Masuk"Ning! Bening!"
Nada Iman sampai naik satu tingkat karena Bening tak menjawab panggilannya. Padahal bukan tidak dijawab tapi karena Bening tengah di begal oleh Riki. Dari jam 3 malam sampai jam 6 ini maunya nyusu saja. Bening sudah berulang kali menina bobokannya bahkan terakhir diberi makan pukul 5 subuh. Tapi Riki masih ingin menempel pada bundanya. "Ya, mas?" "Kamu ini aku panggil dari tadi bukannya nyaut malah tidur!" Ucap Iman ketika melihat Bening tengah berbaring menyusui Riki. "Aku bukan tidur! Anakmu ini rewel semalaman!" Bening berbisik dengan kuat. "Kenapa?" Buat mood Bening tambah anjlok saja suaminya ini. "Baju kerjaku belum kamu setrika?" "Ini hari apa?" "Rabu. Aku pakai baju putih pdh." "Ya Allah.. belum ku setrika, mas. Bentar aku nidurin Riki dulu." "Cepat! Ini udah jam 6!" Mata Bening sampai melotot gara-gara gerutuan suaminya. Setelah menyusui dan aman. Bening menyetrika pakaian kerja suaminya dulu. Setelah itu baru memasak. Baru saja kabel listrik disambungkan, Riki sudah menangis lagi. "Ya ampun.. ada masalah apa lagi anak itu!" Bening ingin menangis saja. Semalaman, Bening menimang putranya. Tapi sampai sekarang Riki belum tenang juga. Terpaksa Riki digendong lalu diserahkannya pada Iman yang baru selesai mandi. "Tolong pegang sebentar." Bening meletakkan Riki yang menangis di gendongan suaminya. "Aku mau siap-siap ngajar, Bening!" "Bajunya juga belum kusetrika. Tunggu sebentar!" Bening lalu buru-buru menyetrika pakaian suaminya. Oh, sungguh pagi yang melelahkan. "Kamu kenapa sih nangis terus semalaman? Heran! Beda banget dengan kakakmu!" Iman ikut kesal dengan Riki, bukannya diam dalam gendongan ayahnya, Riki malah menangis hebat hingga Iman harus mengajaknya keluar dari rumah. Mungkin angin pagi bisa menenangkan jiwanya. Setelah menyetrika, secepat kilat Iman memberikan lagi anaknya pada Bening. Padahal, Bening belum membuat sarapan sama sekali. "Mas.. kamu beli sarapan dulu deh di warung depan. Aku nggak bisa masak karena harus menimang Riki." Pinta Bening. "Ya ampun, Bening. Aku udah telat! Ini sudah jam berapa coba?" "Ya ampun, mas.." balas Bening sama geramnya. "Ini baru jam setengah 7. Kamu masih punya banyak waktu. Ayolah bentar doang!" "Ah, kamu ini ngerepotin banget!" Sudah bisa Bening tebak kata-kata yang akan dikeluarkan suaminya. "Ya udah. Nih timang Riki bentar, aku buat nasi goreng dulu." "Nggak, ah. Bukannya makin tenang, dia makin nangis sama aku!" Tolak Iman mentah-mentah. "Itu karena jiwamu yang nggak tenang makanya anak kecil bisa merasakannya!" Balas Bening. "Jadi mau beli sarapan atau aku masakin? Kalau mau dimasakin, kamu gendong dulu Riki." Kalau sudah begitu, Iman pasrah saja. Dia kembali menggendong Riki sambil mengatur nafasnya. Tarik nafas panjang lalu hembuskan. Mungkin benar yang dikatakan Bening. Bawaan Iman yang kesal mempengaruhi Riki. Sekarang Riki malah tenang dalam gendongannya. Drama pagi ini selesai, Iman pergi bekerja setelah menyantap nasi gorengnya. Tak lama Inah datang untuk mengasuh. "Mbak nggak sempet mandiin anak-anak. Tolong mandiin ya, nah. Sekalian kalau kakak mau makan, ceplokin telur aja! Mbak nggak sempet masak juga! Terus adek kasih bubur fortif aja sementara." Inah mendengarkan petuah dari Bening lalu mengangguk. "Siap, mbak." "Kamu udah sarapan?" Tanya Bening sambil memakai hijab. "Belum, mbak." Hari ini pun Inah sama kesiangannya. "Itu ada nasi goreng kalau mau sarapan. Di lemari juga ada mie instan. Jangan segan buat makan, ya!" Inah tersenyum senang. "Makasih banyak, mbak." "Mbak pergi dulu kalau begitu." Bening lalu berpamitan dengan kedua anaknya. Seperti biasa, Riki akan membuat drama dengan menangis histeris karena tak mau ditinggal bundanya. Bening harus menguatkan hatinya. Bisa-bisa dia tak bisa bekerja karena meladeni kesedihan anaknya. Hari ini, Iman mengajar dengan jadwal yang cukup padat. Diapun hanya memiliki waktu istirahat 1 jam. "Ya ampun.." Iman sampai menepuk jidatnya. "Bening ini nggak ngebekalin aku makan siang!" Ah, Iman jadi kesal lagi. Terlebih mengingat kehebohan tadi pagi. Hatinya jadi mangkel. "Apa aku makan di kantin aja, ya?" Dari pada lapar, Iman akhirnya keluar menuju kantin fakultas. Tapi ia cepat berbalik ketika melihat banyak mahasiswa yang nongkrong disana. Gengsi dong kalau Iman bergabung dengan mereka. Iman kan dosen! Iman memilih untuk pulang ke rumah. Bisa jadi Bening tadi memasak untuk makan siang. Bening kan rajin! "Nah, mas Iman pulang?" Tanya Inah sambil membuka pintu. "Iya. Mau makan siang. Bening masak apa?" "Nggak masak." "Apa?" Dahi Iman sampai mengernyit. "Jadi anak-anak makan apa?" "Kak Raka makan telur, Riki makan bubur instan." Iman lalu menggelengkan kepalanya. Padahal, ia berniat makan masakan istrinya tapi rupanya Bening malah tak memasak. "Anak-anak mana?" "Baru aja tidur. Abis makan siang." Kesempatan Inah juga untuk beristirahat, tapi rupanya Iman malah datang. "Kamu bisa masak?" Tanya Iman. "Masak apa dulu nih?" "Apa aja lah. Telur goreng atau mie goreng. Perutku lapar." "Bisa." Inah sudah memasang kuda-kuda untuk menolak perintah Iman. "Masakin aku mie campur telur goreng. Nggak pake lama." "Hah?" Mulut Inah sampai terbuka. Tugasnya kan hanya mengurus anak-anak, bukan ayahnya anak-anak. "Nggak usah banyak bengong, Inah! Masakin sekarang. Biar aku yang jaga anak-anak." Iman langsung masuk ke kamar anaknya. Sambil cemberut, Inah ke dapur untuk memasak pesanan Iman. Kebetulan perut ini lapar, Inah juga masak untuk dirinya sekalian. Setelah itu ia menghidangkan dua piring makanan. "Mas, makanannya udah siap." Iman menuju kursi makan dan mulai menyantap makanannya. Astaga! Iman sampai langsung meneguk minuman. Asin sekali! "Asin banget, nah! Kamu masukin semua bumbunya??" Gerutu Iman sambil melihat Inah yang tengah makan di depan televisi. "Iya. Biar sedep!" Inah tak perduli. Dia tetap makan dengan duduk bersila dilantai. Paha mulusnya kembali tersingkap karena celana pendek yang dipakainya. Ya, baiknya Iman memang tidak usah mencela makanan dulu. Dari pada cacingnya di perutnya semakin mengkriuk, lebih baik diberi makan apa yang ada saja. Selesai makan, Iman menaruh bekas makan di meja. Tak berniatnya membawa ke tempat cucian piring. Ia lalu ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan mengambil wudhu. Ketika keluar dari kamar mandi menuju ruang tengah, Iman malah tak sengaja bertabrakan dengan Inah. Hampir saja Inah terjatuh jika Iman tak memegangnya. Ah, bukan memegang. Tangan Iman malah mampir mendekap pinggang Inah yang ramping hingga kedua dada itu saling menempel. "Maaf, mas!" Inah langsung melepaskan diri. "Makanya jalan lihat-lihat. Matanya ke hape aja! Wudhu mas batal karena kamu!" "Iya, maaf." Jawab Inah sambil manyun. Iman hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Inah. Anak ini masih kecil sekali. Ia lalu pergi lagi mengambil wudhu sambil melirik Inah yang sedang mencuci piring. Badan Inah tak seperti remaja pada umumnya. Lebih padat berisi. Ketika mereka tadi saling menempel. Iman malah merasa ada tegangan yang mengaliri darahnya. Ah! Itu pasti karena dua benda kenyal yang menyentuhnya tadi. "Astaga! Aku ini sedang mengambil air wudhu.." bisa-bisanya Iman bermaksiat ketika sedang mensucikan diri. "Benar-benar menggoda iman!"Setelah beberapa hari tinggal di kota, Bening kembali bekerja di kantor arsitektur milik Reyhan dan Fandi sekaligus mengurus pendaftaran sekolah anak semata wayangnya.Dalam kurun waktu 2 bulan, Raka akan bersekolah di TK Aisyah. Merajut mimpi yang sebelumnya sempat berhenti karena musibah yang mereka alami."Selamat datang kembali, Bening.." ucap Sintia tersenyum manis."Terima kasih. Mudah-mudahan kamu tidak bosan mengajariku soal pekerjaan disini." Balas Bening sama manisnya."Ah.. itu! Siap-siap saja kamu akan sibuk.""Kenapa begitu?""Sekarang banyak klien yang mengambil jasa desain dari sini. Yang terbaru pemerintah daerah mengajak kerja sama dengan kita.""Dalam hal apa?""Mendesain perpustakaan. Kamu tahu kan kalau perpustakaan daerah kita sedang di renovasi?"Bening menggeleng. Dia sungguh tak tahu kabar."Rencananya perpustakaan itu akan dijadikan perpustakaan akbar. Jadi, bang Reyhan dan bang Fandi yang akan mendesainnya.""Wah, hebat sekali.." Bening jadi takjub. Dalam sat
Satu tahun kemudian...Selepas kepergian Iman, kehidupan Wati dan keluarganya banyak sekali mengalami perubahan. Dimas yang pemalas dan hanya mengharapkan harta orang tuanya kini bekerja sebagai ojek online. Begitu juga dengan Irma yang ikut membantu perekonomian keluarga dengan berjualan manisan di depan rumahnya. Sementara Ifa, terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena keterbatasan biaya.Dulu ketika Iman hidup, Iman lah yang bertugas memberikan nahkah kepada keluarga ini. Tapi setelah Iman sudah tidak ada lagi, mereka berjuang untuk bertahan hidup. Mengais rupiah demi rupiah untuk menyambung kehidupan mereka.Di penjara, Cahaya juga menebus dosa-dosanya. Ternyata wajah cantik itu tak menjamin hati seseorang. Ia didakwa karena terbukti melakukan penganiayaan pada anak kecil. Tak hanya di penjara, Cahaya juga resmi kehilangan pekerjaan serta izin prakteknya. Kakak Cahaya yang terlibat dalam pelenyapan Iman juga sudah mendapatkan masing-masing hukuman.Namun satu kejutan yang
Iman memang ke kantor polisi. Tapi bukan untuk menyelamatkan istrinya. Melainkan memberi keterangan yang selama ini ia pendam sendiri. Mulai dari memar yang waktu itu ada di pelipis kanan anaknya, lalu Raka yang tak terurus dengan baik dimana Raka selalu mengadu tidak pernah dikasih makan.Bodohnya Iman yang selalu mengabaikan keluhan anaknya. Dia yang sibuk mencari nafkah diluar, mengaku jika kurang memberikan perhatian pada putranya. Ia juga tak bermaksud menyalahkan Cahaya, karena Iman sebenarnya sama saja.Keterangan dikantongi, para kakak Cahaya meradang setelah mendengar pengakuan Iman. Setelah itu, Cahaya dimintai keterangan lagi. Namun, wanita licik ini tetap tak mengaku dan meraung-raung minta dilepaskan.Sementara, Iman menuju rumah sakit dimana Raka dirawat. Sesampainya disana, dia bertemu dengan Bening dan dua mantan mertuanya."Mau apa lagi kamu kesini, mas?" Tanya Bening dingin."Aku hanya ingin melihat Raka. Apa kabarnya?""Buruk sekali. Anakku bahkan harus menjalani te
"Kenapa kamu kembali lagi, Ning?" Tanya Wati gugup bukan main. Oleh karena emosi, dia jadi mengeluarkan ucapan yang harusnya sampai mati disimpannya."Aku minta kalian mengatakan semuanya dengan jujur. Apa hubungan Ifa dengan kematian Riki?" Tanya Bening bergetar memandang tiga orang yang memiliki hubungan darah ini."Bukan apa-apa. Kamu salah dengar." Jawab Iman sembari memandang ke arah lain."Aku tidak salah dengar, mas. Kalian bilang jika Ifa yang menyebabkan Riki terjatuh! Sekarang jawab semuanya!" Teriak Bening histeris. Raka sendiri memanggil bundanya ketika Bening menangis."Mbak Bening.." panggil Irma. "Ifa yang menyebabkan Riki terjatuh.""Apa?"Sekarang semua mata tertuju pada Irma. Wati bahkan tak tahan untuk menegurnya."Mau sampai kapan kita menyembunyikan semuanya, bu?" Tanya Irma hampir terisak. "Mbak Bening nggak bersalah tapi dia menerima hukumannya. Begitu juga dengan mas Iman yang membiarkan rahasia ini terjaga untuk melindungi Ifa dari jerat hukum.""Irma, jelaska
"Raka!" Teriak Bening histeris ketika melihat Raka terjatuh tak sadarkan diri.Dia lalu meraih tubuh anaknya yang melemah. Sebelum Raka menutup mata, Raka sempat menatap bundanya dan mengaduh lemah."Sayang.."panggil Bening sambil menangis.Reyhan yang menyaksikan adegan mengerikan itu ikut turun dari mobil dan memburu keduanya."Kita bawa anakmu ke rumah sakit sekarang." Seru Reyhan. Dia lalu membawa Raka masuk ke dalam mobilnya.Sementara, Cahaya terdiam dengan tubuh menegang. Setan apa yang tadi memasukinya sampai ia begitu marah kepada anak tirinya."Bening!" Panggil Iman yang baru tiba. Dia bergegas turun dari motor dan menghampiri Bening yang membukakan pintu mobil kepada seorang pria yang tengah menggendong anaknya. "Raka mau dibawa kemana??!"Bening menutup pintu tersebut dan beralih membuka pintu bagian depan. Namun lengannya ditahan oleh Iman."Mau kemana, Bening?" Teriak Iman kesal."Tanya pada istrimu itu!" Bentak Bening sama kesalnya. Ia lalu masuk ke dalam mobil dan Reyh
Bening bersyukur karena Raina mengizinkannya untuk mengundurkan diri dari toko Amara florist. Padahal, Bening belum ada satu bulan bekerja di toko ini."Nanti gajimu akan ku transfer.""Aduh, nggak usah, mbak. Aku kan belum sebulan juga kerja disini." Jawab Bening tak enak hati."Terus aku nggak perlu membayar tenagamu?" Raina tersenyum tulus. "Tenang saja. Aku nggak perhitungan, kok."Bening ikut membalas Raina dengan senyuman. Syukurlah di dunia ini, Bening masih bertemu dengan orang-orang baik.Selesai berpamitan dan bekerja untuk terakhir kalinya di toko bunga ini. Besoknya Bening bekerja di kantor milik Reyhan. Ada seorang wanita yang bernama Sintia yang mengajarkan mengenai pekerjaan Bening disini.Untunglah, Sintia, Fandi dan pegawai lainnya ramah kepadanya hingga membuat Bening merasa nyaman."Bagaimana hari pertama bekerja, Bening? Apa ada masalah?" Tanya Reyhan baru datang siang itu."Alhamdulillah nggak ada. Semua orang disini mengajariku dengan baik.""Baguslah kalau begit







