Hampir satu jam telah berlalu. Mira dan Si Kembar masih menunggu Anggi keluar dari ruangan yang ada di hadapan mereka. Ruangan berdaun pintu putih dengan gantungan nama bertuliskan "dr. Hardian, Sp.KJ". Itu kali kedua Anggi mengunjugi psikiater tersebut setelah tiga hari yang lalu. Pertemuan pertama dengan dokter tidak berlangsung lama. Tidak lebih dari dua puluh menit, Anggi sudah mulai enggan untuk berbicara.
Sambil menunggu Anggi keluar, Mira masih menggulir layar gawainya. Kasus penangkapan Edi mulai meluas di media beberapa hari terakhir. Pihak perusahaan yang telah mengontraknya membatalkan perjanjian kerjasama secara sepihak karena penangkapan dan terlibatnya Edi dalam kasus pelecehan. Mira sadar kasus itu juga memberikan dampak untuk kakaknya. Maher harus kehilangan kontrak kerja dan sahabat yang terpaksa mendekam di penjara. Selain itu ia juga harus menerima kenyataan bahwa perempuan yang ia suka telah dinodai sahabatnya sendiri.
"Aku tidak tahu harus berapa l
Airen berbaring. Ia memanjakan tubuhnya di atas tempat tidur—tapi tidak menutupkan mata. Ia tidak benar-benar istirahat. Matanya lekat melihat buku merah yang ada di sebelah wajahnya. Otaknya memikirkan tulisan yang tertera di cover buku itu. Tertulis dereten angka acak yang sama sekali ia belum mengerti. Bahkan ia sangsi apakah angka-angka itu benar-benar judul dari buku merah."231431512 623313936"Airen pun memutuskan untuk membuka lagi halaman terakhir yang telah ia baca. Pikirannya kembali mengingat Anggi. Ia mulai merasa bahwa gadis yang dimaksud buku itu adalah memang Anggi. Terlebih lagi setelah ia dan Airel mendapatkan kepastian dari Anggi mengenai peneroran.Airen pun membalik halaman itu. Seketika ia terlonjak dari tempat tidur. "Astaga! Apa ini?" ucapnya lirih setengah menutup mulut dengan tangannya. Manik matanya mendapati tulisan tangan bertinta merah dan bercak-bercak darah yang mengering di halaman i
Alfie melirik jam tangannya. Hampir dua puluh menit ia menunggu di kafe. Namun belum ada tanda-tanda kedatangan Yofi. Akhirnya ia memesan secangkir kopi lagi untuk menemaninya.Tiba-tiba dari arah belakang, Yofi muncul dan langsung duduk di hadapan Alfie."Maaf, aku terlambat," kata Yofi sambil merapikan kerah bajunya."Perempuan mana lagi yang kau kencani?" tuduh Alfie."Ah, janganlah seperti itu, kawan! Jangan menuduhku begitu.""Supaya aku tidak menuduhmu, seharusnya kau mengganti pakaianmu terlebih dahulu sebelum kemari. Karena bau parfum wanita itu masih melekat di bajumu."Yofi meringis. "Ah, hidungmu selalu bermasalah," ledek Yofi pada Alfie yang memang memiliki penciuman lebih sensitif.Alfie mengaduk kopinya yang baru saja diantar oleh pelayan."Kenapa kita harus bertemu di luar seperti ini?" ujar Yofi setengah berbisik.Alfie tersenyum. "Apakah aku barusan mendengar ketakutan dari seorang ahli menyamar?"
Dunia ini adalah panggung sandiwara. Setiap orang ingin mementaskan karya terbaiknya. Padahal semua itu hanyalah kebohongan-kebohongan yang dibuat untuk mendapatkan pujian dan tepuk tangan. Dalam dunia panggung ini, tak ada namanya aturan menghibur. Kau bisa menjadi siapa pun, melakukan apapun, sekalipun kau mempermainkan orang lain atas nama hiburan.Dunia sandiwara sangatlah kejam dan tak ada yang bisa dipercaya. Semua pemeran memakai topeng untuk melakukan penyamaran. Tahukah kau apa yang paling kubenci? Seorang penyamar yang mengambil peranku. Kau boleh menyamar dan memainkan seribu peran. Tetapi tidak untuk peranku. Karena aku adalah pemeran utama di panggung ini.Sayangnya, ada orang yang menirukan peranku itu. Ia terus bersandiwara dan memoles wajahnya lalu menggambar wajahku. Kau tahu apa akibatnya? Akan kuantarkan dia pada penyamaran sesungguhnya. 'Death is a great disguiser' alias kematian adalah
Gerimis kembali menyambangi kediaman Alfie. Sudah seminggu terakhir hujan kerap kali turun di pagi hari hingga menjelang siang. Wajar saja, saat itu sudah memasuki bulan penghujung tahun. Oleh karena itu, Alfie dan Si Kembar lebih memilih menghabiskan waktu di rumah saja. Sebenarnya Alfie tidaklah suka terus-terusan berada di rumah. Walaupun usia sudah memasuki senja, ia tetap saja sering keluar rumah sendirian meski hanya sekedar untuk berbelanja di minimarket atau minum kopi di kafe. Musim hujan kali ini sepertinya mampu menahan kebiasaannya itu.Pagi itu Airel menyiapkan beberapa potong roti bakar dan cokelat hangat untuk menemani sarapan mereka. Kemudian ia mengambil selai kacang dari dalam kulkas yang berada di sudut ruangan lalu mengolesi roti itu satu per satu."Ada kabar terbaru mengenai Edi," sela Airen datang menghampiri Airel.Airel menoleh sebentar. "Oh," respon Airel datar.Airen mengernyit. "Kau tak tertarik dengan perkembangannya?"
Inspektur Yoga merebahkan punggung di kursi kerjanya. Lelah matanya tak bisa ia tutupi. Beberapa waktu terakhir ia memang terpaksa harus lembur. Bahkan di atas meja kerjanya masih ada setumpuk berkas yang harus ia periksa. Baru saja matanya hendak terlelap, terpaksa harus tersadar karena mendengar suara ketukan pintu. Seorang pria berseragam pun masuk setelah diberi izin olehnya."Lapor, Pak!" Pria itu menberi hormat. "Saya baru saja mendapat kabar telah ditemukan mayat seorang laki-laki tanpa identitas di kawasan Taman Akcaya. Sementara ini mayat diduga adalah korban pembunuhan, Pak."Wajah Yoga berubah muram. Apalagi ini? kata Yoga dalam hati. "Pembunuhan?" tanya Yoga memastikan. "Bagaimana kalian bisa menyimpulkan secepat itu? Bahkan saya belum melihat keadaannya.""Berdasarkan keterangan pelapor, keadaan korban sangat mengenaskan, Pak. Kecil kemungkinan ini adalah kasus kecelakaan apalagi bunuh diri."Apakah separah itu? batinnya lag
Inspektur Yoga meminta pelayan rumahnya menyediakan minuman setelah membukakan pintu untuk Alfie dan Si Kembar. Mereka berjalan menghampiri Bripka Adi dan Aipda Hendri di ruang tamu yang telah datang lebih dulu."Siapa mereka?" bisik Bripka Adi pada Aipda Hendri.Aipda Hendri hanya mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya."Maaf, Pak Alfie! Saya harus meminta kalian datang langsung ke rumah saya. Di luar sana hujan turun lagi. Jadi saya rasa lebih baik kita membicarakannya di sini saja," ujar Yoga merasa sedikit bersalah.Alfie tersenyum semringah. "Itu bukan sebuah kesalahan, Yoga," balas Alfie seraya menepuk pelan pundak Yoga. "Aku yang harusnya meminta maaf karena akan merepotkanmu."Inspektur Yoga tertawa renyah mendengar pernyataan Alfie. Ia pun langsung mengenalkan Alfie dan Si Kembar kepada Bripka Adi dan Aipda Hendri. Mereka pun saling bersalaman dan menyebutkan nama satu sama lain."Bripka Adi, Aipda Hendri. Inilah Airen dan Aire
Seisi ruangan luas itu pekat akan aroma disinfektan2. Lima meja bedah beserta peralatan lengkap ada di ruangan itu. Di sisi lain dinding ruangan yang bercat putih itu, terdapat pintu-pintu yang mengarah ke ruangan lain. Terdapat nama di setiap pintu, salah satunya Cold Storage.Itu kali pertama Airel masuk ke ruangan bedah. Jauh dari bayangannya, ternyata ruangan operasi forensik tidak seseram kedengarannya. Seperti biasa, ia selalu mengamati keadaan sekitar seperti mempelajari apa yang mampu ditangkap oleh matanya."Tolong letakkan jenazahnya di sini!" ujar seorang pria berperawakan tajam yang berdiri di dekat salah satu meja bedah.Seorang pria berkulit terang dan dibantu Bripka Adi menuruti perintahnya. Mereka meletakkan kantong berwarna oranye di atas meja bedah yang telah ditentukan."Hey, apa kau hanya akan berdiam di situ saja?" tanya pria berperawakan tajam itu pada Airel.Airel menoleh ke pria itu dan menaikkan
"Sepertinya kau begitu menguasai mengenai anatomi tubuh manusia. Walaupun masih muda, tapi kau terlihat sangat ahli dalam hal itu Bagaimana kau mempelajarinya?" tanya Bripka Adi sembari melepas baju operasi yang masih dikenakannya."Aku hanya belajar dari membaca dan menonton saja."Bripka Adi mengernyitkan dahi tak percaya. Ia sangat yakin mana mungkin tanpa praktik langsung, seseorang bisa menguasai sebuah ilmu dengan mudahnya. Apa mungkin Airel adalah pengecualiannya? Atau ada jawaban lain yaitu Airel sedang menutupinya saja."Langsung ke ruangan Inspektur Yoga?" tanya Airel.Bripka Adi mengangguk sebagai jawaban. Lalu mereka pun berjalan beriringan menyusuri koridor menuju ruangan Inspektur Yoga. Ruang operasi forensik sendiri memang masih satu kawasan dengan kantor kepolisian, hanya terpisah gedung namun tidak terlalu jauh."Kenapa Inspektur Yoga tidak ikut melihat secara langsung proses autopsi?" tanya Airel lagi sembari menyibak rambutnya.