Share

Bab 4

Author: Rira Faradina
last update Last Updated: 2022-08-11 11:03:57

"Mbak bolehkah aku bicara sebentar denganmu?" Tanya Vania suatu sore ketika melihat Karin, kakak madunya itu sedang asyik berkebun di samping rumah.

"Bicara saja, Vania." Jawab Karin lembut.

Vania menghela nafas, melihat pembawaan Karin yang begitu lembut dan tenang. Membuat ia kadang tak mampu untuk berkata kasar padanya.

"Mengapa mbak mengizinkan Mas Rendi menikah lagi? Jika pada akhirnya Mbak dan Mas Rendi juga akan terluka?" Hati hati Vania mengucapkannya.

Karin tersenyum dan meletakkan sebuah pot berisi bunga mawar yang baru saja di rapikannya. Matanya kini menatap teduh pada gadis di hadapannya. Sebuah tatapan yang membuat dada Vania terasa sesak.

"Aku tidak sempurna, Vania! Aku tidak bisa memberikan seorang cucu untuk mama dan papa. Kau sendiri tahu, jika Mas Rendi adalah putra mereka satu-satunya. Aku sungguh egois dan merasa bersalah jika tak ada seorang bayi yang akan meneruskan nama keluarga Atmadja."

"Tapi, apakah harus dengan cara seperti ini? Meminta Mas Rendi menikah lagi dan menghadirkan orang ketiga dalam pernikahan kalian." Protes Vania cepat.

Lagi, Karin tersenyum. Meski Vania tahu, jika hati wanita itu tak seindah senyumannya saat ini.

"Kau bukan orang lain, Vania. Bagi mama dan papa, kau sudah seperti putri mereka sendiri. Lagipula, Mas Rendi juga sangat mengenal dirimu."

"Berikan mereka cucu, Vania. Berikan keluarga ini penerus. Andai aku bisa memiliki seorang anak ..." Ucapan Karin terhenti, ada riak terlihat di sudut matanya.

"Maaf, Mbak. Aku tak bermaksud membuatmu sedih."

"Tak apa Vania. Ini bukan kesalahanmu. Aku justru berterima kasih kepadamu karena kau mau menjadi istri kedua Mas Rendi."

"Mbak ..." Vania menunduk.

Haruskah ia menceritakan bagaimana perlakuan Rendi padanya selama mereka menikah? Sikap dingin lelaki itu dan juga perasaannya? Tidak, Istri pertama suaminya itu akan lebih tersakiti jika mendengarnya.

"Ada sesuatu yang ingin kau katakan, Vania?"

Pertanyaan Karin sontak membuyarkan lamunan Vania.

"Hah!"

"Ada yang ingin kau katakan padaku?" Karin mengulang pertanyaannya.

Vania menggeleng lemah.

"Minggu depan aku akan pindah ke kontrakanku. Tolong jangan mencegahku kali ini."

"Apa maksud ucapanmu, Vania?"

"Tak perlu kujelaskan pun kau sendiri tahu, Mbak. Bukankah tak baik ada dua ratu dalam satu istana? Menyimpan orang ketiga dalam pernikahan kalian itu ibarat menyimpan bara dalam sekam, yang sewaktu waktu bisa terbakar." Vania mengutarakan isi hatinya.

"Siapa yang bilang kau menjadi orang ketiga. Bagiku kau sudah seperti seorang adik, Vania."

Vania tersenyum miring.

"Apa kau tak mendengarnya, mbak? semua orang menghujat diriku, memaki bahkan ada yang mengutukku. Meski sudah tiga bulan berlalu, namun, dibelakangku, mereka bahkan masih membicarakan tentang pernikahan ini, mbak." Lirih Vania menunduk.

"Aku tahu, mbak juga terluka dengan pernikahan kedua Mas Rendi, bukan? Lalu, mengapa harus memaksakan diri menerima pernikahan ini dan bersikap seakan semuanya baik-baik saja, jika pada akhirnya hati Mbak Karin juga begitu tersakiti?" Lanjut Vania beberapa detik kemudian.

Karin menunduk. Tak bisa ia pungkiri jika semua ucapan yang dikatakan Vania adalah benar.

"Karena penerus? Itu alasan yang konyol." Bibir Vania tersenyum getir.

"Kalian masih bisa berikhtiar atau mengadopsi seorang bayi, mengapa harus membiarkan orang lain merusak kebahagiaan kalian?" Lanjut Vania lagi.

"Andai aku punya alasan untuk menolak pernikahan ini ... sayangnya, kesehatan ibu menjadi prioritasku, aku seperti menelan buah simalakama!" Raut wajah Vania berubah sendu lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Karin tersenyum kecut mendengar semua yang Vania katakan. Seringai di wajahnya memperlihatkan raut kesedihannya.

"Apa yang bisa diharapkan dari perempuan yang tidak sempurna seperti diriku, Vania? Dokter sudah memvonis bahwa aku tak akan bisa memberikan seorang anak."

Karin kembali menunduk lalu dengan cepat menyeka air mata yang lolos dari dari sudut matanya. Sayang, gerakan tangannya kurang cekatan karena ekor mata Vania menangkap gerakan tangannya dengan jelas.

"Cinta Mas Rendi hanya untuk Mbak Karin saja. Apa itu tidak cukup bagi kalian?" Ucap Vania pelan. Mencoba menghibur kakak madunya. Jujur, hati Vania begitu nyeri ketika mengatakan kalimat itu

Cinta.

Sesuatu yang diharapkan Vania dari Rendi, dari pernikahan mereka. Sesuatu yang mungkin tak akan pernah bisa ia miliki. Mungkin sebaiknya ia mengubur dalam-dalam rasa itu atau membuangnya sejauh-jauhnya. Karena hal itu ibaratkan punguk merindukan bulan.

"Cinta tak bisa membuat keinginan mama dan papa terkabul, Vania. Cinta kami tak mampu menghadirkan kegembiraan dan keriangan seorang anak untuk keluarga ini." Lirih Karin terisak.

"Vania, aku benar-benar berterima kasih padamu. Tak masalah jika harus membagi cinta dan raga Mas Rendi pada wanita lain. Bagiku kebahagiaan keluarga ini yang terpenting, dan hanya kau yang bisa mewujudkannya." Lanjutnya kemudian.

Vania menggeleng mendengar pernyataannya. Baginya, alasan itu tak masuk akal. Kebahagiaan keluarga katanya? Lalu bagaimana dengan kebahagiaannya sendiri? Apakah itu tidak penting?

Vania tahu butuh kesabaran yang begitu luas bagi Karin untuk bisa menerima wanita lain di sisi suaminya. Melihat wanita lain yang tersenyum di sisi suaminya apalagi melihat tatapan yang penuh dambaan dari wanita lain pada suaminya sungguh menguji kekuatan hati. Vania gemas melihat Kakak madunya itu yang seakan pasrah dengan nasib pernikahannya.

"Aku tak tahu, apakah benar seperti itu alasannya. Yang kutahu, bahwa kau juga tidak bahagia dengan semua ini, mbak," Vania memvonis.

"Terima kasih sudah peduli padaku, Vania."

Sudut bibir Vania melengkung.

"Jangan salah paham, Mbak. Aku tidak sebaik dirimu."

"Apa yang ingin kau lakukan, Vania?"

Vania menyeringai. Mengangkat salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas.

"Mencari cara untuk mengakhiri semua ini. Aku tak tahu apakah harus mengatakan padamu, tapi kesabaranku ada batasan dan aku juga tidak memiliki hati yang luas seperti dirimu, mbak. Maaf, tapi aku tidak ingin terjebak dalam pernikahan ini terlalu lama, aku tak ingin melukai diriku lebih lama,"Jawab Vania.

"Vania, jangan kecewakan mama dan papa." Karin berucap dengan suara parau.

"Tidak mbak. Jangan menuntutku untuk bisa memenuhi impian keluarga ini akan seorang penerus, karena aku juga memiliki impian sendiri. Dan impian terbesar dalam hidupku adalah memiliki seorang suami yang hanya mencintaiku saja, menjadikanku satu satunya ratu dalam hidupnya, bukan untuk memiliki suami orang yang jelas-jelas tidak mencintaiku seperti ini," Tegas Vania sambil lalu pergi dari hadapannya. Tak ia hiraukan lagi tatapan terkejut dan tak percaya di wajah Karin.

"Kuharap kau senang mendengarnya, mbak," gumam Vania tanpa menoleh, meski samar ia mendengar kakak madunya itu memanggil namanya.

****

Dua hari setelah pembicaraan Vania dan Karin, entah mengapa, ia merasa sikap kakak madunya itu sedikit berubah. Karin seakan menjaga jarak dengannya. Selalu menghindar dari tatapan matanya.

Vania tak mengerti mengapa sikap Karin berubah padanya. Gadis itu berpikir mungkin ada pernyataannya yang menyinggung perasaan kakak madunya itu, namun, Vania tak peduli. Baginya yang terpenting saat ini adalah berpikir dan mencari cara agar terbebas dari pernikahan yang rumit ini secepatnya, tanpa menyakiti kedua orang tua maupun mertuanya.

Orang bilang, ujian pernikahan akan selalu ada untuk menguji cinta dan kesetiaan. Tapi, rasanya Vania berpikir itu tidak berlaku padanya. Jangankan kesetiaan, cinta Rendi saja tak akan mungkin ia gapai, karena pria itu begitu memuja dan mencintai Karin, istrinya.

Vania memang istrinya, tapi hanya diatas kertas. Tak pernah sekalipun Rendi menunjukkan rasa sayang ataupun sedikit perhatian padanya. Vania tahu itu tak akan mungkin, karena bagi Rendi, menikah dengannya hanyalah sebuah keterpaksaan dan kepatuhan terhadap orang tuanya saja.

"Ayo, lekas berpikirlah Vania. Carilah cara untuk melepaskan diri dari belenggu pernikahan tanpa cinta ini. Kau berhak bahagia dengan pria yang benar-benar menyayangi dan mencintaimu untuk seumur hidupnya." Gumam Vania pelan. Menyemangati diri.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 90 / Ending

    Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 89

    Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 88

    ""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 87

    "Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 86

    "Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 85

    "Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status