yang melarang Anne dan meminta dia buat istirahat banyak-banyak,” jelasnya tanpa menyalahkan salah satu pihak.

Ibunya berdecak sebal. “Iya, hamil sih hamil, tapi gerak juga dong! Kalau begitu terus, yang ada dia makin manja. Suaminya capek cari duit, dia malah kerjaannya ongkang-angking kaki!”

Dari segala kekurangan yang dimiliki Anne, Pramam tak pernah mengeluhkannya atau memaksa istri melakukan beragam hal. Ia menyayangi sekaligus menghargai Anne sebagaimanamestinya. Meskipun terkadang, ada saja komentar buruk mengarah pada keluarga kecilnya tentang Pramam yang terlalu memanjakan istri. Sementara Anne yang memanfaatkan kekayaan suami.

Semua itu tidak benar. Anne sudah cukup baik mengurusnya di sela mengandung dengan kondisi fisik kurang dari kata baik. Pramam juga berusaha menjadi suami yang wajib membahagiakan istri.

“Rahim Anne itu lemah, Pram takut terjadi sesuatu kalau Anne kerja berat.” Pramam kembali mengingatkan sekaligus meminta ibunya untuk memahami keadaan sang menantu. “Udahlah, Bu. Pramam tahu apa yang terbaik buat rumah tangga ini, Ibu nggak perlu khawatir.”

Kontan ibunya menandaskan, “Jelas Ibu khawatir, anak kesayangan Ibu ini nggak diurus benar sama istrinya.”

Merasa ada getaran lain, Pramam menjauhkan gawai dari telinga. Maniknya lurus membaca tiap huruf berderet yang membentuk satu nama. Saat itu juga, perasaannya mendadak tidak enak.

“Sebentar ya, Bu. Ini ada telepon masuk,” tukasnya pada lawan bicara.

“Hmm, ya udah. Semoga lancar rapatnya. Kita sambung lagi nanti.”

Tanpa merespon, Pramam spontan mengakhiri panggilan dan bergegas menerima telepon dari supir pribadi Anne. “Ada apa, Pak Yon?” tanyanya khawatir.

Ibu Anne, Pak … anu, sekarang baru sampai rumah sakit. Tadi dibawa pake ambulance karena pendarahan.”

Punggung Pramam berubah tegap, matanya melebar seketika. “Anne? Pendarahan?”

***

Berbagai kemungkinan bercokol di kepala, memenuhi pikiran sampai rasanya muak. Pramam enggan membayangkan sesuatu buruk terjadi pada Anne. Meski ia paham, jika istrinya mengalami pendarahan lagi, maka usaha mereka sudah dipastikan berakhir sia-sia.

Langkah Pramam tergopoh, matanya mengedar ke sekeliling hingga pandangannya jatuh pada seseorang yang mengenakan APD. Dokter Mega menganggukkan kepala, lalu memintanya masuk ke ruangan. Kalau sudah seperti ini, Pramam harus menyiapkan mental baja untuk mendengar segala penjelasan dokter kandungan yang menangani Anne sejak lama.

“Anne pasti baik-baik aja.” Pramam membatin. “Anakku sehat kok di sana, iya, tenang Pram, tenang ….”

Sepuluh menit berlalu, Pramam keluar dari ruangan. Kedua kaki yang masih lemas membuat keseimbangannya payah, beberapa kali ia terhuyung dan berhasil mendapat pegangan. Pramam menjatuhkan diri di bangku yang tersedia, sesaat mengambil napas untuk menenangkan diri.

Sebelum menemui Anne dan mengabarkan berita duka ini, Pramam harus menyiapkan kekuatan yang nanti akan dibagikan pada istri. Ia harus kuat menerima lebih dulu—setidaknya. Mengambil napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan, Pramam mencoba tenang.

Setelah beberapa saat, perawat suruhan Dokter Mega membantu mengarahkan Pramam menuju ruang yang ditempati Anne. Selama perjalanan, langkah demi langkah, potongan memori kebahagiannya bersama istri terngiang di kepala. Tentang kejutan Anne soal kehamilannya di pekan ketiga.

Mas, meskipun ini bukan hari lahirmu, aku mau kasih kejutan besar. Aku jamin, kamu pasti suka.”

Wanita itu memberikan kado besar yang isinya berupa testpack. Pramam sangat bahagia kala itu. Bahkan ketika Anne terkena morning sick parah dan harus tinggal di ranjang seharian, Pramam rela membersihkan bekas muntahannya di lantai. Mencuci pakaian istri, sprei, dan menyeka wajah Anne.

Beragam kisah pedih dan bahagia sudah mereka lewati bersama demi si jabang bayi. Namun, kini takdir justru merenggut si kecil. Tanpa pernah mereka sentuh dan lihat secara langsung bagaimana cara ia menangis dan menatap orang tuanya.

Tepat di pintu ruangan Anne berada, Pramam menghentikan langkah. Wajahnya sudah banjir air mata, cepat-cepat ia menyekanya. Tak ingin Anne menangkap betapa hancurnya ia sebagai ayah yang kehilangan anak untuk ke sekian kali.

“Anne akan baik-baik saja setelah ini, aku bisa semangatin dia seperti biasanya, kok.” Pramam mengatur napas agar tenang. “Anne kuat, pasti.”

Usai memantapkan hati dan pikiran, barulah Pramam menghambur pada istri. Anne tengah berbaring dengan mata terpejam. Gaun yang dipakai tampak kotor karena bekas darah di mana-mana. Di balik gaun itu, perut Anne masih buncit, penghuninya masih dibiarkan tinggal untuk beberapa saat lagi.

Pramam menelan ludah kala menatap bagian tubuh itu sebelum akhirnya memanggil, “Sayang?”

Dalam sekejap, wanita itu sadar. Kedua matanya bak boneka itu terbuka perlahan. Wajah pucat yang sekitar matanya ada bekas air mata, memaksakan diri untuk tersenyum.

“Mas, bayi kita … bayi kita baik-baik aja, ‘kan?” Suara Anne merendah, terdengar serak. Lalu mata bulat bagai bonekanya berkilat-kilat waspada sewaktu Pramam menatapnya lembut.

Pramam mengulurkan tangan, mengusap pipi Anne yang langsung digenggam pemiliknya. Ia dirayapi bingung tiada tara saat ditanya. Hati Pramam trenyuh, kepingan konversasi dengan Dokter Mega melintas begitu saja.

“Dengan berat hati, saya harus mengatakan bahwa janin Nyonya Anne tidak bisa diselamatkan. Secepatnya tim medis harus melakukan tindakan untuk mengeluarkannya, Pak.”

“Itu nggak mungkin, Dok. Sejauh ini kesehatan Anne dan bayi kami baik, bahkan Dokter saja menyimpulkan kalau semua akan lancar sampai persalinan, ‘kan?” sahut Pramam tak terima. “Kehamilan Anne pun sudah memasuki trimester kedua, apa masih mungkin terjadi keguguran?”

“Takdir bisa mengubah semuanya, Pak. Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Pencipta yang mengendalikan.” Dokter Mega masih cukup tenang menghadapi keluarga pasien seperti Pramam. “Rahim Nyonya Anne memang lemah sejak uji coba bayi tabung pertama, dan saya menemukan diagnosa lain.”

Pramam menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Belum siap mendengar berita buruk tambahan. Sesaat, ia memajukan tubuh bersama kedua tangan saling bertaut di atas meja.

Sorot mata mengungkap kesiapan, lalu ia bertanya, “Jadi, maksud Dokter, istri saya punya riwayat penyakit lain?”

Dokter Mega mengangguk singkat. “APS (Antiphospholipid Syndrome) yang merupakan gangguan pengentalan darah. Ini yang menjadi penyebab utama keguguran itu bisa terjadi.”

“Astaga ….” Pramam meremas rambutnya frustasi, berkali-kali ia mengusap wajah kasar. Lalu kembali menatap nanar sang dokter. “Lalu sekarang, apa yang harus saya lakukan, Dok?”

“Sesegera mungkin kita keluarkan janinnya, Pak.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status