Share

Makam Siapa?

Dengan perasaan yang penuh dengan tanda tanya, akhirnya Joane menaiki tangga menuju lantai tiga, tempat yang paling Ia takuti. Karena di sana merupakan tempat kediaman si Tuan dingin, yang tak pernah mau tersenyum. Bahkan bicara saja sangat sedikit, hanya yang penting-penting saja.

Ketika sampai di lantai atas, Joane celingukan, dan akhirnya Ia bisa menemukan sosok dingin yang sedang duduk memegang tablet ditangannya, di sudut ruangan. Jika tidak teliti, maka posisinya tidak akan bisa dilihat. Apalagi semua cat dan interior yang ada di sana berwarna gelap.

'Manusia macam apa yang bisa hidup di tempat seperti ini,' gumam Joane dalam hatinya.

"Kemarilah, kenapa hanya berdiri di situ?" heran juga Joane dengan sikap Tuan Pieter itu. Padahal Ia belum menatap ke arahnya sama sekali, tapi sudah tahu tentang kedatangannya. Maka, Joane pun melangkah mendekati Tuan Pieter dan setelah jaraknya hanya sepuluh langkah lagi, Joane berhenti dan duduk bersimpuh layaknya pelayan di hadapan Sang Raja.

"Maaf Tuan, apakah Saya melakukan kesalahan lagi, sehingga Tuan memanggil Saya kemari."

"Heemmtt,....tidak." jawab Tuan Pieter singkat.

"Lalu, untuk apa Tuan?" tanya Joane lagi.

"Arrghh Kau ini, cerewet sekali. Diamlah dulu, Biar Aku selesaikan pekerjaanku."Joane diam, tak berani berkata lagi. Tak ada pilihan lain, kecuali menunggu sampai Tuan Pieter menyelesaikan sesuatu dengan tabletnya.

Hampir setengah jam Joane duduk bersimpuh di lantai menunggu Tuannya. Namun, perkataan yang ditunggunya belum terucapkan juga dari mulut Pria dingin dan kaku yang ada di depannya. Matanya masih serius menatap tablet yang dipegangnya dengan tangan yang masih aktif dilayar itu. Entah apa yang sedang dikerjakannya. Joane sampai lelah dan merasa sangat mengantuk.

Karena tidak dapat menahannya, tanpa sadar Ia merasakan tubuhnya sangat ringan seperti kapas dan terhempas di suatu tempat yang sangat indah dan nyaman. Di sana, Joane seperti melihat Ayah dan Ibunnya melambaikan tangan ke arahnya. Ia merasa senang sekali melihat Mereka, karena memang Dia sudah rindu sekali sebenarnya dengan kedua orang tuanya.

Saat Ia sudah semakin dekat dengan Mama dan Papanya, sekonyong-konyong muncullah sosok tinggi besar yang menyeringai di belakang Mereka. Sosok itu seperti hendak mencengkeram kedua orang tuanya dengan kuku-kukunya yang sangat tajam.

"Aaaaahhhh,......Ayaaaah,....Ibuuuuuu, awaaaass, ada monster dibelakang Kaliaaann,"

dengan teriakan keras Joane memberi peringatan pada Mereka.

Tapi tiba-tiba saja Ia merasakan pipinya sangat sakit seperti ditarik sesuatu. Ia pun langsung membuka matanya dan sangat terkejut. Joane mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Ya Tuhan, kenapa Aku di kamar Tuan Pieter?" gegas Joane turun dari ranjang yang sangat empuk itu. Ia melangkah hendak keluar dari kamar.

"Auuwwwww," teriaknya sambil mengelus jidatnya karena menabrak sesuatu yang keras. Saat mendongakkan kepala, Si muka dingin dengan wajahnya yang kaku berdiri di depannya dengan sorot mata tajam.

"Ma maaf Tuan," hanya itu yang terucap dari mulutnya.

"Dasar pemalas! cepat keluar dari kamarku!" hardik Tuan Pieter dengan suara yang menyeramkan. Tanpa membuang waktu, karena memang rak ingin berlama-lama di sana, Joane menuruni anak tangga dan mencari Nek Ishaq.

"Ya ampuuuun, kenapa berlarian ke sana kemari Jo. Apa yang sedang Kau lakukan, heh!" Nek Ishaq menarik tangan Joane.

"Nenek.....Aku sedang mencarimu." ucapnya dengan nafas terengah.

"Mencariku, memangnya ada apa?" Nek Ishaq menggandeng tangannya dan mengajaknya duduk di kursi dapur.

"Kenapa Kau seperti orang yang ketakutan begitu?"

"Ti tidak Nek"

"Tidak apanya, lalu kenapa wajahmu pucat dan berlarian mencariku?"

"Aku takut karena Tuan Pieter. A Ak ku tad telahi tidur di ranjangnya Nek." dengan terbata-bata Joane mulai bercerita kejadian di lantai atas tadi.

"Hah, tidur? di ranjang Tuan Pieter! berani sekali Kau Jo!"

"Adduuh Nek, Aku tidak,.....maksudku, bukan Aku,...aahhh gimana ceritanya ya. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi, karena saat Aku bangun tiba-tiba sudah ada di ranjang Tuan Pieter kok."

"Tidak mungkin Tuan Pieter yang membawamu ke ranjangnya kan? Dia bukan tipe orang yang bisa membawa orang lain dengan seenaknya, apa lagi sampai tidur diranjangnya." Nek Ishaq tak percaya dengan cerita dari mulut Joane.

Joane cuma duduk terpekur, memikirkan kejadian barusan. Di satu sisi, Ia membenarkan ucapan Bi Ishaq. Tapi di sisi lain, memang Dia mengalaminya sendiri dan bukan sekedar mimpi.

Semua yang dialaminya membuat Joane bingung. Tuan Pieter, Bi Ishaq semuanya seperri menyimpan sebuah misteri. Tetiba Ia jadi ingat dengan keluarga yang telah ditinggalkannya.

Rindu, itu sudah pasti. Kehangatan keluarga adalah hal yang paling dirindukannya. Sampai sekarang, Ia tak habis pikir mengapa Ayahnya sangat ingin menikahkannya dengan pria asing yang tak pernah dikenalnya.. Tiba-tiba Joane tersentak saat pundaknya terasa ditepuk oleh seseorang.

"Nenek, mengagetkan saja." ternyata Nek Ishaq sudah kembali berdiri di belakangnya.

"Ayo Kita ke halaman belakang. Bantu Aku membersihkannya. Sepertinya rumput liarnya sudah tumbuh subur." tanpa menjawab sepatah katapun, Joane mengikuti langkah Nenek tua itu ke bagian belakang rumah besar.

"Jo, ambil sarung tangan itu. Kita akan menggunakannya untuk mencabuti rumput-rumput ini." gadis manis itu pun menurut, dan mengambil dua pasang sarung tangan yang tergantung di dinding.

"Ini Nek, buat Aku satu, Nenek satu. Ayo Kita mulai mencabutinya." ucap Joane dengan bersemangat.

"Jo, cobalah Kau cabuti rumput yang rimbun di pojok itu. Yang di sini biar jadi urusanku."

"Oke Nek" Joane melangkah ke pojok yang ditunjukkan oleh Nek Ishaq. Rumput yang ada di sana memang terlihat lebih rimbun dan rapat. Namun, baru setengah ia mencabuti rumputnya, Joane nampak kaget, saat tangannya menyentuh sesuatu yang keras. Penasaran, Ia pun menyibak rerumputan yang ada di depannya.

"'Oh My God, i....ini.....ma....kam, si a pa?!. Joane gegas berlari ke arah Nek Ishaq dan terduduk lemas di samping nenek tua itu. Nafasnya memburu dengan wajah pucat. Nek Ishaq yang melihatnya, hanya tertawa terkikik.

"Kenapa ketakutan seperti itu? memangnya Kau tidak pernah melihat makam, heh?"

"Jadi, Nenek tahu kalo di situ ada makam, dan sengaja menyuruhku untuk membersihkannya?"

Nenek tua itu mengangguk, tapi tetap santai dan melanjutkan pekerjaannya mencabuti rumput liarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status