แชร์

Enam

ผู้เขียน: Gleoriud
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2021-10-19 20:58:02

Luna bergerak gelisah di atas ranjang berseprai putih miliknya. Sungguh, matanya tidak bisa diajak bekerja sama. Dia mencoba merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya selama dua puluh empat jam ini.

Mendatangi Jim dengan tujuan mengakhiri pernikahan mereka tapi malah membuat laki-laki itu tinggal bersamanya. Rasanya semua ini tak masuk akal baginya. Selama ini mereka hidup dalam sandiwara, tiba saatnya episodenya dengan Jim harus berakhir, tapi kenapa semua malah dimulai dari awal lagi? Membawa Jim ke apartemen hanya akan membuat semuanya kembali rumit bagi mereka.

Luna tau, Jim dan dirinya bernasib sama. Ingin terlepas dari kekangan keluarga yang selalu memiliki aturan yang tidak masuk akal. Luna bahkan jarang pulang ke rumah orang tuanya. Karena jika dia bertemu orang tuanya, temanya tak jauh-jauh dari kata 'mami ingin cucu', mendengar itu rasanya Luna mau tertawa dan menangis bersamaan.

Siapa yang tak ingin memiliki anak. Wanita semurnya rata-rata sudah memiliki anak dua atau tiga. Namun dia sendiri masih tersegel dengan rapi. Belum ada secuil pun kulitnya disentuh oleh lawan jenis.

Luna juga ingin seperti orang lain, menikah secara normal dan memiliki anak, apa lagi anak tunggal sepertinya sangat diharapkan untuk memberi keturunan, perusahaan ayahnya butuh penerus. Tapi dia tak ingin mendapatkan itu semua dari Jim, demi apa pun, membayangkan laki-laki misterius itu saja Luna langsung kehilangan semangat.

Jim tak jauh berbeda, anak kedua dari dua bersaudara itu terlahir dari keluarga yang sangat kaya di negri ini. Tapi Jim lebih memilih mengasingkan diri bekerja di ruangan pengap dan tak masuk cahaya matahari. Selain editor entah editor apa, kemudian Jim mengidap mag kronis, dia tak tau lagi informasi lain yang berkaitan dengan laki-laki itu.

Luna bangun, merapikan rambut panjang terurainya, dari pada memikirkan Jim yang tak mungkin di usirnya dari apartemen dalam waktu dekat ini, karena pria itu sakit, lebih baik Luna membuka laptopnya dan memeriksa laporan penjualan perusahaan kecil miliknya.

"Mencari uang memang tak mudah." Luna mendesah lelah, saat keuntungan bulan ini hanya berkisar sepuluh persen. Dia perlu cara untuk menggaji karyawannya.

*****

Luna sudah siap dengan stelan kantornya. Baju blazer berwarna hitam dipadukan dengan rok bewarna putih dan jilbab putih juga. Entah kenapa, dia sangat menyukai warna putih. Yang jelas dia merasa percaya diri jika memakai warna itu.

Sepiring nasi goreng serta segelas susu sudah dihidangkan di atas meja makan. Luna harus mengisi perutnya supaya dia bertenaga mencari jalan keluar untuk perusahaannya.

Baru saja Luna menyuapkan nasi goreng itu ke mulutnya, pintu kamar mandi yang berada di dapur itu terbuka. Menampilkan Jim dengan penampilan barunya.

Wajah yang dipenuhi bulu liar itu sudah bersih, pria itu terlihat baru saja menyelesaikan ritual mandi dan bercukur. Sekarang dia memakai baju kaos polo bewarna putih dan celana jins selutut. Kenapa harus putih juga? Luna tak habis pikir, atau hanya kebetulan.

Seperti biasa, Jim hanya mengatupkan mulutnya walaupun matanya memandang Luna dengan lurus.

Luna merasa risih, Jim tak berniat meninggalkan dapur, dia hanya mematung bagaikan manekin di depan pintu kamar mandi.

Saat ini seakan Luna adalah tuan rumah yang pelit dengan makanan karena tak menawari pria itu. Sebenarnya bubur semalam masih ada dalam kulkas dan tinggal di panaskan.

"Duduklah! Kau harus mengisi perutmu sebelum meminum obat. Kau harus sehat Jim, supaya kita bisa kembali membicarakan pernikahan kita ini."

Jim tak menjawab, namun dengan pasti dia menarik salah satu kursi yang berhadapan dengan Luna.

Matanya melirik piring nasi goreng Luna. Sepertinya seleranya sedikit tergugah.

"Maaf, Jim. Untuk beberapa hari ini kau hanya boleh makan bubur. Begitu dokter berpesan padaku."

Luna bangkit dan memanaskan bubur ke dalam microwave. Sementara Jim duduk manis sambil mengamati punggung Luna yang bergerak lincah kesana kemari di dapur kecil itu.

Jim tak ingat, kapan terakhir kali dia memakan masakan rumahan. Dia akrab dengan mie instan dan makanan junk food lainnya.

Luna menghidangkan semangkok bubur itu di depan Jim dan dipandang Jim dengan antusias. Tanpa menunggu di persilahkan, Jim menyuap bubur itu ke mulutnya.

Jim tersedak, bubur itu sangat panas dan membuat lidahnya terbakar. Luna yang melihat wajah kesakitan Jim langsung menyodorkan air putih ke depan laki-laki itu.

"Kau ceroboh!" Luna menggeleng, lalu melanjutkan melahap nasi gorengnya.

"Aku harus ke kantor. Kuharap, kau bisa bekerja sama dan tidak merepotkanku. Jika kau selesai makan, aku harap walaupun kau tak mencucinya, setidaknya kumpulkan ke dalam westafel, tapi buang dulu sampahnya ke tong sampah. Jika bajumu kotor, kumpulkan ke dalam keranjang yang sudah tersedia di kamar mandi, dua hari sekali ada orang yang akan datang mencucinya. Kemudian, letakkan sesuatu pada tempatnya kembali. Remote TV letaknya bukan di atas sofa, jendela kamarmu juga harus dibuka supaya sirkulasi udara di dalamnya menjadi sehat. Dan satu lagi, rapikan tempat tidurmu setiap pagi, aku tak mau masuk ke dalam kamar yang sudah kau anggap kamarmu." Luna bangkit, mengambil salah satu sepatunya dari rak sepatu.

"Oh ya, Jika kau berniat keluar, kunci pintunya dan letakkan di bawah vas bunga yang ada di luar."

Luna kemudian pergi meninggalkan Jim yang menghela nafas dan tersenyum samar.

Sudah lama sekali, entah kapan terakhir kali, dia mendapatkan aturan dan perintah seperti itu. Luna tipe orang yang sangat nyinyir dengan kebersihan. Dia tau itu, gadis itu tak menyukai sesuatu yang terletak tidak pada tempatnya.

Jim kemudian meletakkan mangkok kotornya yang sudah kosong ke dalam westafel. Lalu tertarik membuka kulkas milik Luna.

Jim sejenak terbelalak, dia sempat menyelundupkan enam buah mie instan kemaren ke dalam kulkas itu. Tapi sekarang sudah di singkirkan Luna dari sana.

Jim menggaruk kepalanya. Mungkin mulai saat ini dia harus mengikuti aturan yang di buat istrinya itu.

Hati Jim menghangat, dia merasa benar-benar memiliki istri saat ini. Wanita itu memang baik, walaupun kesal dan tidak menyukainya, tapi dia bukanlah orang yang pendendam.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Sembilan ( End )

    Luna mematikan alarm yang berbunyi nyaring di atas meja yang bersebelahan dengan tempat tidurnya. Pukul lima subuh, suara adzan pun terdengar nyaring dari mesjid besar yang berada tak jauh dari apartemen. Luna menyentuh lengan Jim, walau mereka baru tidur jam dua dini hari, tapi kewajiban sebagai muslim harus ditunaikan tanpa kelalaian."Jim! Hei, bangun! Kita harus mandi.""Engh...." Jim menggeliat, membuka matanya yang sayu kemudian melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamar Luna."Ah! Padahal aku baru tidur beberapa jam.""Bangun!" Luna tak menyerah."Iya, baiklah!" Jim akhirnya memaksakan diri untuk bangun.*****Di tahun ke tujuh pernikahan mereka, atau tahun ke dua setelah tinggal bersama, banyak hal yang berubah, salah satunya Luna bertugas menjadi ibu rumah tangga dan perusahaan diserahkan ke pada Jim untuk mengelola dengan bantuan dari Luna. Mereka sudah memiliki cabang di kota kota lain, salah satu cabang yang tak kalah maju adalah yang berada di kota Surabaya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Delapan

    Luna menyesap sedikit teh hangat yang masih mengepul mengeluarkan asap. Sore yang dihiasi gerimis serta udara sejuk cukup membuat ke dua orang yang sedang duduk berhadapan di balkon kamar itu merasa rileks.Iya, beberapa hari sesudahnya, Jim memutuskan kembali ke apartemen Luna karena kondisinya yang mulai membaik. Tubuhnya sudah berfungsi sempurna, hanya saja belum bisa melakukan pekerjaan berat.Jim sampai di apartemen jam satu siang diantar oleh supir pribadi ibunya. Mertua Luna itu sempat mampir sebentar dan berbincang-bincang sejenak dengan Luna.Saat mertuanya datang, Luna menyambut dengan ramah, mempersilakan wanita itu duduk dan menghidangkan cake yang baru saja dibuatnya pagi ini. Berhubung hari libur, Luna hanya menghabiskan waktu di dapur dan mencoba resep baru yang baru didapatkannya di internet."Kau lebih cocok menjadi seorang koki," komentar Marta saat merasakan bagaimana cita rasa cake lembut yang melumer di mulutnya. Wanita itu, memang mewarisi bakat sang maminya yang

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Tujuh

    Luna menutup pintu ruangannya lalu menguncinya. Pada hari ini dia memutuskan untuk pulang lebih awal. Sejak hubungan mereka membaik, Jim berubah menjadi laki- laki yang cerewet dan menanyakan pertanyaan setiap saat pada Luna. Tak jauh-jauh dari 'di mana? Lagi apa? Udah makan belum?' atau yang paling menggelitik 'aku kangen', Luna merasa seperti remaja belasan tahun yang kasmaran. Sudah lima hari mereka tak bertemu, karena Luna bekerja ke luar kota selama lima hari itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perusahaan berjalan sangat baik, keuntungan bahkan meningkat menjadi tiga ratus persen. Semua tak lepas dari bantuan Jim, yang telah menyuntikkan dana membangun kembali perusahaan Luna yang hampir gulung tikar.Luna berjalan semangat ke parkiran mobil, senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya.*****Sepeti biasa, ibu Jim membuka pintu saat Luna mengetuk pintu rumah itu. Walaupun masih kaku, tapi ibu Jim tak pernah mengucapkan kalimat pedas seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Enam

    Luna kembali ke apartemennya setelah shalat subuh di rumah Jim. Minta izin sekilas pada ibu mertua dan bergegas ke apartemen untuk bersiap siap bekerja. Hari ini ada beberapa klien yang sudah memilki janji bertemu langsung dengan Luna.Jim pagi itu berusaha menahan Luna, merana masih merengek dan belum puas bersama istrinya itu, tapi berjanji akan sering berkunjung. Hal itu membuat Jim tak lagi ngotot.Pagi ini, Luna tak bisa menyembunyikan senyum dari wajahnya. Entah kenapa, hari ini berasa dipenuhi bunga bunga mekar yang mengeluarkan harum semerbak. Hal itu tak luput dari mata jeli Lia, wanita yang suka ingin tau itu menyipit melihat wajah Luna yang berseri seri."Kau memang lotre?"Luna langsung mengganti senyumnya dengan wajah kaku. Bisakah Lia tak mengganggunya saat ini? Tapi harapan tinggal hayalan. Wanita cantik bak model itu malah menutup pintu supaya pembicaraan semakin aman."Ada apa?pagi-pagi sudah kepo?" Luna pura-pura sibuk mengotak Atik komputernya."Tunggu, tunggu!" Lia

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Lima

    "Kesini lah, Lun! Peluk aku!"Luna merasa hatinya gemetar, matanya menahan kedip dan aliran darah yang berjalan sangat cepat. Tentu saja dia ingin memeluk suaminya itu, sudah lama kesempatan itu dinantikan olehnya, tapi seakan kakinya terpaku di lantai, Luna tak bergerak sedikitpun. Jim menunggu, menunggu reaksi Luna, tapi tampaknya penantian akan sia sia. Jim tak menunggu lama, dia mengayuh kursi rodanya dan menubruk pinggang ramping itu, Luna menyambut tak siap dan terdorong beberapa langkah."Ya Tuhan, kau terlalu lama berfikir." Jim berbisik lirih, laki-laki itu memejamkan matanya menikmati saat jemari Luna yang bergetar singgah di kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Tak ada yang bicara, masing-masing menikmati pelampiasan kerinduan secara sederhana, cukup satu pelukan dan detak jantung yang saling berpacu.Beberapa saat saling diam, Jim mulai buka suara kembali, menengadah menyelam ke mata Luna yang berkaca kaca. Ada kehangatan yang tak diutarakan di bola mata tegas milik wa

  • Ranjang Pengantin    Tiga Puluh Empat

    Hujan mengguyur kota Jakarta sejak dua jam yang lalu. Luna masih betah di kantornya padahal jarum jam sudah menunjukkan jam enam lewat dua puluh menit, para karyawan sudah pulang sejak jam empat sore tadi. Entah mengapa, Luna merasa lebih betah di kantor dari pada pulang ke Apartemen dan mendapati apartemen yang kosong. Ini sudah terhitung dua hari Jim tinggal di rumah Marta, dan sampai saat ini Luna belum berkesempatan untuk mengunjungi suaminya itu.Luna mengintip ke jendela kaca yang berembun, di luar sudah tampak gelap karena matahari mulai menyelinap ke peraduan, Luna mendesah tak semangat. Rindu? Tentu saja, setiap detik dia memikirkan Jim, namun bukan Luna namanya jika bisa langsung menampakan ekspresi secara berlebihan. Lia lah yang paling peka, sahabat satu satunya yang memahami Luna itu lebih banyak mengomel hari ini."Jangan kebanyakan gengsi, kalau rindu ya kunjungi, peluk sepuasnya dan bercinta setelahnya."Luna tak menghiraukan ocehan tanpa filter Lia."Kau tampak men

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status