MasukSeperti yang diduga, seseorang mengucap salam dari depan. Tanpa melihat Bening sudah tahu siapa yang datang. Bedanya hari ini dia datang sendiri. Tanpa ibu mertua juga mbaknya.
"Mana mas Iman?" Tanya Ifa, adik Iman yang baru kelas 1 SMA. "Memang nggak ada di rumahmu?" Tanya Bening acuh. Dia sedang repot menyuapi Riki makan. "Nggak ada. Mana mas Iman?" Tanyanya tak sabar. "Nggak tahu. Tadi keluar." Rupanya Iman tak pergi ke rumah ibunya yang hanya berjarak 10 menit dari sini, lalu kemana perginya pria itu. "Aduh kemana mas Iman ini!" Ifa jadi merengek. "Memang kenapa?" Terpaksa Bening menoleh karena risih mendengar suara rengekan itu. "Mau minta uang buat sekolah." "Bukannya ini hari minggu. Ngapain ke sekolah?" "Mau ekskul." "Telpon aja mas mu, mungkin beli rokok diluar." Ifa lalu mengambil ponselnya dan menelpon Iman tapi sayang sambungannya tak terangkat. "Duh, gimana ini! Mas Iman nggak ngangkat." Bening memilih tak menjawab karena sibuk dengan anak-anaknya. Sedangkan Ifa jadi mondar mandir tak jelas. "Kalau nggak dibayar nanti Ifa nggak bisa ikut ekskul itu." Ucapnya lagi sambil merengek. Sengaja kaki itu dihentak-hentakkan, tapi tetap saja Bening tak bergeming. Ifa lalu menuju ruang makan dan berkeliling membuka kulkas, tutup kuali yang ada di kompor dan terakhir tudung saji. Tak terdengar suara, rupanya Ifa tengah makan. "Kemana mas Iman, mbak? Kok belum pulang?" Tanya Ifa setelah selesai menyantap sarapan. "Sudah kamu telpon lagi?" Ifa mencoba menelpon lagi sambil masuk dari kamar ke kamar. Bening sendiri menuju dapur untuk mencuci piring. "Ya ampun.. apa dia nggak pernah belajar bertamu?" Bening jadi kesal. Ifa ini sudah pernah ditegurnya. Bekas makan itu langsung taruh di tempat cucian, kalau tidak mau mencucinya ya biarkan saja. Tapi ini, piring dan bekas makan berserakan dimana-dimana. Jika ditegur lagi, Ifa akan merajuk dan mengadu yang tidak-tidak. Sambil mencuci piring, Ifa memburu Bening di dapur. "Ifa ke sekolah dulu ya, mbak." Bening hanya berdeham. Sesuai dugaan Bening, ternyata Iman keluar untuk membeli rokok di warung depan. Kebetulan ada warung manisan di depan gang, jadi Iman mampir membeli rokok sekalian beli sarapan. Perut ini lapar sekali. Tapi, Bening malah mengomel. Harusnya Iman yang marah-marah padanya, lah kenapa jadi Iman yang balik dimarahinya. Jika Iman ikut mengasuh anak-anak dan mengerjakan pekerjaan rumah nanti apa kata dunia? Sudah tahu wanita itu tugasnya dapur, sumur dan kasur. Jika itu saja dibantu pria, terus mereka tugasnya apa? Hah! Iman jadi mendengkus kesal. Lebih baik sarapan nasi uduk saja disini. "Nasi uduknya satu, bi!" Iman menoleh mendengar suara familiar itu, rupanya Inah membeli sarapan. Berbekal jaket dengan celana pendek, remaja ini keluar dengan wajah ngantuknya. "Eh.. ada mas Iman!" Inah baru sadar ada majikannya sedang sarapan. Iman berdeham. "Bi, nggak usah ambil uangnya. Biar aku yang bayar nasinya Inah!" "Wah.. terima kasih ya mas Iman." Inah tersenyum senang, lumayan pagi ini dia bisa makan gratis. Jadi uangnya bisa dipakai untuk tambahan beli kuota. "Hmm.. sama-sama." Iman hanya memandangi Inah yang mulai berjalan menjauh. Gadis itu senang sekali memakai celana pendek sebatas lutut. Jika dilihat dari belakang, pinggulnya tertampak jelas. Dasar gadis desa! Harusnya dia tak berpakaian seperti itu selama disini. Bisa jadi ada yang berniat jahat. Pulang ke rumah, Iman mendapati rumah masih berantakan. Biasa, Raka suka menghamburkan mainannya di tengah rumah. Sedangkan Bening tengah memandikan Riki. "Tadi ada Ifa kemari." Seru Bening dari dalam kamar mandi. "Ifa? Ngapain?" Sahut Iman malas yang sebenarnya masih marah pada istrinya. "Minta uang, buat ekskul katanya." "Kamu kasih?" "Ya, enggaklah!" Bening memakaikan handuk pada anaknya dan berlalu ke kamar. "Kenapa nggak kamu kasih?" Iman jadi memburu istrinya ke kamar. "Nggak punya uang, mas. Aku belum gajian." "Ya ampun, Bening. Memangnya berapa banyak banget sih dia mau minta. Paling nggak sampe 50 ribu!" Gerutu Iman. Istrinya ini makin kesini semakin pelit. "Katamu begitu! Tapi uangnya bisa kupakai untuk beli diapers. Kamu kan semalam bilang kalau harus hemat-hemat sampai aku gajian!" Iman berdecak. Dia langsung menuju pintu kamar. "Mas sudah sarapan?" Tanya Bening sambil memakaikan baju pada anaknya. "Sudah. Mau mandi dulu." "Sekalian mas tolong.." pinta Bening sambil tersenyum. "Kak Raka juga ajak mandi." "Kamu aja kenapa mandiinnya? Nggak bisa?" Iman kesal lagi. "Aku mau makan sebentar aja.. perutku laper banget." Iman mengibaskan tangannya. "Ngerepotin banget. Aku mau mandi terus tidur. Jangan diganggu!" Iman langsung keluar dan menuju kamar mandi. Sementara, Bening merasa sakit hati lagi. Kapan sih suaminya ini bisa dimintai tolong? Jawabannya selalu merepotkan. Apa dia nggak mau tahu keadaan istri dan anak-anaknya ini bagaimana? Apa memang semua pria itu seperti ini? Setelah membuahi, lalu lepas tanggung jawab untuk ikut andil pengasuhan anaknya. Sudahlah. Bening hanya bisa minta diluaskan hatinya supaya sabar terus menerus. Oleh karena hari libur, Iman mengurung dirinya di kamar. Sementara, Bening sibuk mengurus rumah dan anak-anak. Itu karena Raka dan Riki senang jika Bening tak bekerja. Mereka malah mengajak bundanya bermian seharian. Selesai bermain, ketiganya tidur bersama di kamar. Tapi Iman tetap tega membangunkan istrinya. Alasannya minta disiapkan makan siang. Padahal lauk sudah masak, tinggal dimakan saja. Namun ini Iman. Raja berkedok kepala keluarga. Dia suka memerintah dan minta dilayani. Mana mau tahu dia sedang apa istrinya, mau sibuk atau tidak, yang penting Iman nomor satu. Bening mati-matian menahan rasa jengkelnya. Padahal mata ini mengantuk sekali, rasanya baru terlelap sebentar namun suaminya mengganggu. Tapi tahan.. melayani suami berbalas pahala. Bening hanya mengharapkan itu. Karena masih perang dingin, Iman tak mau dekat-dekat istrinya. Maunya itu Bening datang sendiri, meminta maaf dan mencium tangannya. Lalu melayani di atas ranjang. Tapi yang ada Bening malah bergelut bersama anak-anaknya yang berisik itu. Sudah dua hari perang dingin, Bening terpaksa mengalah. Tak baik juga bertengkar lama-lama. Dosa! "Mas sudah makan?" Tanya Bening lembut. Basa basi saja, karena ia tahu suaminya baru pulang bekerja. Iman berdeham. "Belum." "Aku siapin makan, ya." "Nanti aja. Nggak laper. Mau mandi dulu!" Iman melingkarkan handuk di lehernya, namun tangannya tertahan ketika ia ingin ke kamar mandi. "Maafin aku ya, mas.. aku keras sama kamu kemarin.." ucap Bening lagi. Iman menatap wajah ayu itu. Ia juga tak kuat jikalau lama-lama bermusuhan dengan istrinya. "Aku juga minta maaf.. aku kemarin nggak ngertiin kamu." Kata Iman akhirnya. Bening tersenyum dan memeluk suaminya. Kesempatan bagi Iman! Dia mengintip jika kedua anaknya tengah bermain mobil-mobilan. Sebentar saja, 10 menit. Iman berjanji tak akan lama. Bening dibawanya ke ranjang dan direbahkan. Keduanya lalu berbagi keringat yang sama dengan penyatuan tubuh. Untung saja ini bisa diselesaikan dengan cepat, karena kalau terlalu lama, dua jagoan itu akan memprotes kepada dirinya.Seperti yang diduga, seseorang mengucap salam dari depan. Tanpa melihat Bening sudah tahu siapa yang datang. Bedanya hari ini dia datang sendiri. Tanpa ibu mertua juga mbaknya."Mana mas Iman?" Tanya Ifa, adik Iman yang baru kelas 1 SMA."Memang nggak ada di rumahmu?" Tanya Bening acuh. Dia sedang repot menyuapi Riki makan."Nggak ada. Mana mas Iman?" Tanyanya tak sabar."Nggak tahu. Tadi keluar."Rupanya Iman tak pergi ke rumah ibunya yang hanya berjarak 10 menit dari sini, lalu kemana perginya pria itu."Aduh kemana mas Iman ini!" Ifa jadi merengek."Memang kenapa?" Terpaksa Bening menoleh karena risih mendengar suara rengekan itu."Mau minta uang buat sekolah.""Bukannya ini hari minggu. Ngapain ke sekolah?""Mau ekskul.""Telpon aja mas mu, mungkin beli rokok diluar."Ifa lalu mengambil ponselnya dan menelpon Iman tapi sayang sambungannya tak terangkat."Duh, gimana ini! Mas Iman nggak ngangkat."Bening memilih tak menjawab karena sibuk dengan anak-anaknya. Sedangkan Ifa jadi mond
"Tahan.. Tahan.. Iman harus kuat!" Iman tidak boleh goyah hanya gara-gara melihat paha mulus milik pengasuhnya.Astaga! Sudah terlalu lama tidak mendapat jatah membuat benda tumpul ini menantang ketika melihat milik orang lain.Gara-gara inilah membuat Iman jadi sakit kepala. Bermaksud ingin tidur tapi gairahnya bangkit. Nah, lebih baik dia pergi saja ke kampus dan mengerjakan sesuatu.Nanti pulangnya agak sore saja menunggu Bening sampai ke rumah. Sampai senja menyapa, Iman baru pulang. Untunglah sudah tidak ada Inah si pengasuh seksi itu lagi. Tinggal istri dan dua anak super aktifnya saja.Malam ini, Iman bermaksud meminta jatah setelah beberapa hari gagal. Ada saja gangguan.Mumpung ini malam minggu, Iman ingin meminta haknya. Besok libur juga, kan? Kesempatan bangun siang.Berbeda dengan pikiran suaminya, bagi Bening setiap hari itu sama saja. Dia harus bergelut dengan pekerjaan rumah dan pengasuhan. Sudah banyak pekerjaan di sekolah, bukannya berkurang ketika sampai di rumah, be
"Ibu??" Iman keheranan. "Irma? Lah kok malam-malam kemari? Terus kenapa ini pada menangis?"Iman memundurkan sedikit tubuhnya hingga kedua wanita ini bisa masuk."Duduk dulu. Ada apa ini? Terus dimana Ifa?""Ifa tinggal di rumah." Jawab Irma."Ayo cerita. Kenapa ibu menangis begitu?"Wati dan Irma saling melirik, seperti kebingungan siapa yang akan memulai terlebih dahulu. Bening juga keluar dari kamar anaknya. Untunglah Riki tertidur lagi setelah disusui."Ibu, Irma.." sapa Bening dan menyalimi mertua dan adik iparnya. "Apa kabar?""Begitulah, nak." Sahut Wati sedih."Aku buatkan minum dulu." Bening lalu ke dapur untuk membuat minuman, sementara Iman mendesak ibunya untuk bercerita."Ada masalah apa ini? Kenapa ibu sampai menangis begini?" Kalau tidak penting, tak mungkin Wati dan Irma ke rumah Iman malam-malam begini."Suami adikmu ketahuan mencuri.""Hah?" Iman lalu menatap Irma. "Ini beneran? Mencuri dimana?""Mencuri di toko, mas. Kak Cecep ngambil minuman sampai 50 dus terus dij
Sudah satu jam Iman menunggu di kamar, tanda-tanda istrinya muncul belum ada. Ah, terpaksa Iman menyusul kalau begini. Jangan sampai dia kalah lagi dari anak-anaknya.Nasib memiliki dua anak laki-laki, Iman harus rela jika Bening di sabotase kedua anaknya. Sampai iman merasa perhatian Bening terfokus pada anak-anaknya saja. Apalagi Raka dan Riki ini posesif sekali kepada bundanya. Iman saja sering dipukul kalau terlalu dekat dengan bundanya.Iman mengintip dari sela pintu. Ya, Tuhan! Iman sampai mengelus dada. Ditunggu dari tadi di kamar tak kira Bening sudah selesai menyusuinya. Rupanya, Bening malah tidur.Dengan mengendap-endap, Iman masuk. Jangan sampai langkah kaki ini membangunkan dua jagoan, terutama Riki yang level rewelnya sempurna."Ning.. Bening.." panggil Iman menggoyangkan sedikit kaki istrinya.Bukannya bangun, suara dengkuran Bening makin terdengar. Terpaksa Iman memilih untuk memencet jempol kaki istrinya sampai Bening menjerit.Iman melotot! Riki sampai bangun dan men
"Aku nggak mau melayanimu!" Ucap Bening sambil menepis tangan suaminya yang mulai membelainya.Bukannya merinding, Bening malah risih. Dia bahkan menggeser tubuhnya sedikit lebih jauh."Sudah dua minggu aku nggak dapat jatah, Bening!" Yang benar saja."Apa kamu nggak lihat aku lagi ngapain?" Bening sampai mendelik kesal. Anaknya yang berusia 7 bulan ini sedang menyusu, tapi suaminya malah datang ingin meminta jatah. Lelah ini belum mendapatkan pelampiasan untuk beristirahat. Suaminya malah main ingin kuda-kudaan saja."Ah, kamu ini! Terus saja kamu menolakku! Nanti aku cari perempuan lain baru tahu rasa kamu!" Iman jadi kesal."Ya.. cari aja sana wanita yang mau menuruti nafsu besarmu!"Iman langsung keluar dari kamar anaknya dan pergi ke kamarnya sendiri.Dua minggu! Ya Tuhan.. Iman ini pria produktif. Umurnya baru 30 tahun ini, gairahnya sedang menggelora. Tapi ia tak bisa menyalurkan hasratnya karena Bening yang selalu menolak.Ada saja alasannya. Lelah! Ngantuk! Lampu merah! Hijau







