Dara sering memimpikan hal yang sama, yaitu bercinta dengan seorang pria misterius yang memiliki aroma maskulin yang terasa familiar bagi indra penciumannya. Mimpi itu terus berulang, hingga membuat Dara penasaran sosok di balik suara bariton yang menggetarkan hatinya. Sampai suatu hari, masalah di kantor membuatnya harus berhadapan dengan seorang CEO arogan bernama Alvian, rival bisnisnya. Terdesak, Dara terpaksa menerima bantuan dari Alvian, dengan syarat Dara harus menikah dengannya. Namun, satu per satu kejanggalan mulai muncul setelah mereka resmi menikah. Dara merasa Alvian menyimpan banyak rahasia. Terlebih, suara dan aroma khas Alvian mengingatkan dara akan pria misterius di dalam mimpinya....
View MoreDi sebuah ruangan gelap yang asing, hanya ada satu lilin biru yang menyala sebagai penerangan. Panik, Dara mengedarkan pandangannya untuk mencari jalan keluar.
"Aku merindukanmu, Dara..."
Gadis itu berjengit kaget saat sebuah suara khas yang berat berbisik di telinganya.
Ia segera menarik diri, tapi pria misterius itu dengan cepat meraih lengannya.
"Siapa kamu?!" tanya Dara dengan nafas tersengal, berusaha melepaskan cekalan di tangannya. “Lepaskan aku!”
"Ssshh!" bisik pria itu berusaha menenangkan.
Aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria itu terasa familiar. Dara mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah mencium aroma khas itu, tapi ingatannya tidak menemukan apapun.
Ia berusaha memberontak dengan memukul dada bidang pria itu saat tubuhnya digendong dan dihempaskan ke atas kasur yang empuk.
"Tidak, aku mohon. Jangan lakukan ini. Lepaskan!" ucap Dara frustrasi. Lelehan bening mengalir tanpa permisi dari sudut matanya. Ketakutan menjalar di sekujur tubuhnya hingga membuatnya gemetar.
"Jangan menangis, Dara,” bisik pria itu sambil mengecup sudut mata Dara.
"Tidak!" Dara masih berusaha memberontak. "Lepaskan ak—" ucapannya terputus, dibungkam dengan ciuman lembut pria itu, membuat mata Dara membulat sempurna.
Pria itu terus mencumbunya penuh rasa, hingga tanpa sadar, Dara tidak lagi memberontak. Pria itu tersenyum di sela-sela ciuman yang semakin lama semakin intens. Jemarinya dengan lihai menelusup ke balik gaun tidur yang dikenakan Dara, bermain di bawah sana, membuat Dara tak sanggup lagi melawan.
“He-hentikan …" cicit Dara di sela permainan pria itu. Namun, berlawanan dengan bibirnya yang menolak, tubuhnya justru bereaksi sebaliknya. Ia merasakan gelenyar aneh, tak kuasa atas nikmat yang pria itu berikan.
"Lihat, kau sangat basah, Dara," bisik pria itu.
Dengan penerangan seadanya, Dara melihatnya tersenyum. Ia mencoba untuk mengenali wajah tampan itu, tapi permainan pria itu mengacaukan akal sehatnya.
Pria itu semakin gencar, tidak memberikan waktu bagi Dara untuk memproses apa yang terjadi. Saat gelombang putih itu hampir menghantamnya, Dara tersentak.
“Hah hah hah, astaga!” Dara terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal. Jantungnya berdegup kencang. “Mimpi itu lagi?”
Dara menyugar rambutnya yang terasa lengket karena keringat. Entah sudah berapa kali ia bermimpi hal erotis dengan orang yang sama. Walaupun wajah pria itu tidak jelas, tapi Dara ingat betul suara baritonnya yang khas.
“Sebenarnya siapa pria itu?” gumam Dara bertanya-tanya. Tapi, lamunannya langsung buyar saat ponselnya tiba-tiba berdering nyaring.
“Halo?”
“Bu, saya sudah telepon Ibu lebih dari 20 kali!” kata Raisa—sekretaris sekaligus sahabatnya—terdengar panik.
“Jangan berlebihan,” dengus Dara. “Ada apa, Raisa?”
“Perkebunan teh kita terbakar, Bu. Apinya sulit dipadamkan karena aksesnya sulit dijangkau damkar, terlebih lagi angin sangat kencang membuat api sangat cepat menyebar, Bu. Kita harus bagaimana, Bu?”
Mendengar kabar itu, Dara bergegas bangun dan merapikan pakaiannya. Ia keluar dari ruang kecil rahasia yang biasa ia gunakan untuk beristirahat di sela-sela kerja.
“Ke ruanganku sekarang. Kita bicarakan di sini. Jangan lupa beritahu direktur produksi dan direktur pemasaran, juga manajer gudang untuk segera ke ruanganku.”
Telepon terputus. Tidak bisa dipungkiri, Dara begitu cemas. Perkebunan itu adalah aset terbesarnya. Hampir 80% supply teh berasal dari perkebunan yang saat ini terbakar.
'Semoga masih bisa diselamatkan,' batinnya.
Tak lama kemudian, Raisa datang ke ruangannya bersama para direktur dan juga manajer gudang. Mereka duduk di sofa yang berada di ruangan Dara.
"Baiklah, kita langsung saja ke topik pembahasan. Raisa, bagaimana kabar terkini dari lokasi kebakaran?" tanya Dara kepada sekretarisnya, karena Raisa yang mendapat kabar terlebih dahulu.
"Barusan saya ditelepon oleh Pak Dika, karena beliau kebetulan sedang bertemu mitra di dekat lokasi. Beliau mengatakan bahwa api sudah melahap 90% kebun teh kita, Bu." Raisa nampak sedih sekaligus panik saat mengatakannya.
Dara menarik napas sejenak dan menghembuskannya perlahan. Kondisi seperti ini harus dihadapi dengan tenang.
"Berapa yang harus kita produksi dalam waktu dekat ini?" tanya Dara pada direktur pemasaran.
"100.000 botol, Bu. Sudah kontrak dan sudah masuk pembayaran 75%," jawab pria itu.
“Lalu bagaimana stok persediaan saat ini?" Kali ini, Dara bertanya pada manajer gudang.
"Tersedia 20.000 pieces, Bu. Itu pun yang 5.000 pieces akan dikirim besok. Jadi persediaan ada 15.000, sedangkan bahan mentah hanya ada untuk 1.000 pieces lagi.”
Dara langsung lemas mendengar jawaban dari pria itu.
"Berarti kita harus memproduksi 84.000 pieces lagi dalam satu minggu. Sedangkan kita tidak memiliki stok sebanyak itu," lirih Dara, yang semula ia berdiri, kini terduduk lemas di kursinya.
"Bu, kalau boleh saya usul. Kita minta bantuan Pak Alvian saja!" ucap Raisa tiba-tiba, menarik perhatian setiap orang yang berada di ruangan itu.
"Yang benar saja, Raisa! Dia itu rival kita. Mana mungkin meminta bantuan kepadanya?” sahut Dara, menolak ide itu mentah-mentah.
"Tapi saya setuju, Bu. Jalan kita sudah buntu. Jika tidak segera, perusahaan ini bisa gulung tikar karena bayar denda yang lima kali lipat itu," ucap sang manajer gudang, yang disetujui oleh semua orang dengan anggukan kepala.
Dara menggigit bibir gelisah. Meski enggan, ia harus mengakui bahwa pria itu ada benarnya.
Tapi, meminta bantuan pada Alvian sama saja dengan mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Membayangkan Alvian merasa menang atas keputusasaannya membuat Dara merasa geram sendiri.
“Ibu harus segera membuat keputusan. Kita sudah sangat terdesak dan tidak punya pilihan yang lebih baik.”
Dara pasrah. Ia juga tidak bisa memikirkan jalan keluar lain. Mereka harus bergerak cepat untuk menyelamatkan keadaan.
Raisa akhirnya keluar untuk membuat panggilan pada Alvian dan menjelaskan kondisi perusahaan Dara saat ini.
"Bu, Pak Alvian meminta Ibu untuk ke kantornya. Tapi hanya Ibu saja," jelas Raisa begitu ia sudah kembali.
"Kenapa begitu?" tanya Dara bingung. Tapi ia segera gegas meninggalkan mereka semua, menuju kantor Alvian yang letaknya tak jauh dari kantornya.
Beberapa menit kemudian, Dara tiba di sebuah gedung pencakar langit di tengah kota.
Ia tidak membuang waktu lama untuk sampai di depan ruangan pria yang sangat ingin dihindarinya itu.
Sekretaris Alvian sudah menunggunya di depan pintu dan mempersilakannya masuk ke dalam ruangan.
"Permisi, Pak Alvian." Dara memberikan senyuman manis, walaupun hatinya malas untuk melakukan itu.
"Ya, silahkan duduk,” kata Alvian dengan nada datar. “Aku tidak suka berbasa-basi, jadi langsung saja. Aku sudah mendengar semua dari sekertarismu. Aku bisa membantumu dengan meminjamkan perkebunan tehku."
Dara terkejut mendengar ucapan Alvian yang to the point. Pria itu menatap Dara tanpa senyum sedikit pun di wajahnya, tapi tatapan lekatnya lah yang membuat Dara membeku.
'Semudah itu?' batin Dara bingung, tapi ada rasa lega karena akhirnya bisa menangani masalah ini.
'Ternyata dia tidak seburuk yang kukira,' batinnya lagi. Dara hendak mengucapkan terima kasih saat Alvian lebih dulu menyela.
"Tapi ada satu syarat," ucap Alvian sambil menyunggingkan seulas senyum miring.
"Syarat? Syarat apa, Pak Alvian?" tanya Dara dengan kening berkerut.
"Menikahlah denganku!"
Clara jatuh lemas, dengan sigap Alvian memangkunya, dan mengalihkan pandangannya ke arah Dara nampak kaku dan memegang pisau yang terdapat noda darah. "Kau!" Alvian murka menunjuk ke arah Dara, Dara yang menyadari hal itu segera menjatuhkan pisau dalam genggamannya. "Tidak, bukan aku yang melakukan itu Alvian, percayalah kepadaku!" ucap Dara memohon, Dada nampak pucat. "Ikut aku!" Alvian berteriak sembari menggendong Clara memasuki mobilnya. Clara Nampak puas dan tersenyum mengejek Dara. Alvian berlari dan membawa Clara ke UGD. "Dok, tolong selamatkan dia!" Alvian panik, di sisinya ada yang lebih panik. Takut dengan tuduhan Clara, yang sama sekali tidak ia lakukan. "Tenang, Pak. Kami akan melakukan pemeriksaan dan tindakan, Bapak berdo'a saja dan tunggu diluar," ucap Dokter menenangkan Alvian. "Kalian harus menyelamatkannya! Jika tidak, aku akan menutup rumah sakit ini!" Sembari menarik kerang baju dokter, dan melepaskan setelah selesai memberi ancaman. "Ba-baik, Pak!
"Clara, ternyata dia tidak meninggalkanku," mendengar jawaban Alvian yang bersemangat itu membuat hati Dara terasa sakit, terlebih lagi ia tetap menatap ponselnya dengan senyum yang terus mengembang tanpa pedulikan Dara di sisinya. "Sepertinya aku sudah tidak penting lagi, lebih baik kamu bersama dia," ucap Dara mengabaikan perasaannya yang terluka. "Serius? aku boleh menikah lagi? aku boleh menikahi Clara," dengan semangat, Alvian menanyakan hal konyol itu, tentu saja Dara tidak sudi. "Iya," jawab Dara datar, justru Alvian menunjukkan wajah sebaliknya dari Dara, ia begitu senang. "Setelah kita bercerai!" lanjut Dara, dengan raut wajah sedih. "Tidak-tidak, kamu tetap milikku, aku tak akan melepaskanmu Dara," ucap Alvian dengan sorot mata tajam, membuat Dara bergidik ngeri. "Kenapa? Kenapa kamu menyiksa aku seperti ini? " lelehan bening mengalir dari sudut mata Dara tanpa permisi. Namun, hal itu tak membuat Alvian luluh, garis wajah tajam menyoroti Dara. "Sesuatu y
"Kau tidak tahu cara berterima kasih Dara! akan aku ajarkan!" Dara beringsut mundur ke tepi ranjang, sedangkan Alvian mendobrak pintu kamar, hanya dengan sekali tendangan pintu itu terbuka. Mata Dara terbelalak melihat dada Alvian yang naik turun, Alvian murka. "Alvian," dikamar ber-AC itu Dara merasa panas, keringat mengalir di dahinya, ia benar-benar merasa ketegangan disana. Alvian mendorong tubuh Dara, dan menindihnya, Alvian sudah cukup menahan hasratnya selama ini. Dengan sekejap, Alvian merobek kemeja putih yang Dara kenakan, tampak kancing-kancing bertebaran ke sembarang arah. Alvian melanjutkan ke bagian bawah, sehingga Dara terlihat polos tanpa sehelai benang-pun. "Aku mohon, Al. Jangan!" Dara menggelengkan kepalanya, memohon belas kasihan Alvian, bulir air mata mengalir dari sudut matanya. Namun sayang, menurut Alvian tidak ada lagi toleransi. Tanpa pemanasan terlebih dahulu, Alvian langsung menerobos inti tubuh Dara dengan miliknya yang sudah menegang. "Aaaaa
"Tidak, Alvian jangan lakukan ini," Dara meringis terasa sesak. "Kamu istriku, dan sudah tidak ada lagi kontrak perjanjian kita, aku bebas melakukannya denganmu," "Tapi, kita tidak menikah sungguhan, kita menikah bukan karena cinta!" ucap Dara sembari terisak, Dara tidak ingin di perlakukan dengan kasar. Alvian melepas cengkramannya, dan berdiri menghadap Dara yang sudah berantakan. "Baiklah, jika kamu tidak ingin melayaniku," Alvian berlalu pergi dan membanting pintu, saat ini ia sangat kesal karena hasratnya harus ditunda, sedangkan ia sangat tak tahan. Dara sedang menonton televisi diruang santai, lalu dengan santai Alvian berjalan dengan seorang wanita cantik namun pakaiannya sangat terbuka, Alvian merangkul pinggang wanita itu dengan mesra, membuat Dara terbelalak terlebih lagi ketika mereka masuk ke kamar Alvian dan Dara. Tak terasa air mata Dara menetes, lalu ia memilih pergi, sebelumnya ia melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 10 malam. Dara tak ingin mendengar at
"Dara adalah Istriku, aku yang lebih berhak atasnya," merekapun berlalu pergi. Entah mengapa, Alvian mencium sesuatu yang berbahaya bagi Dara, maka dari itu Alvian harus menjauhkan Dara dari orang yang bukan kepeecayaan Alvian. Setibanya mereka di panthous, Alvian langsung menurunkan koper Dara dan membawanya ke kamar, dan Dara bingung karena disana ada barangnya Alvian. Melihat kebingungan Dara, Alvian berinisiatif memberi tahunya tanpa harus Dara bertanya. "Sekarang kita satu kamar!" ketika Dara hendak berkata, Alvian langsung memotongnya, seakan tahu apa yang akan Dara ucapkan. "Tidak menerima penolakan! dan satu lagi, kamu dilarang masuk ke kamar berpintu biru!" ucap Alvian benar-benar tal terbantahkan. Dara tak menyangka akan tetap tinggal dengan seseorang yang merebut perusahaannya. 'Dia benar-benar kejam!' ucap Dara dalam hati. Sedangkan Alvian sedang menerima telepon diluar. [Sudah ku duga, selama ini mereka tidak sebaik yang kulihat, terima kasih Sinta, aku minta hard
Dara bergegas mebuat perjanjian perceraian, dimana disana dituliskan pihak wanita tidak menuntut harta apapun. Karena Dara ingin prosesnya lebih cepat, jika ia menginginkan perusahaanya di kembalikan pasti Alvian akan menolaknya mentah-mentah, Dara akan memikirkan cara lain untuk mengambilnya kembali. Di sore harinya Dara datang kembali ke perusahaan, dan disana Alvian sedang bersama Collega bisnis perempuan, dengan penampilannya yang sexy, terlihat sekali dia mencoba menggoda Alvian. ‘Cih, dasar lelaki hidung belang,’ batin Dara, ada rasa gemuruh panas di hatinya. Alvian melihat kehadiran Dara dan menyuruhnya duduk di sofa dengan menggunakan matanya, Dara mengerti maksud alvian. Namun, entah Alvian sengaja atau tidak, Dara benar-benar dibuat menunggu lama sekali tanpa diberi minum, bahkan Dara saat ini benar-benar mendidih melihat Alvian yang diam saja disentuh oleh wanita genit itu. Dara sama sekali tidak di anggap sebagai istrinya, membuat hatinya terluka, dan berdiri sambil me
"Baik, Ma! aku pergi, tapi aku tidak akan meninggalkan Dara. Aku tidak akan mengulangi hal bodoh itu sekali lagi. Asal mama tau, semua yang terjadi saat itu adalah salah paham!""Sekali penghianat tetap penghianat! Pergi!" Sembari menunjuk kearah pintu, sedangkan Barack menghampiri Elshiana yang sedang marah."Sudah, jangan marah-marah, jaga kesehatanmu, Els!" ucap Barack."Sebelum pergi, aku ingin memberi tahu bahwa perusahaan Red Galaxy resmi menjadi milikku, agar kalian tidak terkejut nantinya," Alvian pergi begitu saja menghiraukan kemarahan Barack dan Elshiana.Awalnya Alvian berjalan tegap, namun ketika hampir mendekati mobil langkahnya nampak gontai, saat ini Alvian sangat butuh melampiaskan kemarahannya.Alvian pergi ke kantornya Dara, begitu sampai ia langsung disambut hangat oleh Raisa."Al, kamu ngga bilang mau datang kesini?" ucap Raisa manja dan menyentuh dada bidang Alvian.Rahang Alvian mengeras nampak tak suka dengan perlakuan Raisa, dan menepisnya. Alvian begitu dingi
"Aaaaaa," Dara tercebur ke danau, terasa sesak, tubuhnya lemas, seakan ada sesuatu yang menariknya kebawah, kepalanya mulai terasa berat, terjerembab hampir ke dasar danau.Saat dirasa Dara benar-benar sesak, dan pasrah dengan keadannya saat ini, tiba-tiba muncul dalam ingatan Dara, saat itu Dara sedang menuju kantor Alvian, Dara berniat untuk membawakan bekal makan siang, namun ketika Dara memasuki ruangan Alvian yang sengaja tanpa permisi untuk memberikan kejutan, ternyata malah Dara yang diberi kejutan oleh Alvian. Bagaimana tidak? Dara melihat Alvian berpelukan dengan wanita lain.Dara menjatuhkan bekal untuk Alvian, sedangkan Dara berlari. Hingga sebuah mobil menubruk tubuh Dara yang menyebrang tanpa lihat arah, Dara begitu terpukul. Sekarang Dara mengingatnya. Namun, kenyataan membuatnya begitu sesak.byuuurTak lama saat Dara tercebur, tanpa berpikir panjang Alvian langsung menceburkan diri, ia tahu Dara tidak bisa berenang. Alvian berenang kebawah untuk menggapai lengan Dara,
"Kenapa melamun begitu Dara?" tanya Alvian membuyarkan lamunan Dara."Eh, nggak kok. Siapa yang melamun? Aku mau bersih-bersih dulu, Mas." Dara melenggang pergi ke kamar mandi.Ketika Dara hendak menutup pintu kamar mandi, Alvian menahan pintu tersebut."Hei, Mas. Apa yang kamu lakukan? tanganmu bisa terjepit pintu!" Suara Dara sedikit kencang karena terkejut dengan tingkah suaminya."Tunggu, Dara. Tolong bukakan pintunya ya!" Alvian mendorong sedikit lebih kencang, namun tidak sepenuh tenaganya, karena takut Dara terjatuh."Astaga, Mas. Kenapa sih kamu, Mas?" Sambil membuka pintu kamar mandi."Aku juga mau mandi, kita mandi bareng aja ya! Biar cepet," Sembari masuk ke kamar mandi tanpa permisi."Kyaaa, Hei tidak bisa!" pekik Dara.Dara mencoba mendorong Alvian keluar, namun usahanya sia-sia, malah Dara yang yang kini terjerembab dalam pelukannya, tanpa bisa melawan dan Alvian menyalakan shower air hangat, menambah keintiman keduanya. Mereka masih mengenakan pakaian lengkap yang kini
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments