Share

6. Part-time

[Mau ke mana lo?]

Mau tak mau Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe, memastikan bahwa orang yang meneleponnya itu tak ada di sana. Agak menyesal sih membuka blokiran nomor Owen kalau tidak dipaksa lelaki itu. “Gue ada urusan sama Chiko,” balas Hana.

Kini dia dan Chiko sudah ada di salah satu kafe daerah Tanjung Duren Utara. Hana disuruh menunggu sementara Chiko ke belakang bersama teman yang katanya bekerja di sini juga, membantu Hana mendapatkan pekerjaan atas nama sohib antar lelaki Chiko dengan entah siapa itu.

[Apa yang gue bilang soal selalu sama gue?]

Hana berdecak. “Gue pake topi, gue pake kemeja, dan gue pake masker. No one will realize that i’m your fucking girlfriend. Puas lo?”

[Sialan lo! Berani lo ngomong kasar tentang Hani gue hajar lo.]

“Cari aja orang yang peduli. Yang jelas itu bukan gue.”

Selalu, setiap Owen menelepon pastilah Hana yang pertama kali memutuskan sambungannya. Habisnya lelaki itu punya segudang cara untuk membuat Hana ogah mendengar suaranya lebih lama. Bad habit-nya yang selalu mengungkit Hani terutama.

Chiko keluar dari ruangan di belakang kasir, berbincang sebentar dengan temannya sebelum kembali ke meja Hana. “Gimana, Cok?” tanya Hana.

Lelaki itu mengangguk. “Lo bisa kerja di sini. Shift sore jam 4 sampe jam 8 malem. Gajinya gak gede sih, tapi kalau kerja lo bagus bisa aja dapet bonus,” katanya meminum kopi yang dia pesan tadi. “Emangnya ngapain sih lo kerja?”

 “Gak papa. Pengen cari aktifitas aja. Di rumah juga bosen ternyata.”

“Kenapa? Gue kira lo bakal seneng banget bisa serumah sama keluarga lo lagi.”

Hana terkekeh pelan, bermaksud menertawakan ucapan Chiko. Ah, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri yang sempat berpikir demikian juga. “Well, expectation will never be same as a reality.”

Maanovpy

Menurut kalian, apa Raline bakal bisa beli motor berbekal gaji part-time?

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status