Pramam mengaduk saku celana saat ponselnya bergetar tak karuan, buru-buru ia mengeluarkannya. Siapa tahu orang penting memanggilnya, salah satunya Anne. Begitu melihat nama yang muncul di layar, napas Pramam tertahan.
Ia memijat sesaat pangkal hidung sembari memejamkan mata. Di awal hari seperti ini, pasti ibunya baru melakukan panggilan dengan Anne. Lalu sesi berikutnya, sang ibu mengeluh sifat Anne yang inilah, itulah. Pramam mencoba mengumpulkan kesabaran sebelum akhirnya menggeser layar.
“Pram, kamu udah di kantor?”
“Iya, Bu. Ada meeting pagi sama klien sebentar lagi,” balas Pramam berusaha tenang. “Ada apa, Bu?”
“Itu lho, istri kamu, si Anne.”
Benar, ‘kan? Perbincangan ini tak akan jauh dari persoalan Anne dan ibunya yang kerap menjadi bahan keluhan. Hingga kini Pramam belum bisa mengerti, mengapa ibunya setega itu menyimpan rasa benci pada menantunya sendiri. Dalam situasi di mana Anne tengah mengandung cucunya.
“Bisa nggak, sih, dia ngurus kamu dengan benar? Kerjanya cuma makan dan tidur. Kapan coba ngurus suaminya?” sambung sang ibu.
Pramam berusaha mengatur napas agar bisa mengendalikan diri. “Bu, Anne lagi mengandung anak Pram. Lagian udah ada asisten rumah tangga, jadi Anne melakukan seadanya aja. Pram juga yang melarang Anne dan meminta dia buat istirahat banyak-banyak,” jelasnya tanpa menyalahkan salah satu pihak.
Ibunya berdecak sebal. “Iya, hamil sih hamil, tapi gerak juga dong! Kalau begitu terus, yang ada dia makin manja. Suaminya capek cari duit, dia malah kerjaannya ongkang-angking kaki!”
Dari segala kekurangan yang dimiliki Anne, Pramam tak pernah mengeluhkannya atau memaksa istri melakukan beragam hal. Ia menyayangi sekaligus menghargai Anne sebagaimanamestinya. Meskipun terkadang, ada saja komentar buruk mengarah pada keluarga kecilnya tentang Pramam yang terlalu memanjakan istri. Sementara Anne yang memanfaatkan kekayaan suami.
Semua itu tidak benar. Anne sudah cukup baik mengurusnya di sela mengandung dengan kondisi fisik kurang dari kata baik. Pramam juga berusaha menjadi suami yang wajib membahagiakan istri.
“Rahim Anne itu lemah, Pram takut terjadi sesuatu kalau Anne kerja berat.” Pramam kembali mengingatkan sekaligus meminta ibunya untuk memahami keadaan sang menantu. “Udahlah, Bu. Pramam tahu apa yang terbaik buat rumah tangga ini, Ibu nggak perlu khawatir.”
Kontan ibunya menandaskan, “Jelas Ibu khawatir, anak kesayangan Ibu ini nggak diurus benar sama istrinya.”
Merasa ada getaran lain, Pramam menjauhkan gawai dari telinga. Maniknya lurus membaca tiap huruf berderet yang membentuk satu nama. Saat itu juga, perasaannya mendadak tidak enak.
“Sebentar ya, Bu. Ini ada telepon masuk,” tukasnya pada lawan bicara.
“Hmm, ya udah. Semoga lancar rapatnya. Kita sambung lagi nanti.”
Tanpa merespon, Pramam spontan mengakhiri panggilan dan bergegas menerima telepon dari supir pribadi Anne. “Ada apa, Pak Yon?” tanyanya khawatir.
“Ibu Anne, Pak … anu, sekarang baru sampai rumah sakit. Tadi dibawa pake ambulance karena pendarahan.”
Punggung Pramam berubah tegap, matanya melebar seketika. “Anne? Pendarahan?”
***
Berbagai kemungkinan bercokol di kepala, memenuhi pikiran sampai rasanya muak. Pramam enggan membayangkan sesuatu buruk terjadi pada Anne. Meski ia paham, jika istrinya mengalami pendarahan lagi, maka usaha mereka sudah dipastikan berakhir sia-sia.
Langkah Pramam tergopoh, matanya mengedar ke sekeliling hingga pandangannya jatuh pada seseorang yang mengenakan APD. Dokter Mega menganggukkan kepala, lalu memintanya masuk ke ruangan. Kalau sudah seperti ini, Pramam harus menyiapkan mental baja untuk mendengar segala penjelasan dokter kandungan yang menangani Anne sejak lama.
“Anne pasti baik-baik aja.” Pramam membatin. “Anakku sehat kok di sana, iya, tenang Pram, tenang ….”
Sepuluh menit berlalu, Pramam keluar dari ruangan. Kedua kaki yang masih lemas membuat keseimbangannya payah, beberapa kali ia terhuyung dan berhasil mendapat pegangan. Pramam menjatuhkan diri di bangku yang tersedia, sesaat mengambil napas untuk menenangkan diri.
Sebelum menemui Anne dan mengabarkan berita duka ini, Pramam harus menyiapkan kekuatan yang nanti akan dibagikan pada istri. Ia harus kuat menerima lebih dulu—setidaknya. Mengambil napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan, Pramam mencoba tenang.
Setelah beberapa saat, perawat suruhan Dokter Mega membantu mengarahkan Pramam menuju ruang yang ditempati Anne. Selama perjalanan, langkah demi langkah, potongan memori kebahagiannya bersama istri terngiang di kepala. Tentang kejutan Anne soal kehamilannya di pekan ketiga.
“Mas, meskipun ini bukan hari lahirmu, aku mau kasih kejutan besar. Aku jamin, kamu pasti suka.”
Wanita itu memberikan kado besar yang isinya berupa testpack. Pramam sangat bahagia kala itu. Bahkan ketika Anne terkena morning sick parah dan harus tinggal di ranjang seharian, Pramam rela membersihkan bekas muntahannya di lantai. Mencuci pakaian istri, sprei, dan menyeka wajah Anne.
Beragam kisah pedih dan bahagia sudah mereka lewati bersama demi si jabang bayi. Namun, kini takdir justru merenggut si kecil. Tanpa pernah mereka sentuh dan lihat secara langsung bagaimana cara ia menangis dan menatap orang tuanya.
Tepat di pintu ruangan Anne berada, Pramam menghentikan langkah. Wajahnya sudah banjir air mata, cepat-cepat ia menyekanya. Tak ingin Anne menangkap betapa hancurnya ia sebagai ayah yang kehilangan anak untuk ke sekian kali.
“Anne akan baik-baik saja setelah ini, aku bisa semangatin dia seperti biasanya, kok.” Pramam mengatur napas agar tenang. “Anne kuat, pasti.”
Usai memantapkan hati dan pikiran, barulah Pramam menghambur pada istri. Anne tengah berbaring dengan mata terpejam. Gaun yang dipakai tampak kotor karena bekas darah di mana-mana. Di balik gaun itu, perut Anne masih buncit, penghuninya masih dibiarkan tinggal untuk beberapa saat lagi.
Pramam menelan ludah kala menatap bagian tubuh itu sebelum akhirnya memanggil, “Sayang?”
Dalam sekejap, wanita itu sadar. Kedua matanya bak boneka itu terbuka perlahan. Wajah pucat yang sekitar matanya ada bekas air mata, memaksakan diri untuk tersenyum.
“Mas, bayi kita … bayi kita baik-baik aja, ‘kan?” Suara Anne merendah, terdengar serak. Lalu mata bulat bagai bonekanya berkilat-kilat waspada sewaktu Pramam menatapnya lembut.
Pramam mengulurkan tangan, mengusap pipi Anne yang langsung digenggam pemiliknya. Ia dirayapi bingung tiada tara saat ditanya. Hati Pramam trenyuh, kepingan konversasi dengan Dokter Mega melintas begitu saja.
“Dengan berat hati, saya harus mengatakan bahwa janin Nyonya Anne tidak bisa diselamatkan. Secepatnya tim medis harus melakukan tindakan untuk mengeluarkannya, Pak.”
“Itu nggak mungkin, Dok. Sejauh ini kesehatan Anne dan bayi kami baik, bahkan Dokter saja menyimpulkan kalau semua akan lancar sampai persalinan, ‘kan?” sahut Pramam tak terima. “Kehamilan Anne pun sudah memasuki trimester kedua, apa masih mungkin terjadi keguguran?”
“Takdir bisa mengubah semuanya, Pak. Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Pencipta yang mengendalikan.” Dokter Mega masih cukup tenang menghadapi keluarga pasien seperti Pramam. “Rahim Nyonya Anne memang lemah sejak uji coba bayi tabung pertama, dan saya menemukan diagnosa lain.”
Pramam menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Belum siap mendengar berita buruk tambahan. Sesaat, ia memajukan tubuh bersama kedua tangan saling bertaut di atas meja.
Sorot mata mengungkap kesiapan, lalu ia bertanya, “Jadi, maksud Dokter, istri saya punya riwayat penyakit lain?”
Dokter Mega mengangguk singkat. “APS (Antiphospholipid Syndrome) yang merupakan gangguan pengentalan darah. Ini yang menjadi penyebab utama keguguran itu bisa terjadi.”
“Astaga ….” Pramam meremas rambutnya frustasi, berkali-kali ia mengusap wajah kasar. Lalu kembali menatap nanar sang dokter. “Lalu sekarang, apa yang harus saya lakukan, Dok?”
“Sesegera mungkin kita keluarkan janinnya, Pak.”
Tanpa berucap, Pramam merengkuh Anne. Meletakkan kepala istri di dadanya. Tangannya pun ikut sibuk membelai punggung Anne yang terkesan ringkih.Hingga kemudian, bibirnya bergerak dan mengucapkan sesuatu, “Kita harus relakan dia, Ann. Aku yakin, kamu kuat.”Detik berikutnya, dorongan kuat menghantam Pramam. Ada kilat amarah sekaligus kecewa tergambar di mata indah itu. Anne menggeleng cepat, air matanya tumpah ruah, tapi tak ada isak tangis menyertainya.“Aku masih ngerasain dia hidup di perutku, Mas. Anak kita … baik-baik aja,” tandas Anne sambil membelai perutnya. “Jangan iseng gitu, deh. Soal pendarahan, kamu tahu sendiri kalau aku sering mengalami itu. Ini bukan apa-apa, Mas.”“Ann, tolong,” ujar Pramam lirih. “Kita harus ikhlaskan dia, sekarang waktunya kita biarkan dia keluar, ya?”Anne menyeka dagu yang terus meneteskan air di sana, gelengan itu muncul lagi dan semakin cepat. “Masih beberapa bulan lagi, kamu yang sabar dong. Jangan paksa anak kita!”“Anne! Ini demi kebaikan kam
“Rupanya kamu udah menikah, Mas.” Mara terkekeh geli. “Dan kamu suaminya pelanggan VIP, sahabat, sekaligus orang yang udah aku anggap kakakku sendiri.”Pramam bergeming di tempat. Dapat ia lihat betapa frustasinya si gadis. Ditambah sorot geli bercampur jijik mengarah padanya. “Sejak kapan kamu berteman sama Anne, Ra?” tanya Pramam pada akhirnya.“Itu bukan urusan kamu!” tandas Mara yang disertai amarah berapi-api. “Aku nggak nyangka bisa menjalin hubungan, bahkan setahun lamanya sama suami orang.”“Ra.” Tangan Pramam mengulur, berniat menggapai bahu Mara yang tersengal. Namun, ditepis wanita muda itu. “Tega benar kamu mengkhianati orang sebaik Mbak Anne,” isak Mara sambil menggeser duduknya. “Dan berani-beraninya kamu bilang sama aku kalau statusmu selama ini single. Astaga, udah seberapa banyak hal yang kamu sembunyikan, Mas?” “Ra, maafkan aku.”Pramam sengaja berlutut di depan gadis yang memanggilnya dengan sebutan ‘Mas Uki’ setiap kali bertemu. Dan puncaknya, sewaktu berada di
“Maksud kamu, rahim pengganti? Apa aku harus membuahi perempuan lain sampai dia hamil?” tanya Pramam bersamaan dengan pelukan yang mengendur dan munculnya kerutan di kening. “Enak aja!” seru Anne, sebal. “Itu sih keenakan kamu nanti. Prosesnya kayak bayi tabung, kok, bedanya cuma di tempat janin berkembang. Dia akan tumbuh di tempat lain, bukan di rahimku.”Tatapan Pramam kosong, lalu ia kembali pada kesadarannya kini dan bertanya, “Ann, kamu serius?”“Ya, aku udah memikirkan hal ini matang-matang,” sahut Anne antusias. “Jauh sebelum ini, aku udah konsultasi ke Dokter Mega dan dia menyanggupi untuk membantu kita.”Kini giliran Anne yang meraih tangan Pramam. Menggenggam milik suaminya yang dipenuhi guratan otot di sana. “Mas mau, ‘kan?” tanyanya memastikan. “Aku yang akan mempersiapkan semuanya, Mas tinggal hadir saat prosesnya aja nanti.”Pramam mengembuskan napas panjang. “Memang perempuan mana yang mau rahimnya kita sewa, Ann?”“Ada, kok.”Laki-laki itu masih tak habis pikir pada
Sudah beberapa menit berselang, Anne tak juga mendapat jawaban. Lantas ia memilih menyesap cangkir tehnya perlahan. Tatapnya masih terpaku pada wajah Mara yang tampak kaku di tempat.“Kalau kamu nggak mau jawab juga nggak masalah, kok.” Anne tersenyum simpul. “Mungkin aku yang salah dengar.”Mara mengangguk pelan. Maniknya terus bergerak seakan menghindari tatapan Anne. Hingga kemudian, ia meraih minuman dan menenggaknya asal. Tanpa berpikir betapa menyiksanya menelan air yang lumayan panas itu.“Berarti kamu nggak masalah sama sekali kalau harus ambil cuti dari klinik, ‘kan?”“Aku udah sempat ngobrol-ngobrol ke managerku, Mbak, jadi … aman-aman aja,” balas Mara seraya mengusap tenggorokan. Efek panas benar-benar membuatnya kepayahan.Anne mengangkat alis. “Bagus deh, soalnya aku nggak mau kalau kamu kecapekan. Nanti bayinya kenapa-napa.”“Mbak tenang aja, aku pasti selalu jaga diri.” Mara meraih tangan Anne dan menggenggamnya. “Ini semua demi kebahagiaan Mbak Ann, demi keturunan Mbak
“Aku udah feeling kalau kamu bakal balik ke apartemen buat ambil barang-barang,” ujar Pramam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Senyumnya tampak pongah di sana.“Hubungan kita udah berakhir, Mas, apa perlu aku ingatkan lagi?”Pramam melangkah maju, mendekati Mara yang sayangnya menarik diri darinya. “Ra, come on, aku cuma mau ngobrol sama kamu sebentar soal program rahim pengganti Anne,” gumamnya frutasi. “Apa alasan kamu mau menerima permintaan dari istri kekasihmu, Ra?”“Sekarang aku udah nggak punya pacar,” simpul Mara yang enggan membalas tatapan Pramam. “Dan aku rasa, aku bebas mau menjawab pertanyaanmu atau nggak.” “Kenapa, Ra?” Suara Pramam berubah parau. “Jujur sama aku, kenapa harus kamu yang merelakan rahim untuk anakku dan Anne?”Manik Pramam terus tertuju pada gadis yang kini bersandar di dinding dekat pintu. Tujuan utamanya bukan menyudutkan, tapi entah mengapa situasi mendadak berubah. Ia tak ingin menyakiti gadisnya, juga istri sahnya.“Karena Mbak An
Kiranya butuh waktu setengah jam bagi Pramam dan Anne untuk meminta Ina Basuki pulang. Meski ada perdebatan alot yang memusingkan kepala, beruntungnya wanita dengan mulut pedas itu menuruti kemauan sang putra. Anne langsung ngptot memaksa Pramam ke rumah sakit begitu mertuanya pergi.Setibanya di rumah sakit, langkah Anne terjeda karena panggilan mendesak. Pramam lekas mengijinkan istrinya pergi. Sementara itu, ia memasuki ruangan yang sudah ada Dokter Mega serta Mara di dalam.“Maaf, Dok, tadi ada urusan mendadak di rumah, jadi saya telat datang,” kata Pramam tak enak hati. “Sementara istri saya sedang mengangkat telepon penting, sebentar lagi mungkin menyusul.”“Baik, Pak Pram.” Dokter Mega mengiyakan, seolah tak keberatan jika pasangan suami istri itu lumayan membuang waktunya. “Jadi, begini Pak—“Lekas Mara memotong dan memohon seperti tadi. “Dok, saya mohon ….”Vokal gadis itu terdengar parau, menyulut perhatian Pramam yang seketika mengkhawatirkannya. Ia hendak menanyakannya lan
Tak terasa sudah setengah jam lebih dihabiskan Anne untuk menerima panggilan dari Mama. Ditambah ada beberapa hal yang harus dipersiapkannya tadi. Sampai-sampai tidak sadar ternyata sudah cukup lama ia membiarkan Pramam dan Mara melakukan pemeriksaan. Anne melangkah gontai melintasi lorong rumah sakit. Tiap melewati poli kesehatan, beberapa dokter praktek keluar dari ruangan dan pergi menuju kantin. Para suster dan karyawan lain pun demikian. Anne melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Rupanya benar, sudah memasuki jam makan siang. Kalau begitu Dokter Mega pasti sudah selesai memeriksa suami beserta sahabatnya. Baru beberapa langkah melewati poli jantung, Anne menemukan seseorang yang dikenalnya. “Hai, Sus Ani!” Anne memanggil salah seorang suster yang biasa melayaninya ketika ada urusan di rumah sakit. Suster Ani mengerjap kaget setelah berhenti mendadak secara refleks. “Lho, Nyonya Anne ke mana aja?” “Tadi ada urusan sedikit.” Anne meringis. “Suami dan teman saya
Begitu mendapati sosok Mara yang melangkah mendekati mejanya, Pramam segera mematikan putung rokok yang semula menyala. Tinggal separuh kiranya, ia memilih menghentikan sejenak. Tak ingin kandungan Mara berubah buruk, sebab ia begitu menyayangi si jabang bayi.Bersama kemeja coklat muda serta celana pendek yang dibandrol harga puluhan juta, pria itu melepas kacamata hitamnya. Memandang dari ujung kaki hingga kepala Mara yang terlihat memanjakan mata. Ia lantas tersenyum dan mempersilakan gadis itu duduk.Mara menempatkan diri, menaruh tas di sampingnya. Hingga kemudian, Pramam melempar sebuah dokumen yang dibalut amplop coklat. Mengedikkan dagu agar Mara mengambilnya.“Kamu bisa baca syarat dan ketentuan di berkas itu,” titahnya pada Mara.Hanya melirik sesaat, Mara memalingkan wajah. “Mbak Anne udah kirim salinannya ke aku.”Tepatnya sore di hari yang sama sewaktu Pramam membuat kesepakatan dengan Dokter Mega, rupanya Anne mengirimkan sesuatu pada Mara melalui surel. Mungkin benar, s