Luna mendorong Jim dengan kasar, menangkap tangan kekar yang mulai menyentuh penasaran. Geraman Jim berhenti dan dia terlonjak mundur ke belakang."Apa-apaan kamu, Jim?" Luna mengusap bibirnya dan menjauh dari pria itu."Aku mencintaimu," ulangnya kembali. Hampir menangis.Luna malah menggeleng, pernyataan itu tak lagi dibutuhkannya."Terlambat, Jim. Seharusnya kau katakan lima tahun lalu, pasti aku berusaha membalas cintamu. Terlambat, Jim. Sangat terlambat." Luna menaiki ranjang, menarik selimut menutupi kakinya. Mereka tak bisa untuk terus bermain-main.Jim masih terengah-engah dengan mata berbinar gelap. Dia kesusahan menata nafasnya sendiri. Dia bersandar ke daun pintu milik Luna sambil menatap putus asa.Luna memandang Jim dingin," malam ini dan seterusnya, kau tak ku izinkan menumpang di kamarku. Pergilah ke kamarmu sendiri," ketus Luna.Jim tergagap, matanya membelalak tak percaya. Kepanikan langsung melanda pria itu."Lun...,""Itu pintu keluarnya. Aku tak perlu mengantarmu b
Luna bertempur dengan waktu, suara pekikan minta tolong itu sukses membangunkan sebagian besar penghuni apartemen. Tanpa menunggu lama, salah seorang dari tetangga beda lantai itu membawa Jim ke rumah sakit.Luna mendekap Jim yang bersimbah darah, dia masih bernafas walaupun lemah. Luna tak peduli lagi dengan baju tidur yang sudah memerah basah terkena darah laki laki itu. Laki-laki ini selalu penuh kejutan, selama ini hidup Luna stabil dan baik-baik saja, tapi sejak kedatangan Jim kembali ke apartemen Luna, semua menjadi kacau dan tak terkendali."Lebih cepat, Mas. Lebih cepat." Luna hampir menjerit, terlambat sedikit saja laki-laki itu akan kehabisan darah. Luna tak pernah sepanik ini, ini sangat menegangkan, bagaimana jika laki-laki ini tak tertolong, apa yang akan dikatakan Luna kepada keluarganya nanti? Bagaimana Luna bisa menjelaskan pada semua orang bahwa dia tak mengerti dengan laki-laki ini, banyak pertanyaan dalam hati luna, bagaimana gaungan lebah yang tak bisa dijelaskan.
Hari ke-3Luna menopang dagunya dengan tangannya. Menatap lurus pada Jim yang masih belum membuka mata.Tiga hari, tiga hari pasca operasi, Jim belum juga bangun dari komanya. Perdarahan otak yang dialaminya sangat serius. Belum lagi patah tulang leher yang mengharuskan Jim memakai gips untuk beberapa bulan.Dokter tak berani menjamin keberhasilan operasi ini. Semuanya tergantung izin Yang Maha Kuasa dan keajaiban.Luna menatap Jim dengan nanar, sungguh! Laki-laki itu tak pernah dipahaminya. Dia bagaikan teka-teki yang sangat rumit. Emosi yang cendrung berubah dalam hitungan detik. Serta pemikiran yang tak terduga. Masih segar diingatan Luna, bagaimana laki-laki itu terkapar bersimbah darah dengan helaan nafas yang mulai melemah. Bahkan sebelum itu mereka masih sempat bermesraan secara kilat. Beberapa hari Jim memang berubah, dia sedikit menampakkan perhatian dan pendekatan pada Luna. Bahkan dia mulai menunjukkan sifat terbuka terhadap perasaannya. Namun, Luna tak bisa dengan mudah
Luna tak membuang waktu, dia bergegas memanggil dokter dan perawat. Jim langsung ditangani dengan melakukan serangkaian pemeriksaan. Cukup lama, sekitar tiga puluh menit.Luna hanya mengamati dari jauh laki- laki itu. Setidaknya dia bisa bernafas lega, laki-laki itu selamat. Itu yang terpenting saat ini. "Syukurlah! Masa kritis sudah terlewati, doa kita bersama dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa." Dokter yang rambutnya mulai memutih itu tersenyum lega."Alhamdulillah, Dok. Terima kasih banyak.""Sama-sama, untuk saat ini semuanya normal, tapi kita belum bisa menyimpulkan lebih jauh. Karena efek operasi ini beragam, kita berdoa saja. Semoga semuanya baik-baik saja dan pak Jim segera pulih.""Amin. terimakasih, Dok.""Oke, saya tinggal dulu. Mungin anda bisa ajak komunikasi dengan kontak mata terlebih dulu.""Baik, Dok." Luna mengangguk.Sepeninggal dokter, Luna melangkah perlahan menuju ranjang milik Jim. Mengambil tindakan hati hati termasuk menggeret kursi di dekatnya supaya tidak meng
Luna memijit kepalanya yang terasa berat. Banyak hal yang dilewatinya beberapa hari ini. Sudah dua Minggu Jim dirawat pasca operasi, selama itu juga Luna bolak-balik ke rumah sakit, menyempatkan waktu walau hanya beberapa jam saja. Dia menulikan telinganya dari omelan mertuanya yang selalu mengkambing hitamkan Luna, memperlakukan Luna sebagai tersangka atas yang menimpa Jim selama ini.Lia masuk sambil mengamati wajah Luna. Beberapa hari ini wajah sang bos terlihat kacau, tapi dia tak berniat membagi keluh kesahnya pada Lia."Kau tak makan siang?" Lia menarik satu kursi dan duduk di depan Luna."Aku kehilangan selera makan.""Kau ... Hamil?" Lia bersorak. Luna sampai memukul lengan Lia dengan buku di tangannya."Jangan asal bicara.""Hamil itu biasa terjadi pada orang yang telah menikah. Kau sangat aneh.""Tapi tidak untuk pernikahanku."Lia memutar matanya malas."Ada apa? Wajahmu kusut, lingkaran matamu persis seperti panda. Aku kira kau kebanyakan begadang membuat anak.""Lia, bisa
Luna tergagap, beberapa detik dia lupa akan dirinya, dia larut dan hanyut. Namun saat ringisan Jim terdengar, Luna menjauh dan menutup mulutnya kaget. Tanpa permisi, dia turun dari ranjang dengan tergesa-gesa.Luna memalingkan wajahnya yang merah padam dan penuh penyesalan kesembarang arah. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa mengontrol diri."Aku harus pulang, ini sudah larut. Kau sebaiknya beristirahat." Luna meraih tasnya dengan cepat."Lun, yang tadi...." Jim berusaha menghentikan langkah Luna."Lupakan! Aku hanya terbawa suasana, dan untuk masalah kau akan pulang ke apartemen setelah diperbolehkan pulang, aku belum bisa memberikan keputusan. Aku sarankan, sebaiknya kau mengikuti apa kata ibumu." Luna menggeret langkahnya menuju pintu keluar. Jim hanya terpaku memandang punggung wanita itu.Setiba di mobil, Luna membanting kecil keningnya ke stir mobil. Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menikmati dan membalasnya? Bahkan perasaan asing yang belum pernah dirasakannya selama
Luna sengaja tidak mengunjungi Jim hari ini, padahal dia tau, sekarang Jim sudah diperbolehkan pulang ke rumah karena sudah memungkinkan untuk rawat jalan. Luna duduk dengan gelisah, sudah jam delapan malam. Semua karyawan sudah pulang kecuali security yang berjaga-jaga. Luna berfikir, dia harus pulang saat ini juga. Sehari ini dia gelisah, ada rasa bersalah menyusup dalam hatinya karena mengabaikan Jim namun Luna memilih mengabaikannya.Luna meregangkan badannya yang kaku. Kemudian berjalan cepat menuju parkiran dan menyalakan mobilnya. Jalan raya lancar tanpa macet, beberapa menit setelah itu, Luna sampai di apartemennya.Kening Luna mengernyit, rasanya dia mematikan lampu sebelum berangkat ke kantor. Tapi ruangan itu terang dengan pintu tak dikunci. Beberapa pasang sepatu tersusun rapi di rak kecil di dekat pintu masuk.Pertanyaan Luna terjawab sudah, di sana, tiga orang memandangnya dengan ekspresi berbeda. Jim tersenyum sumringah, sedangkan Marta memandang Luna sambil berdecak k
Kondisi Jim sebenarnya semakin membaik, cidera yang dideritanya hanya bagian leher dan kepala, sedangkan pinggang ke bawah saat itu jatuh membentur rumput taman, sedangkan kepala menghantam beton pembatas antara rumput dan kolam buatan.Pagi ini, Jim mulai melupakan kursi rodanya, gips masih setia menyangga lehernya, sedangkan kepala yang botak itu masih nyeri sesekali. Luka operasi sudah mengering dengan sempurna.Luna muncul dari dapur dengan apron bunga-bunga kesayangannya. Sedangkan Jim baru keluar dari kamar dengan wajah bantal khas bangun tidur. Tidurnya sangat nyenyak, bahkan dia baru terjaga saat ponsel Luna meraung tak sabar.Hari ini adalah hari Minggu, mereka pasti akan menghabiskan waktu seharian di rumah. Sebenarnya Luna agak terganggu dengan adanya Jim di apartemennya, dia lebih suka sendiri dan melakukan apa yang dia suka tanpa adanya orang lain disekitarnya. Membersihkan rumah atau merawat tanaman hias yang ditanam dan digantung di balkon kamarnya, atau membuat pernak-