Share

Raline : Marigold Love
Raline : Marigold Love
Penulis: Maanovpy

1. Hanya aku yang tahu

“Han, lo harus jelasin ke mereka yang sebenarnya terjadi,” lirih Hana. Dia ingin sekali mendampingi Hani di dalam sana, menguatkannya agar bertahan dalam masa koma. Namun, keluarganya melarang, bahkan Hana baru diberi izin menengok setelah dua hari Hani masuk rumah sakit.

Ada begitu banyak alat yang menunjang kehidupan Hani, ada banyak cairan yang diatur untuk memenuhi kebutuhan tubuh gadis itu agar tetap stabil. Hana sebagai saudara kembarnya merasakan sedih yang luar biasa. Dia adalah orang terakhir yang bertemu Hani sebelum koma.

Dan karena itu semua, keluarganya menyalahkan Hana sebagai penyebab Hani koma.

“Han, tega banget lo gue jauh-jauh ke sini malah tidur.”

Jika boleh, Hana juga ingin menangis. Akan tetapi, orang tuanya sedang rapuh. Kesedihan Hana tak akan ada apa-apanya dibandingkan kesedihan mereka.

Hana mendengar ketukan langkah kaki mendekatinya, tapi dia tak mau menoleh. Tahu kalau orang itu akan menyuruh Hana pergi, selalu begitu sejak tiga kali ke belakang. Hana makin lekat ke jendela pintu, berusaha merekam wajah pucat Hani sedetail mungkin.

“Tante Hani manggil lo,” kata orang yang mendekatinya. Seperti biasa, terdengar dingin dan ketus.

Gadis itu tak langsung merespons, masih terpaku di depan pintu. Apa pun yang akan dibicarakan Mamanya, dia yakin ini tak akan bagus. Mana tahu dia kembali dikirim ke kota yang lebih jauh dari kota kuliahnya.

Owen merotasikan bola matanya, muak dengan drama gadis itu. Dasar drama queen! Percuma, tak akan ada yang percaya dengan kepura-puraannya. Dia sendiri membenci setengah mati kembaran dari tunangannya yang menyebabkan semua ini. Kalau saja tak ada hukum, detik saat Owen mendapati Hani tenggelam sementara Hana mematung di jembatan danau, Owen akan menghabisi Hana detik itu juga.

“Gue pergi dulu, Lin,” bisik Hana sebelum berbalik, menunduk dalam dan mengusap kasar sudut matanya. Tak boleh ada yang melihat air matanya atau cercaan datang semakin deras.

Hana mengikuti Owen ke tempat orang tuanya menunggu—di kantin. Ekspresi wajahnya datar, bersiap menerima hantaman yang akan dia terima nantinya.

Di sudut meja, Mamanya dan Papanya sudah menanti dengan otot menegang karena emosi. Hana memang tak lebih dari anak pembuat masalah. Bahkan setelah dijauhkan dua kota jaraknya, dia tetap bisa mengacau.

“Duduk!” titah Hani tajam.

Hana duduk di depannya sementara Owen bersandar di dinding dekat mereka. Orang tua Owen sudah pergi setelah mendiskusikan hal ini, itu juga yang membuatnya semakin muak pada Hana.

“Ada apa?”

“Benar-benar tidak tahu malu. Kamu gak ada rasa bersalah sama saudari kamu sendiri?” tanya Farhan sinis pada anak bungsunya.

Hana mendesah lelah. “Kalian tetap gak percaya.”

“Lalu siapa lagi yang mencelakai Hani selain kamu? Kamu yang sejak dulu iri padanya.”

“Sudah, Pa. Ini masih di rumah sakit, nanti aja kita bicarain,” lerai Hani. Bukan berarti dia tidak marah pada Hana, tapi ini bukan saat yang tepat. Lagi pula sejak kemarin Hana sudah kena marah sepanjang hari.

“Aku harus masuk kuliah,” kata Hana basa-basi. Tidak berharap akan diizinkan atau dilarang, hanya memberi tahu mereka. Berharap mereka akan peduli.

“Kamu gak akan pulang ke sana.”

“Kenapa? Mama dan Papa belum puas marahin aku?”

“Kurang ajar,” desis Farhan nyaris saja mengangkat tangannya untuk menampar Hana. “Benar-benar tidak tahu etika.”

“Mama dan Papa, ‘kan yang bertanggung jawab atas etikaku? Sejak dulu, apa pernah aku diajari bagaimana etika yang baik?”

Owen mendengus. “Gara-gara iri dan kesel, lo lampiasan ke Hani.”

“Gua gak iri,” desis Hana mendelik tajam terhadap Owen. Matanya memerah jika diperhatikan, menahan kesal dan sakit hatinya. Terbiasa tak pernah membuatnya mewajarkan semua rasa sakit ini.

“Kita ke intinya saja,” kata Hani. “Kamu harus menggantikan Hani.”

“Apa?” beo Hana terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status