Share

4. Still Bad

Ke mana perginya bintang di siang hari? Apakah tertutup dengan cahaya matahari yang begitu terang? Lalu ke mana perginya kebahagiaan yang pantas Hana dapatkan? Apakah mereka terkesima dengan Hani dan berbalik padanya?

What can be asked? Hana is an ordinary person when compared to Hani.

“Hush! Lagi-lagi mulai,” gerutu Hana menggelengkan kepala, mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tak baik menyalahkan takdir, tapi apa boleh buat? Hana tak ingin membenci dirinya sendiri yang bernasib sedemikian buruk.

Dia kembali meneguk minuman kaleng sambil menatap lurus ke depan, di antara rintik hujan tatapan dan pikirannya berkelana. Apakah benar ada akhir bahagia yang menunggunya di ujung garis finis? Kapan garis itu terlihat? Hana mulai lelah terjebak dalam kubangan putus asa.

Sebuah tangan mengagetkan Hana, tiba-tiba menepuk pundaknya. Gadis itu refleks menyentak tangan yang masih bertengger di bahu, mendelik pada si pelaku.

“Hana?”

Hana terkesiap, lalu menggeleng sambil membuang muka. “Gue Hani.”

Lelaki itu, yang juga Hana kenal, duduk di kursi minimarket di samping Hana. “Ayolah, kalau lo Hani, dia bakal nelepon Owen buat jemput, bukannya duduk tunggu hujan reda.”

What nonsense,” gerutu Hana. Dia merasa terjebak, tak mungkin menerobos hujan yang turun cukup deras. Duduk di samping Chiko juga pilihan yang buruk. Sial, kenapa dia bisa begitu mengenalnya?

“Tuh ‘kan? Hani gak pernah ngumpat, gak kayak lo,” kekeh Chiko mengeluarkan minuman dari kantong keresek putihnya, meminum beberapa tegukan lalu meletakkannya di samping minuman Hana.

“Iya, semua yang baik-baik itu punya Hani, yang buruk-buruknya punya gue.”

“Nah, kapan lo pulang?”

Hana mengedikkan bahunya. “Entah, seminggu yang lalu?”

“Selama itu dan lo gak nemuin gue? Gila.” Chiko geleng-geleng, melirik Hana yang sangat persis kembarannya. Kalau tidak mengingat hal-hal kecil tentang sahabatnya, Chiko tak akan berani menyapa. “Ada apa sama gaya punk lo? Memutuskan untuk meniru Hani dan jadi cewek?” candanya.

“Itu bukan punk dan ....” Ucapan Hana terhenti, menatap Chiko dengan tatapannya yang sulit diartikan. Lelaki itu tak tahu betapa ujung lidah Hana sudah siap menumpahkan segala keluh kesahnya, betapa Hana akhirnya senang merasa punya teman curhat.

Namun, apa Hana bisa memberitahunya, bahkan jika itu Chiko? Is that okay?

Alis Chiko terangkat sebelah. “Dan?”

“Janji gak akan kasih tau siapa-siapa?”

Depending how secret it is.”

Hana mengela napasnya panjang, mungkin ini yang terbaik untuk kelanjutan pura-puranya. “Jadi ... Hani sebenernya lagi liburan ke luar negeri, long enough. Ya gue di sini, pura-pura jadi dia selama dia berlibur.”

Ya, Hana memutuskan untuk berbohong. Chiko tak ada hubungannya dengan semua ini dan Hana tak mau Chiko membencinya kalau ikut berpikiran sama seperti orang-orang. Bukannya Hana tak percaya Chiko bisa jaga rahasia, tapi ini rahasia keluarga. Menyangkut kebobrokan keluarganya memperlakukan Hana.

What?! Otak lo harganya seberapa murah sih sampe mau-maunya jadi bego gini, hah?!” bentak Chiko. Wajahnya memerah saking marahnya.

“Apaan sih? Ya bagus dong, gue jadi bisa tinggal di sini, ‘kan?”

“Lo kalau mau tinggal di sini gak usah jadi Hani, rumah itu rumah lo juga, Lin. Lo gak perlu alasan untuk pulang.”

Hana tersenyum miris. Andai bisa semudah itu, mungkin hidup Hana akan terasa jauh lebih mudah. Jangankan rumah berbentuk bangunan, rumah berupa keluarga saja sudah sangat lama bisa Hana rasakan. Hatinya sudah membatu.

“Udah reda, lo mau pulang?” tanya Hana mengalihkan topik pembicaraan. Dia berdiri, membuang kaleng minumnya ke tong sampah. Gadis itu memang ke minimarket hanya untuk berteduh dari hujan sehabis jalan-jalan di sekitar kompleks, iseng beli minuman buat teman menunggu hujan.

Chiko berdecak. “Gue tau lo cewek kuat, tapi gak usah ngorbanin diri sendiri bisa gak sih? Gak gini buat nunjukin rasa sayang lo ke Hani.”

“Jangan anggap Hani sebagai cewek bad attitude, ya. Gue ngelakuin ini murni karena keinginan gue, jadi jangan pandang dia sebagai cewek yang buruk,” ujar Hana tegas, bergegas pergi meninggalkan Chiko sendirian di depan minimarket.

Hana mempercepat langkah kakinya saat merasa irama langkah seseorang berusaha menyusulnya di belakang. Sia-sia, Chiko yang suka latihan futsal bisa dengan mudah menyamakan langkahnya. “Oke oke, kayaknya lo lagi datang bulan, ya? Sensi amat,” katanya. “Jangan sungkan cerita, Lin. Kita udah jarang banget ketemu masa gak ada yang mau lo ceritain? Cowok lo kek.”

“Gue gak butuh curhat, Cok, gak sekarang. Nanti, ada saatnya gue bener-bener capek dan butuh banget sama lo.”

I’ll wait for that time.”

Gadis itu terkekeh. “Apa sih, cari cewek makanya.”

“Males, ujung-ujungnya pasti putus,” dengus Chiko.

“Ya udah, ngapain lo mepet-mepet gue?”

“Dih geer. Emangnya gue bakal tertarik sama cewek jadi-jadian kayak lo?”

“Dih, ya udah sana jauhan.”

Chiko menggerutu, “Kata siapa jadi orang ganteng enak? Yang ada diusir malah.”

“Jijik banget sumpah,” gelak Hana, pada akhirnya bisa tertawa lepas sejak kejadian itu. Untuk pertama kalinya, Hana merasa sekali lagi Chiko menyelamatkan kejenuhan hidupnya yang tak terasa titik bahagianya.

Chiko ikut tersenyum. “Nah, gitu dong. Serem tau kalo lo cemberut mulu, kalo Hani sih cantik.”

“Gue gampar lo ya!”

Maanovpy

Hayoo ngaku. Kalian pasti ada ngarepnya ‘kan ke si Chiko ini??

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status