Share

4. Still Bad

Author: Maanovpy
last update Last Updated: 2021-08-17 01:02:03

Ke mana perginya bintang di siang hari? Apakah tertutup dengan cahaya matahari yang begitu terang? Lalu ke mana perginya kebahagiaan yang pantas Hana dapatkan? Apakah mereka terkesima dengan Hani dan berbalik padanya?

What can be asked? Hana is an ordinary person when compared to Hani.

“Hush! Lagi-lagi mulai,” gerutu Hana menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tak baik menyalahkan takdir, tapi apa boleh buat? Hana tak ingin membenci dirinya sendiri yang bernasib sedemikian buruk.

Dia kembali meneguk minuman kaleng sambil menatap lurus ke depan, di antara rintik hujan tatapan dan pikirannya berkelana. Apakah benar ada akhir bahagia yang menunggunya di ujung garis finis? Kapan garis itu terlihat? Hana mulai lelah terjebak dalam kubangan putus asa.

Sebuah tangan mengagetkan Hana, tiba-tiba menepuk pundaknya. Gadis itu refleks menyentak tangan yang masih bertengger di bahu, mendelik pada si pelaku.

“Hana?”

Hana terkesiap, lalu menggeleng sambil membuang muka. “Gue Hani.”

Lelaki itu, yang juga Hana kenal, duduk di kursi minimarket di samping Hana. “Ayolah, kalau lo Hani, dia bakal nelepon Owen buat jemput, bukannya duduk tunggu hujan reda.”

What nonsense,” gerutu Hana. Dia merasa terjebak, tak mungkin menerobos hujan yang turun cukup deras. Duduk di samping Chiko juga pilihan yang buruk. Sial, kenapa dia bisa begitu mengenalnya?

“Tuh ‘kan? Hani gak pernah ngumpat, gak kayak lo,” kekeh Chiko mengeluarkan minuman dari kantong keresek putihnya, meminum beberapa tegukan lalu meletakkannya di samping minuman Hana.

“Iya, semua yang baik-baik itu punya Hani, yang buruk-buruknya punya gue.”

“Nah, kapan lo pulang?”

Hana mengedikkan bahunya. “Entah, seminggu yang lalu?”

“Selama itu dan lo gak nemuin gue? Gila.” Chiko geleng-geleng, melirik Hana yang sangat persis kembarannya. Kalau tidak mengingat hal-hal kecil tentang sahabatnya, Chiko tak akan berani menyapa. “Ada apa sama gaya punk lo? Memutuskan untuk meniru Hani dan jadi cewek?” candanya.

“Itu bukan punk dan ....” Ucapan Hana terhenti, menatap Chiko dengan tatapannya yang sulit diartikan. Lelaki itu tak tahu betapa ujung lidah Hana sudah siap menumpahkan segala keluh kesahnya, betapa Hana akhirnya senang merasa punya teman curhat.

Namun, apa Hana bisa memberitahunya, bahkan jika itu Chiko? Is that okay?

Alis Chiko terangkat sebelah. “Dan?”

“Janji gak akan kasih tau siapa-siapa?”

Depending how secret it is.”

Hana mengela napasnya panjang, mungkin ini yang terbaik untuk kelanjutan pura-puranya. “Jadi ... Hani sebenernya lagi liburan ke luar negeri, long enough. Ya gue di sini, pura-pura jadi dia selama dia berlibur.”

Ya, Hana memutuskan untuk berbohong. Chiko tak ada hubungannya dengan semua ini dan Hana tak mau Chiko membencinya kalau ikut berpikiran sama seperti orang-orang. Bukannya Hana tak percaya Chiko bisa jaga rahasia, tapi ini rahasia keluarga. Menyangkut kebobrokan keluarganya memperlakukan Hana.

What?! Otak lo harganya seberapa murah sih sampe mau-maunya jadi bego gini, hah?!” bentak Chiko. Wajahnya memerah saking marahnya.

“Apaan sih? Ya bagus dong, gue jadi bisa tinggal di sini, ‘kan?”

“Lo kalau mau tinggal di sini gak usah jadi Hani, rumah itu rumah lo juga, Lin. Lo gak perlu alasan untuk pulang.”

Hana tersenyum miris. Andai bisa semudah itu, mungkin hidup Hana akan terasa jauh lebih mudah. Jangankan rumah berbentuk bangunan, rumah berupa keluarga saja sudah sangat lama bisa Hana rasakan. Hatinya sudah membatu.

“Udah reda, lo mau pulang?” tanya Hana mengalihkan topik pembicaraan. Dia berdiri, membuang kaleng minumnya ke tong sampah. Gadis itu memang ke minimarket hanya untuk berteduh dari hujan sehabis jalan-jalan di sekitar kompleks, iseng beli minuman buat teman menunggu hujan.

Chiko berdecak. “Gue tau lo cewek kuat, tapi gak usah ngorbanin diri sendiri bisa gak sih? Gak gini buat nunjukin rasa sayang lo ke Hani.”

“Jangan anggap Hani sebagai cewek bad attitude, ya. Gue ngelakuin ini murni karena keinginan gue, jadi jangan pandang dia sebagai cewek yang buruk,” ujar Hana tegas, bergegas pergi meninggalkan Chiko sendirian di depan minimarket.

Hana mempercepat langkah kakinya saat merasa irama langkah seseorang berusaha menyusulnya di belakang. Sia-sia, Chiko yang suka latihan futsal bisa dengan mudah menyamakan langkahnya. “Oke oke, kayaknya lo lagi datang bulan, ya? Sensi amat,” katanya. “Jangan sungkan cerita, Lin. Kita udah jarang banget ketemu masa gak ada yang mau lo ceritain? Cowok lo kek.”

“Gue gak butuh curhat, Cok, gak sekarang. Nanti, ada saatnya gue bener-bener capek dan butuh banget sama lo.”

I’ll wait for that time.”

Gadis itu terkekeh. “Apa sih, cari cewek makanya.”

“Males, ujung-ujungnya pasti putus,” dengus Chiko.

“Ya udah, ngapain lo mepet-mepet gue?”

“Dih geer. Emangnya gue bakal tertarik sama cewek jadi-jadian kayak lo?”

“Dih, ya udah sana jauhan.”

Chiko menggerutu, “Kata siapa jadi orang ganteng enak? Yang ada diusir malah.”

“Jijik banget sumpah,” gelak Hana, pada akhirnya bisa tertawa lepas sejak kejadian itu. Untuk pertama kalinya, Hana merasa sekali lagi Chiko menyelamatkan kejenuhan hidupnya yang tak terasa titik bahagianya.

Chiko ikut tersenyum. “Nah, gitu dong. Serem tau kalo lo cemberut mulu, kalo Hani sih cantik.”

“Gue gampar lo ya!”

Maanovpy

Hayoo ngaku. Kalian pasti ada ngarepnya ‘kan ke si Chiko ini??

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raline : Marigold Love   9. Bantuan Reno

    Jam 4 sore Hana mondar-mandir di kamar, bergerak gelisah dengan ekor mata terus melirik jam dinding. Jarum panjang itu terus mendetik seolah mengejeknya yang tak bisa apa-apa. Meski terancam tak bisa pergi, Hana tetap bersiap untuk pergi kerja. Putus asa, tiba-tiba Hana dapat ide. Dia menyambar ponselnya, mencari nama Chiko di daftar kontak. [Halo.] “Chik, plis bilang lo ada di rumah.” [Kenapa emangnya?] “Aduhh, Chik, gue butuh banget bantuan lo.” [Iya, lo bilang dulu, ada apaan?] Gadis itu mengatur napasnya agar detak jantungnya ikut stabil. Terlalu gugup dan takut nantinya ditegur jika telat atau tidak bisa masuk kerja. “Jadi gue dihukum soal bogem kemarin, nah gue gak boleh keluar rumah. Plis, anterin gue kerja,” mohon Hana. [Lah, katanya gak boleh keluar rumah.] “I know, tapi masa baru kerja udah bolos sih? Plis, lo tunggu aja di deket rumah gue.” [Duh, gimana ya, Lin? Gue lagi gak di rumah. Ada acar

  • Raline : Marigold Love   8. Lil Fight

    Sesudah kelas selesai, Owen buru-buru ke ruang TBK kampus setelah salah satu temannya memberi tahu tentang Hana yang berulah sebagai Hani. Gadis itu dipanggil ke ruang bimbingan dan konseling karena membuat keributan. Entahlah, Owen tidak ada waktu mendengarnya dan langsung berlari ke gedung inti kampus. Di depan ruangan TBK, beberapa mahasiswa curi dengar ada yang sedang terjadi di dalam dan mengintip melalui kaca. Owen merangsek di antara kerumunan dan masuk ke dalam ruangan. Hana dan seorang gadis yang Owen kenal sebagai Rachel duduk di kursi yang berjauhan. Rachel mendelik tajam pada Hana yang membalasnya dengan tatapan santai. “Pak, ada apa ini?” tanya Owen pada Pak Ridwan, dosen konselor yang membawa keduanya ke ruang itu. Pak Ridwan menggeleng-geleng. “Tanya saja pacar kamu,” jawabnya sarat akan kelelahan. Kelihatan sudah lelah dengan keduaya. “Ada apa?” tanya Owen menggeram kecil. Saudari tunangannya itu sangat mengetes kesabarannya be

  • Raline : Marigold Love   7. Lil Care

    HARI pertama Hana bekerja part-time terhitung menyenangkan, apalagi pengalamannya bisa bertemu dengan banyak orang. Tidak ada hambatan baik dari pekerjaannya atau pelanggan kafe. Dulu dia juga pernah bekerja via online dan tak bertahan lama karena neneknya tahu dan melarangnya melanjutkan, fokus saja pada sekolahnya. Ya, saat itu umurnya masih muda untuk mulai bekerja. Sekarang? Selain umurnya yang sudah beranjak dewasa, perbedaannya adalah dia tidak tinggal lagi bersama neneknya. Hanya ada keluarganya yang tak akan peduli. Dia baru selesai sekitar jam setengah 8 malam, itu juga tidak membantu menutup kafe karena para seniornya menyuruhnya pulang saja, hitung-hitung keringanan hari pertama. Sampai di depan rumah diantar Chiko, jujur saja Hana rada deg-degan masuk ke rumah. Ini kali pertamanya pulang larut dan mungkin akan begitu setiap hari. Memantapkan tekad, Hana masuk ke rumah dengan muka temboknya yang datar. Shit, keluarganya sedang berkumpul di ruang ke

  • Raline : Marigold Love   6. Part-time

    [Mau ke mana lo?] Mau tak mau Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe, memastikan bahwa orang yang meneleponnya itu tak ada di sana. Agak menyesal sih membuka blokiran nomor Owen kalau tidak dipaksa lelaki itu. “Gue ada urusan sama Chiko,” balas Hana. Kini dia dan Chiko sudah ada di salah satu kafe daerah Tanjung Duren Utara. Hana disuruh menunggu sementara Chiko ke belakang bersama teman yang katanya bekerja di sini juga, membantu Hana mendapatkan pekerjaan atas nama sohib antar lelaki Chiko dengan entah siapa itu. [Apa yang gue bilang soal selalu sama gue?] Hana berdecak. “Gue pake topi, gue pake kemeja, dan gue pake masker. No one will realize that i’m your fucking girlfriend. Puas lo?” [Sialan lo! Berani lo ngomong kasar tentang Hani gue hajar lo.] “Cari aja orang yang peduli. Yang jelas itu bukan gue.” Selalu, setiap Owen menelepon pastilah Hana yang pertama kali memutuskan sambungannya. Habisnya lelaki itu punya

  • Raline : Marigold Love   5. More Bad Luck

    Hana terpaku menatap kertas di depannya, mendadak lemas dan tak percaya. Rasanya seperti dijatuhkan dari ketinggian dan membentur tanah hingga tulang-tulangnya remuk. Oke, terlalu hiperbola. Tapi Hana sungguhan tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Nilai E? C saja Hana tak pernah mendapatkannya. “Lin, tumben lo dapet E.” Hana tersentak, langsung membereskan semua buku-bukunya dan langsung pergi. Entahlah siapa tadi yang ngomong, yang jelas Hana sedang butuh menyendiri. Justru karena itu bukan nilainya Hana jadi kecewa pada dirinya sendiri. Ya ampun, mendengar kata orang tadi berarti Hani tidak sebodoh apa yang dibilang Chiko. Gadis itu berjalan tak tentu arah, lupa kalau dia harus ke mana-mana dengan Owen agar tak mengundang curiga. Akan tetapi, bersama lelaki itu hanya akan menambah buruk suasana hatinya. Entahlah mau ke mana di bawah terik matahari ini. Makin bingung dengan tujuannya, akhirnya Hana duduk di halte bis. Dia sudah berj

  • Raline : Marigold Love   4. Still Bad

    Ke mana perginya bintang di siang hari? Apakah tertutup dengan cahaya matahari yang begitu terang? Lalu ke mana perginya kebahagiaan yang pantas Hana dapatkan? Apakah mereka terkesima dengan Hani dan berbalik padanya? What can be asked? Hana is an ordinary person when compared to Hani. “Hush! Lagi-lagi mulai,” gerutu Hana menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tak baik menyalahkan takdir, tapi apa boleh buat? Hana tak ingin membenci dirinya sendiri yang bernasib sedemikian buruk. Dia kembali meneguk minuman kaleng sambil menatap lurus ke depan, di antara rintik hujan tatapan dan pikirannya berkelana. Apakah benar ada akhir bahagia yang menunggunya di ujung garis finis? Kapan garis itu terlihat? Hana mulai lelah terjebak dalam kubangan putus asa. Sebuah tangan mengagetkan Hana, tiba-tiba menepuk pundaknya. Gadis itu refleks menyentak tangan yang masih bertengger di bahu, mendelik pada si pelaku. “Hana?” Hana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status