Share

Tuan Pieter Si Muka dingin

sampai hari ini Joane tak habis pikir dengan Tuan Pieter, pemilik rumah besar yang sekarang Ia tinggali. Ia tak pernah keluar rumah, setiap pagi Ia akan berangkat ke Kantor, dan sorenya sekitar jam empat sudah kembali lagi ke rumah. Setelah itu, Ia tak pernah keluar lagi dari lantai atas. Masalah makanan pun cukup diantarkan saja ke lantai atas dan di taruh di meja yang ada di depan kamarnya.

"Nek Tuan Pieter itu sebenarnya Siapa sih?" tanya Joane suatu ketika pada Nek Ishaq yang telah lama tinggal di rumah itu.

"Nanti Kau juga akan tahu. Yang penting, jangan sampai Kau membuatnya murka dengan segala kecerobohanmu." hanya itu jawaban yang Ia dengar dari nenek tua itu.

"Dan di rumah sebesar ini hanya ada Kita bertiga saja ya Nek."

"Iya, Karena Tuan Pieter memang tidak suka kalo terlalu banyak orang. Berisik katanya." Joane semakin tidak mengerti dengan sikap dari Tuan Pieter. Bahkan sekalipun Ia tak pernah melihatnya tersenyum. Mukanya sangat kaku dan sikapnya juga sangat dingin. Tak pernah mau dekat dengan orang lain.

"Sudah, jangan banyak berpikir. Cepat antarkan makanan ini ke atas. Jangan sampai Kau terlambat menghidangkannya." Joane tersentak kala menyadari ternyata ini adalah waktu untuknya mengantarkan makanan untuk Tuan Pieter ke atas.

"Mana Nek, Aku antarkan sekarang. Aku sepertinya sudah terlambat. Keasyikan ngobrol sih." Joane buru-buru menyambar nampan yang sudah disiapkan oleh Nek Ishaq di atas meja. Ia bergegas naik menuju ke lantai atas.

"Tuan, makan malam sudah siap." Joane berkata di depan pintu kamar Tuan Pieter setelah menaruh nampan di atas meja seperti biasanya.

Bahkan hanya sekedar ucapan terima kasih dan kata iya pun, Joane tak mendengarnya. Sepi, tak ada jawaban apapun dari dalam kamar. Maka, Ia pun memutuskan untuk segera turun ke bawah untuk menemui Nek Ishaq.

"Hey, Kau gadis nakal, tunggu sebentar!. suara baritonnya menggetkan Joane yang hendak menuruni tangga.

"Iya Tuan,......" Joane berbalik dan dengan perasaan takut dan was-was mendekati Si Muka dingin itu.

"Kenapa terlambat?" tanya Tuan Pieter dengan berat.

"Maaf Tu an, Saya lupa." jawab Joane dengan suara tergagap.

"Masuk ke sana, bersihkan dan rapikan kamarku. Cepat!" dengan nada memerintah, Tuan Pieter menunjuk ke dalam kamarnya. Joane hanya mengangguk, dan langsung melaksanakan perintahnya. Ia mengambil sapu dan alat pel yang ada di sudut rak besar, dan melangkah memasuki kamar Tuan Pieter. Perlahan Ia mendorong pintunya.

Sejenak Joane mengedarkan pandangannya ke setiap penjuru kamar, dan merasa terkagum dengan suasana yang ada di dalam kamar itu. Sungguh besar kamar Tuan Pieter, dan semuanya tertata dengan rapi. Hanya saja, semua interior yang ada di dalamnya berwarna gelap, dominan hitam. Di sebelah lemari besar yang nampak kokoh, Joane melihat ada sebuah pintu. Entah pintu ruangan apa.

"Ehem, kenapa bengong? ayo cepat bersihkan kamarku dan segeralah keluar dari sini!" suara bariton itu tepat di belakang Joane dan hampir membuat jantungnya copot.

"Iya Tu an, maaf," ucap Joane dan langsung menyapu lantainya terlebih dahulu. Kemudian Ia baru menyiapkan air untuk mengepel lantainya. Lagi-lagi Joane di buat tertegun ketika memasuki kamar mandi untuk mengisi air dikran. Kamar mandinya juga sangat luas dan mewah. Namun, Ia buru-buru keluar dan mengerjakan tugasnya lagi.

Perlu waktu hampir setengah jam untuk mengepel semua lantai di kamar itu. Keringat Joane sampai bercucuran.

'Huuuft, melelahkan juga membersihkan kamar ini', gumam Joane lirih.

"Kalo sudah selesai, cepatlah keluar!" lagi-lagi suara itu menggelegar dan mengagetkannya.

"Iya Tuan, sudah sekesai. Saya permisi mau turun ke bawah." Joaane membawa sapu dan alat pel nya ke bawah dulu, kemudian naik ke atas lagi membersihkan peralatan makan dengan nampan.

"Addduuhh Nek, Aku lelah sekali," Joane mengeluh dan menghempaskan pantatnya di sebelah Nek Ishaq.

"Istirahatlah sebentar, dan makan dulu. Baru nanti kau lanjutkan tugasmu lagi." ucap Nek Ishaq sambil mengulurkan segelas air minum.

"Iya Nek, terima kasih," balas Joane yang langsung menenggak habis minumannya.

"Nek, boleh Aku bertanya sesuatu?" Joane berpaling pada Nenek tua yang ada di sampingnya.

"Tanya apa?"

"Apakah Tuan Pieter itu tidak punya keluarga lain? Maksudku, apakah Dia.....," belum selesai Joane melanjutkan kalimatnya, Nek Ishaq sudah berdiri dan hendak meninggalkannya.

"Neeekk, tunggu...." Joane mengejar langkah Nek Ishaq.

"Jangan banyak bertanya, kerjakan saja semua tugasmu di rumah ini," jawabnya dengan rasa tak suka. Akhirnya, Joane mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi.

'Dasar orang-orang aneh," gumam Joane dan duduk kembali di kursi meja makan. Ia melanjutkan makannya sampai habis, dan bersiap mengerjakan tugasnya lagi.

Kini giliran ruang depan yang belum dibersihkan.

Seingat Joane, semua ruang yang ada di rumah ini tak ada satupun foto yang terpajang di dinding. Hal itulah yang menurutnya sangat aneh. Sikap Tuan Pieter juga sangat kaku, tak pernah mau berbincang dengan orang lain. Nek Ishaq juga Kadang-kadang bersikap aneh, kadang ramah kadang juga berubah menjadi galak.

Sambil tetap menyapu, Joane terus memikirkan segala keanehan yang ada di rumah itu. Namun tiba-tiba saja Ia teringat dengan keluarganya, yang telah Ia tinggalkan. Entah bagaimana kini kabar keluarganya. Sebenarnya Ia sangat rindu dengan semua kehangatan Mama dan Papanya. Juga Sang Kakak yang selalu menyayanginya.

Hanya saja, sebuah pernikahan yang tidak di inginkan itu yang membuatnya harus meninggalkan Mereka semua.

Dan di sinilah ia sekarang. Di sebuah rumah yang sangat besar dan mewah, tapi sangat dingin. Tanpa canda dan kehangatan sebuah keluarga.

"Joane, Kau dipanggil Tuan Pieter ke lantai atas."

sebuah tepukan dipundaknya membuat Joane agak berjingkat dan menoleh ke belakangnya.

"Tu an memanggil Saya lagi Nek, untuk apa ya?" Nek Ishaq hanya mengedikkan bahunya tak menjawab lagi.

"Cepatlah ke atas dan temui Tuan, sebelum Tuan murka lagi," ucapnya mengingatkan Joane.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status