Share

3. I’m (Not) Okay

Kelas berakhir sekitar 15 menit lebih lama dari jadwal seharusnya. Dosen memberikan sebuah kuis bagi mereka yang bisa menyelesaikan soal sepuluh orang paling cepat. Sayangnya Raline sama sekali belum mengerti tentang materinya, jadilah dia tidak termasuk ke dalam sepuluh orang itu. Padahal di kampusnya dulu, Raline termasuk murid pintar di jurusannya dan mendapatkan beasiswa.

Mungkin karena Raline pintar di hitung-hitungan dan jurusan Ralina lebih ke soshum makanya gadis itu perlu lebih banyak waktu bersosialisasi.

Raline yang duduk di jajaran bangku depan langsung membereskan buku-bukunya setelah dosen menutup kelas. Ingat dengan peringatan Muaz untuk langsung pergi saat kelas usai.

Namun, baru saja Raline memasukkan sebagian bukunya, orang-orang yang tadi pagi menyapanya sudah berdiri di samping bangkunya. Raline mendesah pelan, malas juga direcoki orang-orang seperti mereka melulu.

“Ralin, hari ini hang out yuk!” kata yang satu, entahlah siapa namanya.

“Sorry gak bisa,” sahut Raline lebih cepat memasukkan buku-bukunya, lalu menyandang tasnya hendak pergi.

“Ish, kenapa?” Yang lain berkata protes, tapi Raline buru-buru pergi ke luar kelas. Jemarinya sibuk mencari kontak Muaz. Oh ya, Raline memakai ponsel Ralina. Tebak apa nama kontak lelaki itu? My Future Boy. Lebay!

“Halo? Kelas gue udah selesai,” kata Raline pada Muaz, sesekali melirik ke belakang dan terus berjalan ke mana saja. Kalau dia diam, sama saja mengundang orang-orang yang mengenal Ralina untuk menghampirinya.

[“Tungguin gue.”] Setelah itu, sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Muaz.

Raline memutuskan untuk menunggunya di gazebo dekat parkiran. Dari sana, bisa dilihat gedung fakultasnya yang besar dan lorong-lorong panjang di depan kelas. Akan mudah memantau keberadaan Muaz. Dia mengeluarkan earphone dan buku materi kelas tadi, memutuskan untuk membaca selama menunggu lelaki itu.

Gadis itu tahu ada beberapa pasang mata yang curi-curi pandang padanya, tapi dia mengabaikannya dengan berusaha fokus. Mungkin Ralina memang se-famous ini sampai-sampai Raline susah pergi ke tempat di kampus di mana tidak akan ada orang yang mengenalinya sebagai Lina.

Omong-omong, Raline dan Ralina benar-benar sama persis bagi mereka yang tidak mengenal keduanya. Perbedaannya hanya pada bentuk mata dan tinggi, plus warna rambut kalau terhitung Ralina mengecat rambutnya. Mata Raline lebih besar dibanding mata Ralina yang agak sipit, tingginya juga lebih tinggi Raline dibanding kakaknya. Mungkin karena Ralina lebih banyak ikut ekskul olahraga semasa SMP dan SMA.

Butuh sepuluh menit menunggu Muaz sampai. Letak mobil Muaz dari gazebo cukup jauh, jadi Raline memasukkan dulu bukunya ke dalam tas selagi berlari ke sana.

Di mobil, Raline kembali melanjutkan bacaannya tentang Statistika Ekonomi.

Muaz sempat meliriknya sebelum melajukan mobil. “Ngapain?” tanyanya.

“Gak liat gue lagi apa? Jurusan gue sama jurusan Lina beda banget. Gue perlu menyesuaikan diri biar gak bego-bego amat,” jawab Raline cuek.

Lelaki itu mengangguk-angguk. “Bagus. Jangan buat nama pacar gue jadi jelek kalau lo bego di kelas.”

Raline memutar bola matanya. Jujur, Raline lebih pintar dibanding Ralina. Sejak SD, rangking Raline selalu berada di atas Ralina. Jika Raline tetap tidak mengerti Manajemen, itu memang tidak sesuai dengan minat dan kemampuannya. Jangan salahkan dia dan menuntut menguasai apa yang tidak Raline senangi.

Malas harus mendengar hal-hal memuakkan, gadis itu menyumpal telinganya pakai earphone sambil lanjut baca.

Muaz bertanya, “Gimana tadi di kelas?”

Jelas saja Raline tidak mendengar saat musiknya full terdengar. Walau musiknya bukan yang memiliki tempo cepat, tetap saja Raline berlagak tak mendengar apa pun kata lelaki di sampingnya.

Earphone-nya ditarik paksa sampai tercabut dari ponsel dan melemparnya ke belakang. Si empunya earphone mau protes, tapi yakin tidak akan didengar.

“Gue gak suka dicuekin,” dengus Muaz tidak terlihat bersalah sama sekali. “Gimana tadi di kelas?”

“I’m doing great. Everyone will stay away from me,” ketus Raline. Dia melirik Muaz sambil menggigit bibir bawahnya. Ragu-ragu bertanya, “Bisa kita ke rumah sakit sebentar?”

“And let you see my gf? Never.”

“Gue gak peduli lo masih anggep gue yang celakain Lina, tapi gue pengen jenguk dia sekarang.”

“Gue udah gila kalau nurutin kemauan lo.”

Kalau tidak ingat soal nyawa, Raline ingin sekali membanting setir mobil sebagai pelampiasan emosinya. Apa Muaz tidak bisa menempatkan dendam dan rasa kasihannya dalam tempat yang berbeda? Paling tidak sekali saja lihat Raline sebagai adik dari Raline, bukan terduga pelaku tunangannya koma.

“Ke rumah sakit atau turunin gue di sini?” ancam Raline. Sebagian besar berharap Muaz menurunkannya saja di pinggir jalan. Berada di dekat lelaki itu membuat atmosfer di sekitarnya terasa tak enak, lebih sering canggung dengan kebencian menguar.

“You’ll never get both,” desis Muaz.

“Fvck!”

Dret! Dret!

Malas-malasan Ralina mengangkat sambungan yang masuk ke ponsel Ralina. My lovely mom. Cheese, apa tidak bisa kembarannya menamakan kontak dengan nama yang biasa-biasa saja? Enek sendiri Raline melihatnya.

“Halo?”

[“Di mana kamu?”] Hani bertanya dengan namanya pada Raline; ketus dan dingin. Sangat berbeda jika bicara pada Ralina.

“Di mobil sama Muaz. Lagi pulang.”

[“Kasih hapenya ke Muaz.”]

Raline menyodorkan ponselnya pada Muaz yang ditanggapi lelaki itu bingung. “Nyokap.”

Muaz mengambilnya dengan tangan kiri lalu mengapitkan di antara bahu dan telinga. “Halo, Tante?”

“Sekarang?” Raline meliriknya penasaran. Hani terdengar berbicara sesuatu di ponsel, tak jelas karena mode speakernya tidak dinyalakan. “Oke.”

Mobil Muaz menepi di trotoar membuat Raline membulatkan matanya. Tidak menyangka kalau lelaki itu sungguhan mau menurunkannya.

“Turun,” perintahnya dingin dan tak mau dibantah.

“What?”

Lelaki itu mendelik. “Bukannya lo mau turun? Turun sekarang, tapi gue bilangin, lo gak akan bisa masuk ke ruangan Lina. Ada kakak lo di sana.”

Raline berdecak, mau tak mau turun di trotoar. Gengsi juga kalau ngotot mau diantar padahal tadi sudah minta turun. Mobil Muaz langsung tancap gas.

“What the fvck is this situation?” gerutunya melirik ke tempat dia berada. Dia tidak ingat atau familiar ini di mana. Malu banget para angkutan umum berhenti menawarinya untuk naik sedangkan dia tidak tahu harus ke mana. Kalau naik taksi, bisa habis uang sakunya. “Gila, gue gak tau lagi ini di mana.”

Dibukanya ponsel lalu mencari titik keberadaannya di G****e Maps. Garis merah langsung muncul begitu Raline memasukkan alamat rumahnya. Terlalu dekat untuk naik angkutan umum dan membuang banyak uang, tapi terlalu jauh untuk berjalan kaki.

Akan tetapi, ya sudahlah, hitung-hitung pengurusan badan. Gadis itu mulai berjalan sesuai arah yang ditunjukkan G****e.

“Ralin?” Tubuh Raline menegang, bak film horor dia menoleh lambat. Di sampingnya, seorang lelaki duduk di atas motor dengan kaca helm terbuka—menatapnya. “Ralin, ‘kan?” tanya lelaki itu.

“Iya. Siapa ya?”

“Gue yang waktu itu nolongin lo pas jatuh jadi cheerleaders.”

“Sorry, gue lupa.” Raline tidak mau repot-repot mendukung ekspresi lupanya bak memang lupa beneran, malah tampang jutek yang dia tampilkan. Mungkin kalau Ralina, dia akan dengan senang hati melayani lelaki itu karena terkesan lebih populer. Ya Raline tidak peduli akan respons orang-orang, tugasnya hanya menggantikan Ralina.

“Wajar sih, udah berapa taun juga.” Lelaki itu membuka helm-nya, mengacak rambutnya seolah sedang syuting film. Raline meliriknya malas, pasti dia berniat berlama-lama sampai membuka helm segala. “Mau ke mana? Pulang? Mau gue anter?”

“Gak usah.”

“Ayolah. Gue gak ngajak kencan atau pacaran kok, cuma mau bantuin lo.”

Hmm, tawaran di siang hari yang panas itu menggoda Raline untuk menerimanya. Sesering apa pun dia berada di bawah terik matahari di kota Neneknya dulu, panas kota Jakarta jauh lebih dahsyat dari yang pernah dia rasakan. Jaraknya untuk sampai ke rumah juga masih terlampau jauh jika ngotot ditempuh jalan kaki.

Lelaki itu menantikan Raline yang memikirkan penawarannya dengan wajah tampannya tersenyum. Bukan rahasia lagi betapa terkenal seorang Ralina di lingkungannya, apalagi dia tergolong selebgram dengan pengikutnya yang cukup banyak. “Gimana?” tagihnya.

Raline mengedikkan bahu. “Oke,” katanya. Sontak lelaki itu bersorak dalam hati, agak memiringkan motornya yang tinggi agar Raline bisa naik dengan mudah. Helm hitamnya diberikan pada gadis itu, bersikap gentle sebagai lelaki.

Sebab belum hafal jalan pulangnya sendiri, diam-diam Raline mengintip ke G****e Map tadi. Aneh ‘kan kalau enggak hafal jalan pulang sendiri.

Waktu yang seharusnya ditempuh tujuh menit jalan kaki sampai dalam waktu kurang dari semenit dengan motor sport lelaki itu. Raline menyodorkan dua lembar uang sepuluh ribu bersamaan dengan menyodorkan helmnya.

“Ck. Lo kira gue kang ojol apa pake ongkos segala,” gerutunya.

“Ya udah.”

“Eh.” Lelaki itu mencekal pergelangan tangan Raline dan menahannya agar jangan dulu masuk. “Boleh minta nomor lo?”

“Gak,” ketus Raline menepis lengan lelaki itu. Tak peduli kalau dia sudah ditolong dan terkesan tidak berterima kasih. Ya bagaimana, dikasih uang malah ditolak. Bukan salah Raline.

“Ck. Tipe gue banget sih,” gumam lelaki itu sebelum pergi.

Begitu masuk ke rumah, Raline disambut tatapan sinis Mamanya. “Bagus yaa. Manfaatin wajah dan nama Lina untuk pacaran sama cowok lain. Hemm, bagus. Lupa ya kalau kakak kamu udah punya tunangan,” sindirnya.

“Dia bukan pacarku,” dengus Raline.

“Terus apa? Teman doang?”

“Temen juga bukan.”

“Ohh, bukan temen aja udah mau dianter-anter. Kamu mau Lina dicap cewek murahan?”

Gadis itu mendesah, lelah sekali dengan situasi yang memuakkan ini. “Aku baru pulang kuliah, bisa marahnya nanti aja?”

“Lina juga waktu itu baru tunangan sama Muaz, apa gak bisa kamu nyelakain dia nanti aja?”

“Ma, cukup!” Raline hilang kontrol membentak Hani, bahkan sorot matanya tajam tanpa bisa diatur. Selalu akhirnya begini jika debat dengan Mamanya, lalu Raline akan menyesali kelakuannya. Seharusnya dia langsung pergi, seharusnya Hani yang mengusirnya lebih dulu.

Farhan datang dari dalam dengan wajah mengeras. Sudah jelas mendengar semuanya dan hendak melampiaskan emosinya. Pria itu tipikal orang yang emosinya meledak-ledak dan sulit diredakan jika sudah terlanjur marah. “Raline! Berani kamu bentak Mama kamu?!” bentak Farhan.

Hani menahannya agar tidak melukai Raline. Sebenci-bencinya seorang ibu pada anaknya sendiri, jika melihat langsung anaknya dihajar tidak akan ada yang tinggal diam. Begitu pula Hani, dia masih menganggap memarahi adalah metode yang lebih baik ketimbang pakai kekerasan.

Raline terkekeh dengan senyuman kecil, tapi sebenarnya ingin menangis. “Bisa kalian berhenti fitnah aku atas sesuatu yang gak pernah aku lakuin?” pintanya parau. “Oh ya, lupa. Here i am a sinner, and you are a God.”

Dia mengusap kasar pipinya walau tak ada air mata sama sekali, berbalik ke pintu dan memutuskan untuk pergi. Ke mana saja, jika mungkin sangat jauh dari rumah. Ah, rumah apa yang terasa bagai neraka baginya? Bahkan Raline tidak mau berharap lebih untuk bisa merasakan lagi rumah yang sesungguhnya.

“Raline! Mau pergi ke mana kamu?!” seru Hani.

“A place that only i know.”

Raline membanting pagar, tapi tidak sungguhan keluar. Dia berbelok ke halaman samping rumah, tepatnya ke sebuah taman kecil yang biasa dipakai main waktu dulu. Raline, Ralina, dan Reno; mereka pernah hidup serukun itu sampai sering menghabiskan waktu di halaman belakang.

Di belakang ring basket Raline, terdapat sebuah pohon besar yang disulap menjadi rumah pohon. Kini hanya Raline pemilik sahnya karena Reno trauma pernah jatuh dari pohon dan tak mau lagi ke sana. Dia menaiki satu per satu tangga kayu yang dipaku ke pohon, tempat pelariannya yang paling sempurna. Tak akan ada yang mengganggu.

Di sini, tertuang semua keluh kesah Raline setiap pulang ke rumah. Kenapa dia harus tinggal jauh dari rumah bersama neneknya, kenapa orang tuanya membedakan dia dan Lina, atau kenapa Muaz malah lebih tertarik pada kakaknya. Sekali lagi pertanyaan yang selalu menghantuinya, kenapa takdir begitu pilih kasih?

Di dinding pohonnya juga Raline dulu menempel foto-foto dia dan Ralina semasa kecil, foto yang diam-diam diambil dari album keluarga. Foto yang selalu mengundang kesedihan setiap kali melihatnya.

“Apa pikiran mereka sedangkal itu sampe mikir gue tega celakain lo?” gumamnya mengusap foto Ralina, berharap keajaiban akan datang secepat mungkin pada kakaknya.

***

Muaz sampai di rumahnya sebagaimana yang diinfokan Hani. Calon mertuanya itu mengatakan kalau orang tua Muaz menunggunya di rumah untuk makan siang dan ada yang ingin dibicarakan. Tadi Muaz mematikan ponselnya, tak jarang juga menghidupkan mode pesawat agar tidak menganggunya.

Di meja makan yang besar itu, Mama dan Papanya sudah memulai makan siang. Mungkin karena Papanya sibuk di kantor jadi tidak bisa menunggunya sampai.

“Ada apa, Ma?” tanya Muaz duduk di depan Mamanya.

“Gimana sama cewek itu?” tanya sang Mama tidak mengalihkan perhatiannya dari piring.

Muaz mengedikkan bahunya, agak malas membahas. “She’s not bad at all, but still doesn’t look like Lina.”

“Karena mereka tetap orang berbeda walau kembar,” sahut Papanya mengangguk-angguk. “Apa kata polisi?”

“Mereka gak dapat banyak petunjuk, tapi kalaupun dia bersalah, akan dihukum saat Lina sadar. Begitu perjanjiannya.”

Keluarga Raline meminta polisi agar menyelidiki bagaimana bisa Ralina tenggelam saat Raline mati-matian menyangkal dia yang mendorong dan tidak menolong kakaknya. Ah, lebih tepatnya bukan untuk mengetahui kebenaran, tapi untuk mendapatkan bukti kuat untuk menyalahkan Raline.

Padahal jika dilihat dari tempat kejadian perkara, apa yang akan diselidiki? Danau itu tidak banyak dikunjungi orang dan cenderung sepi, tak akan ada yang berinisiatif memasang cctv. Mau memeriksa tempatnya juga tak akan dapat banyak bukti kejadian. Hanya Ralina yang bisa menjawab semuanya.

“Semoga keadilan cepat terkuak. Kita juga tidak bisa seenaknya menganggap Raline bersalah karena tak ada bukti konkret,”  kata Mamanya.

“It can’t make me think from another perspective,” sahut Muaz santai. Seolah tak akan ada penyesalan sama sekali kalau Raline memang tidak bersalah.

“Intinya jangan menyalahkan orang atas kesalahan yang belum jelas duduk perkaranya.”

“Bahkan kalau dia gak bersalah, gue bakal tetap benci,” gumam lelaki itu.

***

Raline mengerjapkan matanya perlahan, sekejap kemudian meringis sakit akan tubuhnya yang sulit digerakkan. Shit! Dia ketiduran di lantai rumah pohon yang hanya beralaskan lantai kayu. Pantas saja badannya sakit semua.

Hari juga sudah malam menyadari betapa gelapnya tempat ini. Ahh, waktu berlalu begitu cepat jika kita tidak memikirkannya. Malas-malasan Raline turun ke bawah, niatnya menyelinap langsung ke atas tanpa bertemu siapa pun.

Aduh, ada apa lagi ini?

Gadis itu melengos pergi saat mendapati ruang tamunya terisi lebih banyak orang. Ada keluarga Tantenya dari pihak Mama.

“Raline?” Tante Hana memblokir jalan Raline ke lantai atas. “Kapan kamu pulang?”

“Dia pulang hanya untuk mencelakai Lina,” sinis Hani berjalan ke ruang tamu dengan nampan penuh suguhan untuk adiknya.

 “Jangan dulu ke atas dong. Tante masih kangen sama kamu.” Tanpa persetujuan Raline sendiri, Hana menariknya untuk bergabung di ruang keluarga. Papa dan Reno tidak kelihatan di mana-mana, mungkin sedang menjaga ratu keluarga mereka di rumah sakit.

“Gimana kuliah kamu yang dulu?” tanya Hana menarik Raline untuk duduk di sampingnya.

“Baik.”

“Terus gimana sama jurusan Lina?”

“Baik.”

“Kamu nyaman tinggal sama orang tua kamu lagi?”

“Enggak.”

Hana mengernyit. “Kenapa?”

“Kenapa aku harus nyaman kalau di tempat ini, aku sama sekali tidak diperlakukan sebagai keluarga?” sindir Raline.

Sebenarnya Hana itu orang yang baik, yang paling baik malah dari yang pernah Raline kenal. Dia juga tidak sungguhan membencinya. Hanya saja, orang-orang yang baik padanya hanya akan berakhir menyakitinya balik. Cukup trauma mengulangnya.

“Biarin ajalah, Han. Dia gak usah diajak bicara, omongannya gak sopan,” kata Hani. Anak Hana, Boy, sibuk main gim di gadgetnya.

Hana tampak menegur kakaknya lewat tatapan mata, lalu melirik Raline yang tampak tak nyaman dengan situasi ini. “Tante percaya kamu gak gitu, kamu gak akan celakain Lina.”

“Seriously? Orang-orang sering bilang akan tetap memihakku, tapi sekarang? They turned againts me.”

“Kecuali Tante. Oke? Kita tetap keluarga, ‘kan?”

Raline menepis tangan Hana yang mencekalnya, berdiri menjauh. “Keluarga aku cuma nenek.”

***

Ada yang mau ditanyakan tentang Raline? Atau Muaz? Atau kenapa sih keluarganya benci banget sama Raline?

Tungguin yuk part berikutnya. Jalan lupa subscribe dan komen juga hihi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status