Share

2.  Tidak Selamanya Baik

Jika Hana berpikir orang tuanya akan memperlakukan dia seperti Hani, jawabannya : salah besar.

Heh, apa yang dia harapkan? Disiapkan baju kuliah dan disuguhkan makanan mewah? Atau dibangunkan pagi-pagi dengan suara lembut mengingatkan bahwa ini sudah pagi?

Ironisnya, itu semua hanya sebatas mimpi.

Di kamarnya yang dulu, Hana mengenang kembali semua ingatannya di tempat ini. Dulu kalau Hani mengadukan yang tidak-tidak dan Hana dimarahi, dia pasti akan menangis di pojokan. Saat Hana dihukum tidak boleh ke mana-mana, balkonlah yang jadi tempat pelariannya. Atau saat Hana kesulitan tidur, dia akan menyeHanip ke bathup dan tidur di sana.

9 tahun sudah berlalu. Hana merindukannya setiap saat.

Di sela-sela mengenangnya itu, pintu dibuka tiba-tiba membuatnya terkejut.

Hani menatapnya dingin, tidak tampak seperti seorang ibu yang sudah lama tidak bertemu anaknya. “Cepet turun. Owen udah tunggu di bawah,” katanya langsung pergi lagi.

Hana menghela napas. Menggendong tasnya tanpa bicara, mengikuti Mamanya turun ke lantai bawah.

Sudah ada Papanya, Kakaknya, dan Owen sudah mulai sarapan di meja makan. Bi Lastri sibuk bolak-balik dapur dan meja makan menyajikan makanan. Hana menarik kursi di samping Reno—kakaknya. Reno mendelik, menggeser kursinya menjauh dari Hana.

Gadis itu tidak ambil pusing, sudah biasa diperlakukan begitu.

“Ayo, Ma. Kasian Hani sendirian dari tadi,” ujar Farhan mengelap sudut bibirnya pakai tisu, berdiri dari kursinya diikuti Hani.

Bagi orang-orang yang mengenal adanya Hana dan Hani, mereka biasa memanggil Hana dengan Han dan Hana dengan Hani. Tidak berlaku di sekolah masing-masing atau tempat Hana tinggal sebelumnya, mereka sama-sama dipanggil Han.

“Bi, mana bekalnya? Saya akan makan di rumah sakit aja.” Baru Hana sadari di samping kursi Hani terdapat sebuah koper dan tas cukup besar. Hani menggeretnya mengikuti Farhan keluar setelah menerima kotak makan dari Bi Lastri.

Saat Hana hendak menyendok nasi, Reno menyeletuk, “Gak malu lo bisa makan tenang-tenang sementara Hani lagi koma?”  Sontak Hana mematung, perlahan mengembalikan sendok nasi dan membalik piring di depannya. Tak berniat sarapan.

“Terus selama enam tahun ini lo gimana? Dari dulu gue ngekos jauh dari kalian, sering kehabisan uang dan kadang cuma bisa makan seadanya. Sementara kalian semua makan enak di sini, gak usah mikir besok makan apa atau ngatur keuangan secukup mungkin. Apa lo gak malu adek lo gak jelas makannya apa sementara lo di sini makan enak?”

Reno mendengus. “Gak usah sok merasa jadi orang paling tersakiti.”

“Jadi berhenti perlakukan gue sebagai orang yang paling salah. Oke, gue salah gak bisa nolongin Hani yang tenggelam, tapi apa ada satu orang aja dari kalian yang mau denger penjelasan gue, hah?”

Sekuat mungkin Hana menahan air matanya agar tidak terlihat. Dia benci harus dipaksa kuat padahal sesungguhnya dia rapuh, benci dipaksa menerima akan hal yang tidak sepantasnya dia dapatkan. Hana sama seperti Hani, seharusnya mereka juga memperlakukannya sama seperti pada Hani.

Owen menaruh kasar alat makannya, menatap tajam Hana yang duduk tepat di depannya. “You two really piss of me,” umpatnya kasar, bangkit secara tiba-tiba sampai kursinya mundur cukup jauh.

Reno ikut-ikutan membanting alat makannya, berdecih pada Hana. “Lo pengacau tau gak sih? Males banget liat lo balik lagi,” katanya kemudian meninggalkan Hana.

“Jangan nangis,” cicit Hana. “That’s what they want, so don’t cry.”

Apalagi yang kurang? Hana sudah mengecat rambutnya menjadi kepirangan, memakai riasan wajah, berpakaian seperti Hani, tapi kenapa begitu sulit mereka menerimanya bahkan setelah Hana dan Hani sudah sama persis? She tried her best, but still not enough.

Bi Lastri melihatnya dari dapur, tapi dilarang mendekat oleh Hani. Sejak dulu, Hana memang sudah diperlakukan lain. Namun bertambah buruk saat SMP, Hana bahkan harus meninggalkan rumah dan sekolah berkota-kota jauhnya dari Jakarta. Jika Bi Lastri tidak bekerja sedari Reno kecil, dia akan menganggap Hana anak angkat atau semacamnya, tapi faktanya Hana anak kandung keluarga ini.

Entah kesalahan fatal apa yang dilakukan anak sekecil Hana dulu.

“Woy, buruan! Gak usah sok dramatis, kita bisa telat kalau lo mentingin ego lo.” Owen hanya masuk untuk memperingatkan Hana, kembali keluar dengan langkah kakinya yang mengentak-entak kesal.

Hana segera menghapus kasar jejak air matanya di pipi, menghela napas panjang untuk memperbaiki suasana hatinya. Cobaan yang sebenarnya akan dimulai, di mana Hana sama sekali tidak sesuai dengan jurusan Hani.

Hope everything goes well

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status