Mengingat semua masa lalu itu, entah mengapa tangan Karin mendadak tremor, gemetar kini ia rasakan, tak lama foto itu jatuh dari tangannya tanpa bisa ia cegah.Sejenak Karin membiarkan rasa gemetar menguasai tubuhnya, tak lama, ia mengusap wajahnya kasar, berusaha untuk menenangkan dirinya kembali."Mungkin aku sendiri yang harus membicarakan hal ini dengan Vania," ucap Karin setengah berbisik.***Dua bulan berlalu sejak liburan Vania di Bali bersama Rendi. Sejak kepulangan mereka dari pulau dewata itu, entah mengapa Vania merasa jika kini Rendi seakan mulai menjaga jarak dengannya. Awalnya Vania merasa jika itu hanya perasaan dirinya saja, Namun, saat mengingat intensitas kunjungan Rendi ke rumahnya yang hanya sekarang bisa dihitung dengan jari, membuat wanita itu mulai berpikiran buruk tentangnya.Tak dapat dipungkiri jika sekarang rasa cinta itu mulai tumbuh di hati Vania, apalagi setelah mereka menikmati indahnya kebersamaan di Bali. Bayangan percintaan mereka yang begitu panas
"Apa kedatangan mbak hanya untuk memastikan kehamilanku?" Tanya Vania yang tampak keberatan.Karin mengangguk."Iya, aku sangat ingin mendengar kabar kehamilanmu Vania," tutur Karin jujur lalu tersenyum. Entah mengapa Vania bisa merasakan sesuatu yang mengganjal dari senyuman Karin yang tampak mengerikan itu."***Sepeninggal Karin, Vania tampak melamun di kamarnya, pembicaraan singkat dengan kakak madunya itu tak pelak mengganggu pikirannya. Vania yakin ada sesuatu hal yang disembunyikan Karin darinya ketika bertanya perihal kehamilannya tersebut.Berulang kali ia memeras otaknya, memikirkan hal yang kira kira terjadi padanya andai tadi ia mengaku, Namun, tetap saja, ia tak menemukan alasan kuat mengapa Karin bertanya seperti itu.Seperti yang sudah Vania ketahui, hubungan Rendi dan Karin baik baik saja, mereka selalu tampak rukun dan mesra dihadapannya. Terkadang melihat keintiman mereka berdua, tak pelak menimbulkan rasa cemburu di hati Vania.Haruskah ia memberitahukan kehamilannya
"Pantas saja," ujar Vania dengan wajah datar. Lalu meraih jus apel diatas meja yang tadi di bawa Sumi untuknya."Lalu kau sendiri, ada urusan apa mencariku?" Tanya Vania tak sabar sambil menyesap jus yang ada di tangannya."Kangen!" Jawab Rendi pendek, Namun sukses membuat Vania menyemburkan jus apel yang baru saja hendak di reguknya.****Gio memandang gadis dihadapannya dengan wajah datar, tanpa ekspresi. Sejak tadi telinganya terus saja mendengar gadis bicara tanpa henti, membuatnya jenuh.Sesekali tampak tangannya mengetuk-ngetuk meja, tak ada ucapan yang keluar dari bibirnya selain helaan nafasnya yang terdengar berat. Mereka berdua duduk di sebuah kafe yang berada tak jauh dari tempat kerja Gio. Mata gadis itu sayu memandang kearahnya namun tak membuat Gio terpengaruh."Apa kau sudah selesai bicara, Sabrina?" Ujar Gio sambil melirik jam di pergelangan tangannya."Gio, jangan mengabaikanku seperti ini, kumohon beri aku kesempatan sekali saja, aku janji akan berubah," rengek gadi
"Jangan pernah menganggu Vania, atau kau tidak akan pernah bisa membayangkan apa yang bisa kulakukan padamu, camkan itu baik-baik karena aku tidak main-main, jika itu menyangkut Vania," geram Gio lalu menghentakkan kakinya meninggalkan Sabrina yang kini memandangnya dengan sorot mata yang dingin."Aku yakin, suatu saat nanti kau akan kembali padaku," gumam Sabrina, nyaris tak terdengar.***Dari dalam mobilnya, Gio memandang Vania yang tampak sedang berbicara dengan seorang tetangganya di halaman rumahnya itu dengan tatapan nanar. Tak dapat dipungkiri rasa rindu pada wanita itu begitu menggelora, memenuhi jiwanya.Pekerjaannya yang menumpuk tidak dapat menghalangi keinginannya untuk datang ke tempat ini. Beralasan ada pertemuan dengan klien di luar, Gio izin dari kantornya hanya demi untuk menemui Vania. Karena ia tahu wanita itu tidak masuk kantor hari ini setelah lebih dulu berpura-pura menelpon dan menanyakan Vania lewat resepsionis kantornya.Sudah berulang kali ia mencoba untuk m
Helaan nafas berat terdengar dari mulut Gio, tak lama ia pun beranjak dari kursi. Namun, sebelum ia melangkah, dipandanginya wajah Vania dengan begitu dalam."Baiklah, aku akan pulang. Tapi sebelum itu, aku hanya ingin memberi tahu sesuatu hal padamu. Andai suatu saat nanti kau memutuskan untuk menerimaku kembali atau butuh bantuanku. Percayalah, apapun akan kulakukan untukmu." Ujar Gio lalu membalikkan badan dan melangkah menghampiri mobilnya. Membiarkan Vania yang masih terpaku memandangnya.***Semilir angin sore ini entah mengapa cukup untuk membuat suasana hati Vania terasa lebih santai, dari atas balkon kamarnya ia memandang, setidaknya melakukan hal ini bisa melupakan sedikit masalahnya.Pertemuannya dengan Gio kemarin cukup membuat pikirannya terbelah, Vania tidak menyangka jika lelaki yang selama ini mensia-siakan dirinya bisa mengucapkan kalimat ungkapan yang lembut dan manis seperti itu.Vania mengelus lembut perutnya, ia tak lagi sendiri sekarang, ada janin dalam rahimnya
"Begini Karin, kemarin malam mama bermimpi, melihat seorang anak laki-laki sedang memeluk Vania. Mama rasa itu bisa jadi pertanda jika Vania mungkin saja sedang hamil sekarang, bukankah sudah hampir tiga bulan berlalu sejak liburan honey moon mereka di Bali?" "Lalu? Karin tidak mengerti ma? Apa hubungannya dengan Karin?""Mama ingin minta pengertian darimu sayang, jika nanti Vania benar benar hamil, mama ingin Rendi tiap saat ada untuknya. Tak apa apa kan? Karena wanita yang sedang hamil itu seringnya ingin bermanja manja dengan suami mereka. Kau mengerti maksud mama kan sayang?" Jelas Helena dengan pandangan mendominasi.***Untuk beberapa saat Karin tertegun dengan permintaan ibu mertuanya, tentu Karin sangat mengerti apa maksud dari perkataannya. Sesuatu hal yang sangat ditakutkan Karin selama ini.Belum ada kabar tentang kehamilan Vania, namun semua orang sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Karin sadar ia juga sedang menunggu kabar kehamilan Vania. Hanya saja, tak pern
Hati Rendi terasa terhempas ketika dilihatnya tubuh kurus Vania yang terbaring di lantai. Segera saja ia menepikan tubuh Vania ke tempat yang aman. Berulang kali dipanggilnya nama Vania, Namun mata Vania tetap terpejam. Hingga dalam keadaan panik Sumi akhirnya tanpa sadar memberi tahu perihal kehamilan Vania yang selama ini dirahasiakan."Mas Rendi, lebih baik bawa Mbak Vania ke dokter saja, bibi khawatir. Karena saat ini mbak Vania sedang hamil.""Apa yang barusan bibi bilang! Vania hamil?" Tanya Rendi yang seakan tak percaya.***"Bagaimana keadaan istri saya, dokter?" Tanya Rendi begitu cemas."Tenanglah pak, ibu Vania baik baik saja, sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang rawat," Jawab dokter Satya, dokter yang menangani Vania."Ah, syukurlah kalau begitu," ungkap Rendi lega. Tak dapat dipungkiri, wajah Vania yang pucat ditambah kabar kehamilan Vania yang tadi didengarnya membuat Rendi begitu panik. Lelaki itu takut terjadi sesuatu dengan janin yang ada dalam kandungan Vania. Ca
Rendi tak menjawabnya, lelaki itu hanya mengangguk saja. Tak lama, Helena pergi meninggalkan mereka setelah memastikan teleponnya tersambung.Melihat hanya tinggal mereka berdua saja, akhirnya membuat Vania memberanikan diri bertanya."Mas, apakah kau juga sudah memberi tahu kabar kehamilanku pada Mbak Karin?"***Rendi memandang Vania dengan tatapan mata yang teduh. Pertanyaan dari Vania tidak begitu mengusiknya, bibirnya tersenyum melihat raut wajah masam yang diperlihatkan Vania padanya."Mas, kau belum menjawab pertanyaanku?" Ulang Vania sembari mencebik."Aku sudah menelpon Karin, tapi ia tak menjawabnya," Jawab Rendi Jujur."Begitu ya, baguslah!" Ujar Vania spontan."Kok bagus? Apa ada masalah?""Terakhir aku bertemu dengan Mbak Karin, ia tampak begitu antusias bertanya perihal kehamilanku, saat ia tersenyum, entah mengapa, hatiku merasa ada sesuatu yang mengganjal dari senyuman Mbak Karin yang tampak mengerikan itu," tutur Vania yang langsung di iringi dengan kernyitan di dahi