Share

Bab 8. Membuat Kenangan Untuk Diingat

"Kyaaaaa, Wajahmu kenapaa? Seperti Monster," Dara mendorong dengan kuat, Alvianpun terperanjat dan memegangi wajahnya yang terasa panas dan perih.

Dara terus memandangi Alvian yang berlalu pergi ke arah cermin di kamar Dara.

"Shit! Aku lupa meminum obat," Alvian menghubungi Dokter pribadinya untuk datang ke rumah Dara.

"Ka-kamu kenapa Alvian?" tanya Dara gugup melihat kondisi Alvian yang mengerikan. Kemudian Alvian mendekati Dara dan duduk di sebelahnya.

"Aku alergi, makanya kulitku seperti ini," ucap Alvian, sembari mengusap kulit di lengannya yang mulai terasa gatal. Dara nampak memandangi Alvian dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Wajah Alvian merah, dengan bibir dan kelopak mata bengkak, seperti seorang yang disengat lebah.

"Alergi apa? aku carikan obat untukmu, ya!" tanya Dara heran sekaligus ada rasa khawatir. Ketika Dara hendak melangkahkan kaki, lengan Alvian mencegahnya.

"Sudah, tak apa. Sebentar lagi Dokterku akan datang. Aku alergi udang, kau ingat tadi aku makan dengan udang?" mendengar paparan Alvian berhasil membuat Dara terkejut, tangan Dara menutup mulutnya yang menganga. 'Tak habis pikir, lalu kenapa dia makan?' batinnya.

"Kenapa Anda tidak bilang sebelumnya?" ucap Dara yang heran dengan pria di hadapannya kini.

"Sengaja, aku ingin kamu mengingat ini!" Alvian memperlihatkan wajahnya tepat di hadapan wajah Dara. Sedangkan Dara mengernyit, mencoba memahami maksud Alvian.

"Aku ingin kamu mengingat, bahwa aku alergi udang, jika aku memakan udang, hal ini selalu terjadi. Bahkan bisa lebih parah lagi, ingat di kepala cantikmu itu, ya!" sementara Dara masih tertegun mendengar ucapan Alvian.

Tak lama Dokter pun datang, ia bernama Sinta, Dokter muda berparas cantik, anggun dan pastinya cerdas karena dia seorang dokter.

"Hai, Sin. Silahkan masuk," Alvian mempersilahkan Sinta masuk ke kamar Dara, tanpa ia beranjak dari tempat duduknya. Sedangkan Dara yang membukakan pintu untuk sang dokter justru tertegun melihatnya. Bagaimana tidak? Dokter itu sangat cantik, entah kenapa ada rasa khawatir di benak Dara.

"Hai, kalian berdua kenapa bengong-bengonan begitu. Aku disini menahan sakit, loh! Astaga!" mendangar omelan Alvian membuat mereka tersadar.

"Oh, iya. Silahkan masuk Dokter," Dara mempersilahkan Sinta untuk masuk.

Sinta memeriksa Alvian yang nampak lemas, ia segera memberikan beberapa obat untuk segera Alvian minum.

"Kenapa sih bandel banget? kan udah aku bilang, jangan makan udang, Al!" Sinta mengomeli Alvian, karena alerginya bisa sangat parah.

"Untung saja tidak separah dulu, sampai harus dirawat," papar Sinta.

"Hmm, iya iya. Terima kasih, Bu dokter," Mereka tampak akrab, Dara hanya mematung disana bagai hiasan, entah apa yang membuat hati Dara begitu bergejolak, ingin marah tapi kepada siapa, dan atas dasar apa.

"Ini salepnya Al, mau aku pakaikan?" tanya Sinta seolah sedang menggoda namun dengan nada bercanda.

mata Dara membulat sempurna, tapi hal itu tidak disadari oleh kedua orang dihadapannya kini.

'Sedekat itukah mereka? apa mereka tidak menghargai aku sebagai istrinya?' tanpa sadar Dara memikirkan hal itu.

"Eh, ngga usah, biar nanti dibantu istri saya saja," ucap Alvian sembari melirik kearah Dara. Namun Dara tak bergeming sedikitpun.

"Oke, kalau begitu. Sudah ya, aku pulang. Obat ini simpan untuk jaga-jaga kalau hal ini terjadi lagi, langsung saja minum!" Sinta menerangkan sembari menyimpan obat di nakas sebelah ranjang.

"Maaf ya, malam-malam gini merepotkanmu. Kamu selalu bisa diandalkan," ucap Alvian sembari tersenyum manis kepada Sinta.

Dokter cantik itu pun berpamitan kepada Dara sebelum benar-benar meninggalkan kamarnya.

Setelah Sinta tidak terlihat lagi, Dara segera menutup pintunya, saat ini begitu banyak pertanyaan yang muncul dibenaknya.

"Em, akrab banget ya sama dokter cantik itu!" ucap Dara menekankan kata cantik, hal itu membuat Alvian tergelak tertawa. Menurutnya, Dara lucu sekali saat marah atau mungkin cemburu seperti ini.

"Dia Sinta, teman kecil saat TK dulu. Kenapa? Cantik ya?" Alvian nampak mencari tahu apa yang Dara rasakan saat ini dengan menatap matanya, Alvian berharap Dara cemburu.

"Cantik," jawab Dara singkat.

"Kok jadi jutek gitu? Jujur saja, Kamu cemburu, kan? iya, kan?" Alvian menaik turunkan kedua alisnya dengan senyum menggodanya. Membuat Dara memerah dan memalingkan wajahnya.

"Cemburu? nggak lah. Oh iya tadi kenapa menolak dipakaikan salep oleh dokter cantik itu? Kenapa tidak terima saja? Kan saya jadi tidak perlu repot begini," Sambil mengolesi salep ke wajah Alvian dengan sedikit kasar, membuat Alvian meringis.

"Tolong pelan-pelan ya, Istriku!" sembari menahan lengan Dara yang digunakan untuk mengobati Alvian, saat itu Alvian menatap mata Dara dalam, begitupun sebaliknya.

"Dara, Kamu cemburu!" dengan riang Alvian mengatakannya, membuat Dara salah tingkah.

"Ngga, Ya! sudah lebih baik kamu kembali ke kamarmu!" ucap Dara sembari melepaskan cekalan di lengannya.

"Aaauu, aku sakit, Dara. Bolehkah aku bermalam disini? Aku mohon," Alvian memelas kepada Dara, membuat Dara tak tega, dan mengiyakan. Dara bangkit dan hendak menuju sofa.

"Dara, Kau mau kemana?" tanya Alvian, seolah takut ditinggalkan oleh Dara.

"Karna Kau sedang sakit, jadi aku mengalah tidur di sofa," jawab Dara, langsung saja Alvian menggeleng.

"Tidak tidak, kita berdua tidur disini," Sambil menarik pergelangan tangan Dara.

"Aku menjaga, agar kau tidak melanggar perjanjian kita, Pak," ucap Dara mengingatkan.

"Tidak akan ada yang bisa menyalahkan kita tidur bersama, Dara," sorot mata Alvian tegas, membuat siapa saja yang dihadapannya akan menuruti segala perintahnya. Namun, tidak dengan Dara.

Alvian menarik lengan Dara dengan kencang, sehingga Dara terhuyung kedalam pelukan Alvian, dan berbaring di ranjang yang sama. Sekejap Dara membiarkan perlakuan Alvian terhadapnya. Merasakan kehangatan, menyesap aroma di tubuh Alvian, membuatnya merasa tenang, pikiran Dara melayang, mengingat pria misterius yang sedang dalam pencarian Dara.

"Aku senang kau mau memelukku seperti ini, rasanya hangat sekali," mendengar ucapan Alvian, Dara mendongakkan kepala, lalu melepaskan pelukannya, dan berguling kesamping.

"Jangan mengambil kesempatan, ya, Pak Alvian!"

"Justru ini kesempatan yang bagus, dan tolong jangan panggil aku 'pak' lagi, aku sangat bosan mendengarnya," goda Alvian.

"Lalu aku harus memanggilmu apa?" tanya Dara.

"Boleh, Sayang, Honey, yang, apapun asal jangan 'Pak'!" pinta Alvian dengan raut wajah memelas.

" Hmm, aku panggil Al saja, ya." dengan sedikit tersenyum Dara mengucapkannya.

"Haaah, itu sudah lebih baik dari 'Pak'" Alvian menghela nafas panjang, karena keinginannya tidak dipenuhi.

Dara memunggungi Alvian, dan Alvian tidak menyerah memeluk Dara dari belakang. Dara membiarkannya.

keduanya terdiam sesaat, lalu Dara menoleh ke belakang, rupanya Alvian sudah tertidur, mungkin efek obat yang diminumnya tadi, Dara melihat jejak Alergi di wajah Alvian sudah membaik, Dara mengelus wajahnya.

Melihat Alvian sedekat ini, Dara nampak kagum dengan ciptaan Tuhan yang satu ini, betapa sempurnanya wajah yang dipahat pada pria yang kini sudah menjadi suaminya.

'Apakah seharusnya aku bersyukur menikah denganmu? kau begitu baik terhadapku, meskipun orang bilang kau manusia es, karena sikapmu yang begitu dingin, tapi kau begitu hangat kepadaku. Haruskah aku membuka hatiku untukmu? dan haruskah kita menjalani kisah cinta dalam ikatan pernikahan mulai saat ini?

melihat matamu dalam gelap hanya dihiasi sedikit cahaya, membuatku teringat pada pria yang selalu hadir dalam mimpiku,' batin Dara.

"Kau tahu? Aku sering memimpikan hal yang sama bersama seorang pria. Awal mula memimpikannya aku merasa takut dan benci, namun semakin lama, aku semakin menantikan bertemu dengannya dalam mimpiku, aku merindukannya, aku berharap bisa bertemu dengannya di dunia nyata," Dara berhenti sesaat sebelum melanjutkan ucapannya.

"Apakah itu kamu? Pria Misteriusku?" ucapnya dengan suara lirih. Namun tiba-tiba mata Alvian terbuka lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status