Share

Istri Untuk Suamiku

“Aliya!” Ini adalah suara tertinggi yang pernah Reza keluarkan untuk istrinya, “Apa-apaan kamu ini?”

Aliya sama sekali tak menghiraukan suaminya yang terus mengatakan rasa keberatannya akan keputusan istrinta tersebut. Fokus Aliya masih menatap ibu mertuanya yang tak bisa berhenti menatapnya dengan tegang.

“Ibu cukup, lebih baik ibu pulang dulu sekarang. Biar Reza bicara berdua sama Aliya.” Tanpa menunggu persetujuan dari ibunya, Reza membawa istrinya masuk ke dalam kamar.

Apa yang baru saja dikatakan oleh Aliya, sama sekali tak bisa ia terima dengan akal sehatnya. Bagiamana mungkin istri yang sangat dicintainya selama ini tega mengatakan hal seperti itu di depannya sendiri.

“Lepasin Za, sakit!” Aliya melepaskan cengkeraman tangan Reza pada pergelangan tangannya.

“Bilang padaku kalau apa yang kamu katakan tadi cuma bercanda.” Reza menatap tajam ke arah istrinya, seolah menuntut jawaban yang ingin ia dengar. Reza hanya berharap jika Aliya tidak benar-benar berpikir untuk menyuruhnya menikah lagi, hanya untuk memiliki keturunan.

“Aku serius Za.”

“Kamu sudah tidak mencintaiku lagi?”

Aliya terdiam. Ada jeda beberapa menit sebelum akhirnya Aliya menjawab pertanyaan sensitif tersebut.

“Justru karena aku sangat mencintai kamu Za. Aku tidak bisa kehilangan kamu. Karena aku tahu ibu akan memisahkan kita jika kita tidak memiliki seorang anak.”

“Lalu kenapa tidak kita saja yang memberikan keturunan. Kenapa aku harus mendapatkannya dari wanita lain? Aku tidak mau Al.”

Aliya menyentuh dua sisi wajah Reza lalu memeluk suaminya tersebut.

“Aku tahu kesetiaan kamu buat aku Za. Karena itulah aku yang akan memilihkan istri untuk kamu. Dan aku akan pastikan jika kamu tidak akan menaruh hati untuk wanita itu. Kamu hanya milikku Za.”

Kali ini Reza yang terdiam. Dia masih belum bisa memahami jalan pikiran Aliya. Jika ia mengharapkannya untuk menikah dengan wanita lain tanpa menaruh hati pada wanita itu, bukankah itu tidak adil untuk wanita tersebut?

Reza yang selama ini hidup dengan lurus dan berusaha untuk tidak pernah melukai siapapun menjadi ragu. Baginya pernikahan seperti itu sangatlah tidak masuk akal.

“Kamu percaya padaku kan Za?” Dengan wajah mengiba, Aliya lalu mencium bibir suaminya dengan kilat. Dia kemudian langsung masuk ke dalam kamar untuk menenangkan dirinya. Meninggalkan Reza yang masih bimbang harus berbuat apa.

***

Malam harinya Aliya berbaring di tempat tidurnya sambil menutup wajahnya dengan lengan kanannya. Dia masih diam sejak Reza berbaring di sebelahnya beberapa menit yang lalu.

“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Reza. Dia menoleh ke arah Aliya yang masih bergeming.

“Hmm,” sahutnya tanpa tenaga.

Setalah obrolan singkat itu, Reza tak lagi menanyakan apa-apa pada istrinya tersebut. Dia memiringkan tubuhnya memunggungi Aliya. Mencoba untuk memejamkan matanya, dan berharap ketika ia terbangun nanti semua hanyalah mimpi konyolnya.

“Besok aku akan menemui calon istrimu,” kata Aliya tiba-tiba.

Reza sontak menoleh ke arah Aliya dan terkejut. Kenapa ia harus membahas hal ini lagi?

“Secepatnya aku akan mengatur pertemuan untuk kalian.”

“Aliya—”

“Lebih cepat lebih baik Za. Ibu kamu akan cepat memiliki cucu, dan rumah tangga kita akan kembali harmonis seperti semula.” Kali ini Aliya menurunkan tangannya dan membalikan tubuhnya ke arah Reza dan menatap suaminya sambil tersenyum.

Bagaimana bisa dia tersenyum setenang itu, dengan mengatakan semua omong kosong tersebut.

“Apa semuanya akan berjalan lancar seperti apa yang kamu ucapkan itu?” tanya Reza.

“Tentu saja. Apa yang kamu khawatirkan?”

“Kamu tidak takut jika semua tidak seperti yang kamu rencanakan?”

“Misalnya kamu menyukai istri keduamu itu?” tebak Aliya.

Reza diam saja. Tak berani menjawab iya ataupun menyangkalnya.

“Itu tidak akan terjadi. Lebih baik kamu tidur dan kembali bekerja besok.” Aliya menarik selimutnya dan membalikkan tubuhnya lagi. Dia mulai memejamkan matanya, seolah tak pernah terjadi apa-apa dalam hidupnya.

***

Keesokkan harinya, Aliya mengambil cuti selama tiga hari. Setelah kekacaukan yang ia perbuat sebelumnya, dia mendapatkan sanksi dengan pemotongan gaji selama lima bulan. Dan hal itu tak bisa Aliya hindari, karena memang itu kesalahnnya.

Pagi-pagi sekali, Aliya kali ini pergi ke sebuah pemukiman yang sudah lama tidak ia injakkan kakinya di sana. Dia berjalan melewati rumah-rumah warga yang terasa kumuh bagi Aliya yang berpenampilan metropolitan.

Dengan menahan bau yang tidak sedap di hidungnya, karena selokan bekas terkena banjir dua minggu lalu dengan sampah yang menumpuk. Akhirnya Aliya menemukan rumah yang ia tuju.

Perlahan wanita itu mengetuk pintu rumah sederhana yang terlihat kosong itu.

“Kenapa tidak ada sahutan? Apa dia sudah pindah? Atau—”

“Cari siapa?”

Suara dari belakang tiba-tiba mengejutkan Aliya. Hingga membuat wanita itu sontak menoleh ke belakang.

Wanita yang berdiri di hadapan Aliya mengenakan dress mini berwarna merah, dengan make up yang mencolok berbanding terbalik dengan Aliya yang tampil elegan dengan make up yang natural.

“Kenapa ada orang hebat yang bertamu ke sini?” tanya wanita bernama Rubi tersebut.

“Rubi, sudah lama tidak bertemu,” kata Aliya pada wanita tersebut.

“Sudah lama, karena kamu tidak pernah lagi datang padaku sejak kejadian itu.” Rubi mengeluarkan rokok dari dalam tasnya dan menyulutnya di hadapan Aliya. Asap yang keluar dari mulutnya membuat Aliya merasa sangat tidak nyaman.

“Kenapa? Kamu tidak nyaman? Kenapa kamu datang ke sini?”

“Mari kita lupakan masa lalu. Aku ingin memberikanmu sebuah tawaran yang bagus.”

Rubi menurunkan rokok dari mulutnya. Dia menatap Aliya tidak suka, meskipun sebelumnya mereka adalah sahabat dekat.

“Kamu bisa meninggalkan dunia gelapmu, dan hidup lebih baik,” kata Aliya.

Namun perkataan Aliya tersebut justru membuat Rubi menjadi meradang.

“Kamu pikir karena siapa aku terjebak ke dalam dunia gelap ini?!” Rubi menatap Aliya dengan emosi, hingga napasnya naik turun.

“Anggap saja itu sebagai jalan hidup yang harus kamu lalui.”

Rubi tertawa sarkas.

“Dan kamu tidak pernah mau meminta maaf padaku,” desisnya sambil menghisap rokoknya lagi.

“Bukankah yang terpenting sekarang aku juga yang bisa membebaskanmu dari kehidupan kelammu itu?”

Rubi akhirnya tampak sedikit tertarik. Dia tak lagi emosi pada Aliya, dan mulai penasaran dengan tawaran mantan sahabatnya tersebut.

“Baiklah, apa tawaranmu?”

“Jadilah istri kedua suamiku.”

Hening di antara kedua wanita itu. Rubi yang mendengarnya kemudian mengorek telinganya, karena mungkin dia salah mendengar akibat terlalu sering mendengar suara klakson kendaraan di jalan raya.

“Apa katamu?” tanyanya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

“Aku butuh kamu untuk jadi istri kedua suamiku, dan memberikan keturunan untuknya.”

“Kamu sudah gila?!” Alih-alih senang dan langsung setuju, namun Rubi justru mengatakan jika sahabatnya yang hidup sempurna bak Ratu dalam sebuah dongeng itu sudah tidak waras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status