Share

ANAK PELUNAS HUTANG!

ANAK PELUNAS HUTANG

"Aku pulang," sapa Davina sepulang kerja.

"Masuklah!" perintah seorang wanita sambil membuka pintu.

Davina pun masuk ke dalam rumah tanpa rasa curiga sedikit pun. Namun, baru beberapa langkah dia sudah disambut oleh sang ibu yang melotot tajam ke arahnya.

"kau dari mana saja? Mulai berani ya kau tidak pulang semalaman. Apakah kau terlahir dengan bakat menggoda pria sekarang? Mau jadi wanita murahan? Jalang? Setelah Ayahmu mati lalu berpikir kau bisa tak pulang dengan semaumu!" bentak wanita itu.

"Ma- maafkan aku, Bu. Maaf, aku semalam lembur sampai larut malam," jawab Davina.

"Lembur? Hahaha. Alasan konyol! Lalu dari mana kau mendapatkan pakaian itu? Aku masih sangat ingat ketika kau keluar rumah pakaianmu adalah setelan blazer kerja, bukan kemeja dengan rok pendek seperti ini! Apakah kau ingin berbelanja dengan semua uang gajimu itu? Berfoya-foya tanpa memikirkan menebus sertifikat rumah ini! Anak durhaka," hardik wanita yang di panggil Ibu oleh Davina.

"Maaf Bu, Maaf," ujar Davina sambil berjalan ke arah kamarnya.

"Oh kau mulai berani bersikap semaumu ya! Baik, rasanya memang aku harus bersikap semauku juga. Aku menjualnya rumah ini saja untuk melunasi semua hutang Ayahmu!" ancam Ibu Davina.

Ucapan ibunya membuat Davina menoleh dan menatap nanar ke arah wanita yang dipanggilnya ibu itu, tetapi dia tak pernah merasakan kasih sayang dan sentuhan hangat seorang ibu darinya.

"Tidak, Bu. Aku tidak mau rumah ini dijual! Ini adalah kenangan dari Ayah! Bagaimanapun dan apapun yang terjadi aku tak akan mau dan tak rela jika Ibu menjualnya," protes Davina.

"Berani dan lancang mulutmu meneriaki Ibumu seperti itu? Jika memang kau tak ingin rumah ini dijual pikirkan bagaimana cara melunasi hutang itu! Jika tidak ibu akan menjualnya dan kita bisa pindah ke rumah yang lebih kecil," ancamnya.

"Berapa jumlah uang hutang Ayah? Hanya kurang lima puluh juta kan? Aku akan mencarikannya. Tak perlu sampai menjual rumah ini," ucap Davina.

"Dua ratus juta," tegas Ibu Davina.

"Siapkan uangnya dalam tiga hari! Jika tidak aku akan nekat menjualnya rumah ini!" kata ibu Davina langsung pergi.

"Dua ratus jut? Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?" batin Davina.

Dia berjalan ke kamar lalu melihat foto bersama sang ayah, karena selama ini hanya ayahnya lah yang menyayanginya. Davina memutuskan segera masuk ke dalam kamar mandi, selama ini hanya kamar mandi lah saksi bisu tangisnya. Saat melepas bajunya, dia memandangi tubuhnya yang penuh dengan cupang hasil kegilaannya semalam. Itu adalah pertama kalinya Davina mabuk dan kehilangan kendali, dia tak menyangka jika harus terjebak bersama presiden direkturnya.

"Bodoh Davina! Bodoh! Bodoh! Bodoh sekali," ucap Davina terus memukuli kepalanya sendiri.

Davina menangis jijik pada dirinya sendiri, sekarang dia tak punya apa-apa lagi selain rasa hina setelah ditinggal ayahnya dan harga dirinya pun juga sudah tak ada. Apa yang bisa dia banggakan sekarang? Tak ada. Dia ternoda, namun dia juga tak berani mengatakan ini semua dan meminta pertanggungjawaban pada presiden direkturnya. Hanya diam pasrah dan mengalah itulah Davina selama ini.

"Tuan Lukas," gumam Davina.

Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk berhutang kepada perusahaan dan mengatakannya langsung kepada Presiden direkturnya mengingat selama ini dia sudah bekerja dengan sangat baik dan tak pernah melakukan kesalahan fatal. Apalagi nominal yang cukup besar.

"Rasanya Tuan Lukas cukup bijak untuk hal ini. Semoga saja dia memberiku uang itu," batin Davina dengan seulas senyum penuh harap.

*****

Keesokan harinya Devina berangkat ke kantor masih dengan mengenakan hem lengan panjangnya. Dia bertemu dengan Leo di koridor, personal asisten Lukas.

"Perasaan ini masih musim panas. Mengapa kau menggunakan pakaian seperti itu? Apa kau tidak gerah?" tanya Leo.

"Tidak aku lebih nyaman begini," jawab Davina singkat.

"Davina bukankah semalaman kau yang mengikuti presiden direktur untuk acara pembukaan Mega mall itu?" tanya Leo mulai ke arah pembicaraan serius. Davina pun menganggukkan kepalanya.

"Apakah kau sudah mendengar rumor yang terjadi?" selidiknya. Wanita itu pun tersentak dan memandang wajah Leo, dia dengan cepat menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Aku tidak tahu apapun," tegas Davina.

"Ah, sayang sekali. Asal kau tahu presiden direktur sedang mencari wanita yang menghabiskan malam itu bersamanya! Presiden direktur kita di-per-ko-sa!" bisik Leo.

"Hah? Diperkosa?" pekik Davina.

"Stttt! Jangan keras- keras!" sahut Leo menutup mulut Davina.

"Sial bagaimana aku bisa memperkosanya? Aku bahkan tak sadar jika melakukan dengannya. Mengapa Tuan Lukas mengatakan aku memperkosanya," gerutu Davina dalam hati.

"Ya, ini hanya rahasia kita berdua. Dia seolah-olah menghilang setelah memperkosa presiden direktur, tapi bodohnya meninggalkan satu buah sepatu di kamarnya," bisik Leo.

"Lalu apa yang presiden direktur lakukan?" tanya Davina penasaran.

"Aku sudah mengecek seluruh bagian CCTV hotel tetapi tidak ada gerakan yang mencurigakan hanya ada dirimu yang masuk ke dalam ruangan hotel miliknya. Apakah itu..."

"Apa kau menuduhku sebagai wanita yang memperkosa direktur?" kata Davina panik dan menatap wajah Leo.

"Hahaha itu konyol sekali! Rasanya tidak mungkin bukan? Bagaimana Davina yang polos ini bisa melakukan hal itu. Apalagi sepatu itu berwarna merah menyala, bukan dirimu sekali. Sayangnya CCTV itu belum begitu canggih, jadi tak bisa mendeteksi warna. Hanya gambaran Hitam putih saja," ujar Leo.

"Syukurlah kalau begitu," ujar Davina lirih.

"Apa yang kau katakan Devina?" selidik Leo.

"Ah tidak! Aku tidak mengatakan apapun, mari kita segera ke atas.Presiden direktur akan ada meeting pagi ini, dia akan marah jika kita tidak tepat waktu dan terlambat hanya satu menit sajam" kata Davina mengalihkan pembicaraan.

Mereka sama-sama bekerja melayani Tuan Lukas. Tepat setelah jam makan siang dan memberi kudapan, Davina menghela napas panjang. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi dan beberapa potong bakery dari salah satu hotel bintang lima, khusus untuk Tuan presiden direkturnya. Davina mengetuk pintu.

"Masuk!" perintah Leo.

"Permisi Tuan," kata Davina.

Lukas menganggukkan kepalanya. Davina meletakkan semua itu di meja sofa, Lukas berjalan ke arahnya. Davina melirik sekilas ke arah meja kerja Lukas dan ternyata sepatu itu masih ada di sana.

"Sampai kapan dia akan terobsesi dan berambisi untuk mencari wanita dengan sepatu itu. Hal ini membuatku menjadi tidak nyaman. Tuhan tolong selamatkan aku kali ini saja," batin Davina.

"Kenapa kau berdiri di sana?" tanya Lukas melihat Davina yang berdiri mematung sambil memandangi sepatu itu.

"Tidak Tuan," kata Davina.

"Lalu kenapa kau tidak segera pergi?"

'Glek' Davina meneguk ludahnya dengan kasar. Dia ingin mengatakan masalah uang namun dengan tatapan Lukas di keder juga.

"Em... Ma- Maaf Tuan, sa- saya ingin cash bon uang gaji saya," kata Davina sambil tergagap.

"Oh! Bilang saja pada bagian keuangan," perintah Lukas sambil menyeruput kopinya.

"Ta- tapi jumlah uangnya dua ratus juta."

APA REAKSI LUKAS?

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status