Share

Tujuh

Luna memijit kepalanya lelah. Matanya memandang Mike dengan putus asa. Mike adalah teman sekaligus bawahannya, laki-laki itu adalah teman berbicara selama ini dalam soal pekerjaan, tapi Luna jarang membicarakan hal pribadi dengan laki-laki itu.

"Aku harus mencari kemana lagi, bahkan hutang perusahaan belum terbayar sampai saat ini, bunga terus berjalan setiap bulannya." Luna mengusap tepi cangkir tehnya. Saat ini mereka tengah duduk di ruangan Luna.

Sebenarnya sudah waktunya pulang, tapi mereka terus berfikir keras untuk melanjutkan perusahaan kecil yang dilanda krisis karena buruknya ekonomi di negara saat ini.

"Kau adalah orang yang paling tidak bisa dimengerti, kalau aku jadi kau, aku lebih memilih meneruskan perusahaan ayahku yang sudah berkembang sangat pesat."

Luna menatap Mike sekilas. "Aku lelah hidup di bawah bayang-bayang nama besar keluargaku. Aku sudah memutuskan untuk mandiri, dan kini saatnya aku membuktikan ucapanku sendiri."

Mike tak bisa berkata apa-apa lagi. Jika Luna sudah memutuskan sesuatu, maka dia takkan mengubah pemikirannya.

*****

Luna melemparkan tasnya ke atas sofa, lalu merebahkan tubuhnya di sana dengan kepalanya berdenyut sakit. Banyak sekali yang mengganggu pemikirannya akhir-akhir ini, mulai dari urusan petusahaan yang terancam gulung tikar, ditambah dengan urusan pribadinya yang tak kunjung selesai.

Luna tak memperdulikan derit pintu kamar milik Jim yang terbuka. Yang diinginkan Luna saat ini adalah mandi dan tidur, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk menyeret kakinya ke kamar mandi.

Jim terlihat menimbang, akhirnya dia memutuskan untuk mendekati Luna dan duduk di samping wanita itu. Ada berita penting yang harus disampaikannya.

"Ada apa?" Luna sedang tak ingin berdebat. Kalau bisa, tak usah saja mereka bertemu malam ini. Luna sangat lelah.

Jim tak langsung menjawab. Tapi wajahnya terlihat gelisah.

"Mamimu sedang dalam perjalanan ke sini."

"Apa?" Luna shock, sangat shock sampai sampai dia terlonjak bangun dari tidurnya. Mata mengantuk itu terbelalak. Ini kabar maha dahsyat, Karena tak biasanya maminya mengunjunginya.

"Bagaimana bisa mami ke sini tanpa memberitahuku lebih dulu." Luna merapikan jilbabnya yang berantakan .

"Tak hanya mamimu, tapi ibuku juga."

"Apa mereka ingin membunuh kita? Aku tak percaya ini." Luna langsung bangkit. Semua orang terus saja meneror dirinya, tak membiarkan dia bersantai sebentar saja.

"Lalu bagaimana?" Jim bingung sendiri.

Luna tak sempat menjawab saat bel pintu masuk sudah berbunyi tak sabaran.

Luna berlari tergesa-gesa membuka pintu masuk. Matanya membulat, tak hanya maminya, papinya dan kedua ayah ibu Jim ikut datang serta keponakan kecil Jim. Apa mereka berencana untuk reuni di apartemen kecilnya?

Orang-orang itu masuk bahkan tanpa permisi terlebih dulu. Luna dan Jim hanya melongo memandang dua wanita yang berpakaian glamour di usia yang tak lagi muda. Mereka meletakkan tumpukan tas belanjaan di atas sofa yang ditempati oleh Luna dan Jim sambil tertawa ringan, ala nyonya-nyonya yang bahagia setelah menghabiskan banyak uang.

Sementara kedua laki-laki yang sudah bersahabat dari zaman SMA itu sibuk dengan obrolan sambil bernostalgia.

Apa Luna dan Jim dianggap makhluk tak kasat mata sampai semua tamu tak menganggap mereka.

Luna mengamit maminya, berbisik pelan pada wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Mami, apa-apaan ini? Kenapa mami tak memberitahu dulu."

"Diam! Aku tak ingin kau membuat malu. Mami hanya ingin mereka tau kau dan Jim kembali bersama."

"Mami." Luna tak sempat membantah saat maminya memainkan peran dengan baik.

"Oke, sekarang saatnya makan malam."

Ibu Jim bertepuk tangan gembira, setelah itu, ekor matanya melirik anaknya yang hanya menatap tak berdaya.

"Penampilan barumu bagus. Dengan bulu di wajahmu kau akan lebih mirip orang utan."

Jim hanya mendengus, sementara Luna sempat terpancing tawa geli mendengar ujaran mertuanya itu.

"Bagaimana, Lun? Apa kami mendapat kabar baik?" Ibu Jim bertanya santai sambil mengeluarkan tiga kotak pizza. Sedangkan mami Luna tampak sibuk mengobrak-abrik isi dapur.

Luna belum selesai dengan keterkejutannya, saat suara keponakan Jim yang baru berumur delapan tahun mengalihkan perhatian serius se isi Ruangan.

"Oma, kamar tante Luna dan om Jim terpisah."

Bolehkah Luna menutup mulut anak itu? Tapi nanti saja, lihatlah wajah mami dan mertuanya yang memandang dia dan Jim dengan garang.

"Jadi kalian masih tidur terpisah? Kami mengira kalian sudah memiliki kemajuan, Apa kau tak mampu melakukannya Jim?" Ibu Jim memandang anaknya tajam. Sedangkan Jim terlihat datar dan tak peduli.

"Jim," bentak ibunya, dia kesal di abaikan oleh anak itu.

"Apa yang ibu bicarakan? Apa ibu tidak malu dengan pertanyaan yang ibu lontarkan?" Jim menahan suaranya. Sedangkan Luna hanya memijit kepalanya yang terasa semakin sakit.

"Kalian benar-benar." Ibu Jim menahan emosinya.

*****

Luna memandang pintu kamarnya, kening gadis itu mengernyit heran. Jim berdiri di sana dengan satu bantal dan satu selimut.

Luna cepat-cepat memakai cardigannya agar tubuh yang hanya dibalut baju tidur itu tersembunyi dari pandangan Jim.

Laki-laki itu hanya berdiri mematung di pintu kamar yang terbuka.

"Ada apa, Jim? Kau masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu." Luna merapatkan cardigan itu ketubuhnya.

"Mereka mengusirku," katanya datar tanpa ekspresi.

"Apa?"

"Kamarku sudah dikuasai ibuku dan mamimu. Sofa sudah ditempati ayah. Jika aku tak mau masuk ke sini, mereka akan mengikatku dan melemparku kedalam kamarmu."

Ini adalah kalimat terpanjang Jim.

Luna memang langsung meninggalkan orang-orang itu lebih awal dan masuk ke kamarnya. Mungkin di saat itu lah tragedi itu terjadi.

Lalu bagaimana sekarang? Sekamar dengan Jim? Ini lebih gawat dari mendapat mimpi buruk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status