Topan menggeleng prihatin mendengarnya. "Jika kau berpikir demikian, kau salah, Indira. Aku sama sekali tidak tertarik denganmu dan tidak ada niatan sedikit pun untuk melirikmu karena aku sudah memiliki Davina!" Indira mendengarkan jawaban Topan dengan saksama, mencernanya dalam sepersekian detik. Tapi wajahnya masih tetap saja santai dan tenang meski mendapat penolakan langsung. Tiba-tiba, ia memicingkan pandangan. "Jadi, menurutmu Davina si wanita dingin dan galak itu lebih cantik dan seksi daripada diriku?" Indira bertanya seraya mengangkat sebelah alisnya. "Ya, tentu saja. Dia jelas lebih cantik dan seksi daripada dirimu!" balas Topan cepat tanpa ragu. Berharap, otak Indira balik normal! Sementara Indira tidak langsung merespon, melainkan menatap Topan lekat. "Aku tau kamu tidak mau denganku karena aku adalah Ibu mertuamu. Kamu merasa segan dan tidak enak hati pastinya. Tapi, sudah kukatakan kalau aku menginginkanmu, Topan. Aku akan memberimu waktu untuk memikirkannya." Akhirn
Perlahan, jemari Indira membuka satu per satu kancing kemejanya. Bukan dengan tergesa, melainkan penuh perhitungan, seolah setiap kancing yang terlepas adalah jebakan yang sengaja dipasang untuk pria di sampingnya yang tengah fokus menyetir. Hingga akhirnya, bagian dadanya tersingkap, menampilkan kulitnya yang halus. Ketika kancing terakhir kemejanya terbuka, langsung memperlihatkan bra tipis yang membungkus kedua dadanya. Kainnya begitu lembut dan nyaris transparan, membuat bayangan kulitnya terlihat jelas di baliknya. Topan masih mendelik seraya menahan napas, seakan tengah memperingati wanita gila itu. Tapi matanya sudah terperangkap. Tanpa mempedulikan reaksi Topan, Indira menyandarkan tubuhnya ke belakang, dagunya terangkat. Ia menoleh, detik berikutnya menggigit bibir, sengaja membuat ekspresi wajah menggoda dan menatap menantu di sampingnya dengan aura kenakalan terpancar jelas di sana. Topan, dengan pandangan berpindah-pindah dari wajah Indira dan jalanan berkata, "Jadi
Malam itu sunyi. Hanya ada cahaya lampu redup di kamar dan suara napas lembut Davina yang telah tertidur di samping Topan. Sementara Topan belum. Topan terbaring miring, menatap punggung istrinya yang membelakanginya. Mereka memang sudah menikah, tapi jarak hati diantara keduanya masih terasa jauh. Davina hanya memberi izin tidur di ranjang yang sama, tidak lebih! Jarak mereka hanya sejengkal, namun baginya terasa seperti jurang yang tak bisa dilompati. Hangat tubuh Davina begitu dekat, aroma samar dari rambutnya menusuk indera, membuat dada bergejolak. Apalagi Davina mengenakan baju tidur sederhana berwarna lembut. Potongannya memang sopan, tapi cukup tipis untuk memperlihatkan siluet tubuhnya. Sontak, Topan langsung menegang. Tidak hanya tubuhnya, tapi juga pistol airnya. Matanya, tanpa bisa dicegah, mengikuti setiap gerakan istrinya. Cara kain tipis itu jatuh mengikuti lekuk tubuhnya membuat dada Topan semakin bergemuruh. Topan pun menelan ludah. Tangannya terkepal erat di b
Di rumahnya Gunawan. Begitu melihat Topan dan Davina turun dari mobil, Gunawan yang sedang duduk di teras rumah dengan gelisah langsung bangkit dari kursi dan berhambur ke arah mereka setengah berlari. "Bagaimana Davina?!" tanya Gunawan dengan wajah dipenuhi gurat kecemasan sekaligus penasaran. "CEO barumu belum sempat apa-apakan kamu, 'Kan? Kamu baik-baik saja, 'Kan, sayang?" Tanpa menunggu balasan dari putrinya, Gunawan sudah berpaling kepada Topan. "Leonard sudah selesai, bukan? Sudah berakhir, Nak Topan?" Rasa penasarannya begitu tak terbantahkan. Mendapatkan cecaran pertanyaan itu, Topan menganggukan kepalanya dan tersenyum. Sontak, Gunawan terhenyak sebelum kemudian menghembuskan napas lega. Cemas yang baru saja menghiasi wajahnya mendadak sirna. Beban yang baru saja dipikulnya seolah hilang. Ia tahu bahwa yang terjadi pasti demikian. Tidak ada yang bisa lepas dari cengkraman seorang Raja Gangster Valdoria! Siapa pun yang berhadapan dengannya, akan menemui kehancuran, lebi
Sementara itu, Topan berbalik menghadap Davina setelah Leonard dibawa paksa keluar dari ruangan oleh polisi. Istrinya itu sejak tadi menempel pada tubuhnya dengan memegang lengannya kuat-kuat. Setelah Leonard babak belur, tak berdaya, hancur fisik mau pun kekuasaannya, dia langsung berlari ke arahnya dan melakukan hal demikian. Topan tidak lagi khawatir dengan Davina sebab sudah tidak ada lagi ketakutan yang menghiasi wajahnya. Sebenarnya, ketakutan masih tersisa di sana. Tapi ketakutan itu menyiratkan arti lain ; mungkin saja karena dirinya yang berubah menakutkan tadi atau bisa jadi karena perkataannya. Namun Topan tidak terlalu memikirkannya lebih lanjut, kini ia benar-benar lega sekaligus tenang mendapati istrinya bersikap demikian. Topan menghela napas panjang sebelum berucap, "Lihat, Leonard sudah berakhir, sayang. Dia sudah hancur. Dia sudah mendapatkan hukumannya. Seseorang yang menekanmu, mengancammu dan hendak menyentuhmu sudah berakhir di tanganku!" Perkataan Topan me
Setelah menatap ke arah pintu sebentar, mengabaikan kedatangan dua orang, Topan kembali fokus kepada Leonard. Ia lalu melepaskan cengkraman pada kerah kemeja Leonard, membuat pria itu langsung melorot dan tergeletak di lantai. Wajahnya babak belur, luka memenuhi wajah juga sekujur tubuh, darah menetes dari hidung dan bibirnya. Topan berdiri di atasnya sesaat dengan dada naik-turun, masih mengepalkan tangan penuh amarah. Setelah itu, ia berpaling ke arah pintu lagi. Seorang pria bersetelan jas yang tidak lain adalah Dimas, asisten pribadinya masih berdiri di muka pintu bersama seorang wanita dengan kepala tertunduk dan tubuh gemetaran. Di saat ini, Dimas terhenyak selagi pandangannya menyapu keadaan sekitar sebelum kemudian buru-buru menenangkan diri. Ia sudah tahu jika semua itu adalah perbuatan tuan mudanya. Sebelumnya, Topan mengatakan kepada dirinya akan langsung turun tangan dan ingin memberi pelajaran kepada Leonard dengan tangannya sendiri terlebih dahulu sebelum membua