Hai jangan lupa vote yah
Denting hak tinggi Elena bergema saat ia mundur perlahan ke dinding marmer, napasnya memburu menahan gugup. Damian berdiri terpaku di hadapannya dengan mata merah yang setengah sayu, aroma alkohol pekat memenuhi indra penciumannya. “Tuan…” Elena berbisik, nyaris tidak terdengar, “Anda mabuk.”Elena berusaha mendorong dada bidang pria itu namun tenaganya tidak bisa mengimbangi pria berbada besar itu.Sementar Damian tidak menggubris, hanya menatap Elena dengan intimidasi. "Elena kau benar-benar wanita nakal!" gumamnya, nadanya berat dan serak. Elena mengernyit, menatapnya tanpa gentar meski jantungnya berdetak cepat.Elena tahu Damian sedak mabuk saat ini dan bisa mengatakan apapun yang ada di pikirannya tetapi kenapa rasanya dia ingin tertawa?Tidak pernah ia bayangkan dalam hidupnya, dia akan melihat Damian versi mabuk seperti ini. Jika Elena jahil dan memilih merekam momen ini, Damian pasti akan sangat murka, mengingat ego
Acara Fashion Week resmi ditutup dengan gemerlap sorotan dan tepuk tangan panjang. Kemudian acara mewah itu masih belum usai karena ada acara makan malam special setelahnya dan Elena tentu juga harus ikut serta.Lantai gala dinner penuh oleh undangan elite—gaun elegan, gelas anggur, dan gelak tawa lembut mengisi ruangan. Elena duduk di samping Elion di meja kehormatan, posisi yang seharusnya memang diperuntukkan untuk Elion tetapi karena Elena ramunya jadi dia juga ikut duduk disana.Elena merasa ini seperti sebuah mimpi karena bisa menghadiri acara terbesar di negerinya. Terkadang Elena tidak pernah menyangka hidup akan memberikannya kesempatan kedua setelah selama ini dia terjebak dalam mimpi buruk saat tinggal bersama papanya.“Elena, bagaimana? Apa kau suka acaranya? Aku harap itu tidak membuatmu bosan,” ucap Elion yang duduk disampingnya, menatapnya dalam-dalam.Elena tersenyum sembari menggeleng cepat. “Bosan? Mana mungkin tuan, ini….ini benar benar mimpi yang menjadi kenyataan,
Elena berdiri di depan meja rias, detak jantungnya berdegup kencang. Gaun merah tua satin membelai lekuk tubuhnya, membuat Elena terlihat begitu menawan. Wajah polos yang biasa ia sembunyikan kini terlihat bak model papan atas—setelah dirias oleh the makeup artist—dan Elena menatap dirinya sendiri dengan detak kagum sekaligus gugup.Saking bagusnya hasil make up dari wanita itu Elena hampir tidak bisa mengenali dirinya sendiri.“Cantik sekali, nona,” kata sang perias lembut. “Garisan pipi dan alismu seperti dirancang untuk lampu sorot.” Elena mengangguk pelan, menahan napasnya di dada.Bisa bekerja di mansion Falcone memang keberuntungan yang tidak bisa Elena ekspresikan. Selain bisa kabur dari rumahnya yang bak neraka itu, Elena juga bisa mendapatkan begitu banyak kesempatan dan berpikir ternyata dunia luar sangat luas.Walau awalnya menelan pil pahit bersama Damian tetapi kini Elena menikmati hidupnya.Jam tangan di tangan kiri memantulkan lampu, menunjukkan waktu hampir tiba. Elena
Elena duduk di depan meja riasnya dengan tatapan kosong.Rambutnya masih basah ketika angin malam menerobos masuk dari jendela yang terbuka. Suara pengering rambut mengisi kamar kecil itu, bergantian dengan detak jantung Elena yang tak kunjung tenang.Ia duduk di depan cermin sudah cukup lama dengan piyama satin warna krem pucat, kulitnya yang putih bersih dan punggung mulusnta terlihat begitu mempesona.Walau tanpa make up, Elena malah terlihat jauh lebih bersinar karena memang kulit wajahnya sangat sehat.Namun, seiring dia mengeringkan rambutnya, lamunannya semakin kosong. Bohong jika Elena tidak terganggu dengan kejadian yang terjadi belakangan ini.Apalagi fakta bahwa rutinitasnya selama ini di mansion bersama pria itu, pria yang selalu bertengger di pikirannya dan tidak pernah bisa menghilang.Satu nama terus mengendap di benaknya. Tak peduli seberapa sering ia mencoba menepis bayangannya, pria itu tetap kembali seperti alunan lagu lama yang selalu mengganggu ketenangan.Elena m
Minggu pagi yang santai tanpa gangguan rapat dan telpon penting datang seperti hadiah langka bagi Damian. Tidak ada rapat, tidak ada pesan dari sekretaris, dan yang paling penting—tidak ada Elion yang menghilang karena urusan luar negeri.Damian merebahkan dirinya sembari menikmati pemandangan hijau taman belakang di sofa balkon lantai tiga, ditemani dengan smoothie dan cemilan buah segar.Ia menyilangkan kaki, mengenakan kaus hitam longgar dan celana linen, tampak seperti pria normal untuk sekali ini. Angin meniup halus rambutnya yang sedikit berantakan, dan ia nyaris tertidur sebelum pintu balkon terbuka. Suara langkah ringan dan satu tawa kecil membuat matanya terbuka.“Damian, bagaimana kabarmu?” sapa Elion sambil duduk di kursi seberang dan mengambil posisi yang sama persis seperti Damian bahkan mencomot buah-buahan segar milik adiknya itu.Damian menoleh cepat dan menyeringai. “Akhirnya kau muncul juga. Kupikir kau akan tinggal di Inggris untuk selamanya dan meningalkan Alaska,
Elena duduk di atas sofa panjang ruang gawat darurat di mansion dengan tangan kiri diperban ringan. Dokter keluarga Falcone, pria paruh baya dengan wajah ramah dan senyum tak pernah absen, terkekeh kecil sambil membereskan alat medis. "Nona Elena lukanya sudah saya bersihka dan berikan obat jangan sampai kena air dulu, ya,” ucap dokter itu ramah. Elion berdiri tak jauh dari sana, lengan menyilang namun wajahnya serius. "Kau yakin tak perlu vaksin tetanus tambahan? Atau antibiotik? Goresan bisa membawa infeksi." Dokter itu tersenyum penuh arti. "Tuan Elion, luka itu bahkan tidak menembus dermis dalam. Ini hanya luka kecil saja, anda bisa tenang Tuan,” jawab dokter itu tetapi Elion sepertinya sangat tidak puas dengan jawaban dokter itu. Elena terluka karena dirinya dan entah kenapa membayangkannya saja jika seluruh jemari Elena tetusuk dalam tadi sudah membuatnya merasa sangat bersalah dah khawatir. Tidak heran jika Elion sampai membawa Elena langsung ke ruangan dokter mansion ata