Karan mengangkat semua barang-barang milik Reina dan memasukan ke bagasi mobilnya. Sudah tidak ada lagi toleransi untuk Reina, pernikahan ini harus benar-benar berakhir.
Meskipun berat hatinya meninggalkan rumah sang suami, terutama meninggalkan anak-anaknya. Akan tetapi, Reina juga tidak ingin memaksakan Karan untuk tetap menampungnya di rumah itu. Padahal sudah jelas, bahwa Karan tidak menginginkan lagi istrinya.
“Haruskah dengan cara begini hancurnya pernikahan kita, Karan? Apakah kita tidak bisa menyelesaikannya dengan baik-baik?”
“Sejak awal sudah kukatakan bahwa aku ini seorang duda dua orang anak, kamu menyanggupinya untuk menerima anak-anakku. Jadi, untuk apa kamu bertahan jika tidak mau lagi mengurus anak-anak.”
“Apa selama ini aku tidak pernah mengurusi anak-anakmu, Karan?”
“Tapi kamu lebih sibuk dengan duniamu dan kamu lebih senang keluar bersama teman-temanmu daripada menemani anak-anak. Satu hal lagi, Reina. Aku tidak bisa bertahan dengan wanita yang jelas sudah tidak mau setia lagi kepadaku.”
Karan masih bersikeras dengan keputusannya. Hubungan pernikahan yang baru menginjak empat puluh hari itu harus berakhir tanpa tapi. Segala usaha dilakukan Reina untuk mempertahankan pernikahannya dengan Karan, tapi nahkodanya tetap saja memilih untuk berhenti di tengah lautan tak lagi melanjutkan perjalanan.
Reina masih berusaha mencegah Karan, dia ingin mempertahankan pernikahannya meskipun sudah diujung tanduk. Akan tetapi, semua hal yang dilakukan Reina tidak ada gunanya lagi sekarang.
Kini, tinggallah rasa sesal dalam hatinya. Sudah terlambat untuk Reina mengatakan penyesalannya kepada Karan. Semua barang sudah diangkut Karan hanya tinggal beberapa langkah lagi sebelum naik ke mobil.
“Sampai di sinikah perjuanganmu untuk mempertahankan pernikahan kita, Karan? Kenapa tidak ada cara lain selain perpisahan ini, Karan?”
Reina bertanya pada dirinya sendiri seraya melihat ke sekeliling isi kamar dan rumahnya. Lemari dan baju yang di dalamnya pernah dia sentuh dan dia cuci. Reina menyentuh salah satu baju milik Karan, baju yang pertama kali Karan pakai di rumahnya setelah pernikahan.
Bukan hanya sesak, tapi sakit begitu dalam dirasakan oleh Reina. Dia menangis seraya memeluk baju itu, berharap bahwa ada keajaiban Tuhan untuk pernikahannya.
“Setelah ini, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Mungkin hidupku tidak ada gunanya lagi tanpamu,” tangis Reina.
Farhan mengejutkan Reina dengan menarik ujung baju ibunya.
“Bunda, ayo kita pergi! Ayah menunggu di luar.”
Reina menyeka air matanya, “baik, Nak. Mari!” ajak Reina seraya meraih tangan anaknya.
Ibunya Karan sudah tiba sejak tadi, Karan sengaja meminta ibunya menjemput dengan menyewa mobil. Barang Reina juga cukup banyak, itulah sebabnya Karan memilih untuk menyewa mobil untuk mengantarkan Reina pulang. Kenyataan ini benar-benar harus diterimanya, tak ada lagi usaha Karan untuk bertahan.
“K-karan,” panggil Reina sebelum menaiki mobil seraya menyentuh ujung jari suaminya.
“Sudah siap? Ayo kita berangkat!” ajak Karan.
Namun, langkah Karan terhenti saat Reina berhasil menarik lengan Karan agar tidak segera masuk ke dalam mobil. Reina masih berharap bahwa Karan akan mengurungkan niatnya untuk berpisah.
“Apalagi yang akan kita bicarakan, Re? Sudah jelas bukan, kamu meminta pulang? Abang antarkan kamu pulang sesuai permintaanmu.”
“Setelah ini, Re tidak tahu akan melanjutkan hidup seperti apa. Sebab, Reina tidak tahu akan mendapatkan ganti yang lebih baik dari Abang atau tidak. Tapi yang jelas, Reina sama sekali tidak berniat untuk menikah dengan lelaki lain lagi.”
“Jangan bicara seperti itu, kamu harus melanjutkan hidup. Jadikan pernikahan ini sebagai pelajaranmu, kelak jangan lakukan kesalahan yang sama saat memiliki suami lagi.”
“Tidak, Re tidak ingin mencari ganti yang lain. Namun, jika Abang merasa Reina tidak pantas menjadi istri Abang dan ibunya anak-anak, silakan Abang cari yang lebih baik dari Reina.”
“Tidak, saat ini Abang hanya memikirkan anak-anak, tidak akan mencari ibu pengganti untuk mereka. Sudahlah, ayo kita pergi!”
Sepasang mata itu tidak lagi menatap, Karan berusaha memalingkan wajah dari Reina. Begitu juga dengan Reina, dia tidak sanggup menatap wajah suaminya. Lelaki yang telah mengikat sebuah janji dengan orang tuanya kala itu.
Tidak dia percaya, bahwa pernikahan yang diidamkan oleh Reina harus sesingkat ini perjalanannya. Reina tidak menyangka, bahwa impiannya menikah sekali seumur hidupnya tidak dikabulkan Tuhan.
Terlebih, Reina berharap bahwa ia tidak mengalami kehancuran pernikahan seperti kedua orang tuanya. Akan tetapi takdir Tuhan memberikan dia kejuatan lain. Reina harus merasakan rasanya perpisahan kedua orang tuanya.
“Tuhan, tolong selamatkan pernikahan ini. Aku mohon, jangan biarkan ranjang kami benar-benar hancur begitu saja, tolong kembalikan hati suamiku dan kembalikan rasa cintanya untukku.”
Doa Reina dalam hatinya sepanjang jalan, dia hanya berharap bahwa ada keajaiban Tuhan serta kejutan lain untuk keutuhan pernikahannya. Hatinya hancur, tetapi tidak lebih hancur dari perasaan Karan saat ini.
Hati Karan sudah sangat kecewa, hingga dia tidak mau menatap kembali wanita yang pernah dia perjuangkan itu. Meskipun terdengar sederhana, tetapi memang tidak ada yang dapat memahami perasaan selain dirinya sendiri.
Kedatangan mobil mengejutkan Henny, sudah lama memang anak sulungnya ini tidak pulang setelah menikah. Kali ini, dia datang bersama suaminya. Karan segera memarkirkan mobilnya di halaman rumah, lalu keluar menyalami Henny sebentar.
Karan mengeluarkan semua barang milik Reina dari bagasi mobil dibantu oleh pemilik mobilnya. Henny sangat terkejut, tetapi tidak sanggup bertanya sebelum mereka sendiri yang menjelaskan segalanya. Meskipun sebelumnya Reina sudah mengabarkan bahwa dirinya dengan Karan akan pulang.
“Ibu, Karan tidak lama datang ke sini. Hanya ingin mengantarkan Reina pulang seperti yang dia inginkan. Selain itu, Karan juga ingin mengembalikan Reina. Kita sudah mengamil keputusan untuk berpisah,” tutur Karan setelah dipersilakan duduk oleh mertuanya.
“Nak, apa yang terjadi? Kenapa kalian tidak bicara baik-baik saja dulu? Kenapa langsung mengambil keputusan seperti ini?”
“Sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Bu. Memang jalan kita sudah berbeda arah, semua hal yang terjadi dalam pernikahan biarkan menjadi masalah kita dan hanya kita yang mengetahuinya. Sekarang, saya hanya ingin menjatuhkan talak satu kepada Reina dan Ibu saksinya.”
Bukan main terkejutnya Henny mendengar penjelasan Karan, sementara Reina tidak menanggapi hal apapun lagi. Dia hanya terdiam, berusaha tetap tegar menghadapi kehancuran pernikahannya.
Sebagai seorang ibu, Henny tidak bisa memaksa anaknya untuk bertahan. Akan tetapi, Henny berharap bahwa keduanya akan merubah keadaan dan mau memperbaiki segalanya.
“Nak, apapun masalahnya. Ibu tidak berharap kalian harus berpisah secepat ini, terlalu singkat perjalanan kalian. Jika masih bisa diperbaiki, kenapa tidak kalian coba diperbaiki saja.”
“Tidak, Bu. Ini sudah keputusan akhir dan memang Reina yang memintanya. Jadi, saya tidak memiliki alasan untuk tetap mempertahankannya lagi. Saya permisi.”
Tidak menunggu lama lagi, Karan akhirnya pamit pulang. Tidak peduli mertuanya terus mempertanyakan apa yang terjadi kepada keduanya.
“Bunda, ayo ikut pulang!” ajak Farhan.
“Tidak, Nak. Bunda tidak ikut dengan kalian, pulanglah! Jaga dirimu baik-baik,” ujar Reina seraya mengecup lembut anak sulungnya untuk terakhir kali.
Hari-hari dilewati Reina menjalani aktivitas sebagai seorang baby sitter sekaligus asisten rumah tangga. Hidup di tengah ibu kota tak seindah dalam bayangannya, semua pekerjaan dia lakukan agar bisa bertahan hidup. Meskipun orang lain akan menertawakan dirinya, lulusan sarjana tapi kerja seperti ini. Sebab mereka tidak pernah tahu, betapa sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta.Setelah hampir 6 bulan, di bulan ke-6 Reina memutuskan resign dari kerjaan saat ini. Dia ingin mencoba peruntungan baru dari ijazah yang dimilikinya. Namun takdir baik belum berpihak padanya, dua bulan mencari pekerjaan ternyata tidak mudah bertahan. Hingga dia memutuskan pindah ke kosan yang lebih murah dan mendapat pekerjaan membantu jualan di Kedai Coto Makkasar. Satu bulan dia jalani pekerjaan di sana dengan gaji 1,7 juta dipertahankan. Beruntung tempat kerja dekat kosan, jadi tidak membutuhkan ongkos. Namun, di bulan kedua kejutan baru datang. Reina mendapatkan pesan dari adik iparnya.“Teh, minta doanya.
Sekali lagi, air itu kembali tumpah mengingat semuanya. Kegagalan pernikahan, masalah dan kepelikan dalam hidup, orang tua dan segala hal yang menjadi beban pikiran Reina selama ini. Tidak peduli seberapa hancur dirinya, bagi keluarga Reina sangat egois dan keras kepala.“Sudah sangat jauh perjalananmu, Re. Kapan akan menemui orang tuamu?”“When? Entahlah, aku masih belum siap menemui mereka. Aku hanya takut, jika menemui mereka dalam keadaan hati yang tidak stabil dapat memperkeruh keadaan. Kawatir emosiku tidak bisa dikendalikan seperti saat itu.”“Itu pilihanmu, tapi kamu harus ingat akan sejauh apapun langkahmu tentu saja keluarga tempat pulang sesungguhnya.”Reina hanya mengangguk ringan, dia membenarkan perkataan sahabatnya. Hanya saja, dia tidak bisa memilih untuk pulang dalam waktu dekat. Akan ada waktu yang tepat untuk pulang, meski itu tidak saat ini.Satu bulan sudah Reina bekerja dengan Winda dan Enggal, rasanya sangat baik dan nyaman. Mereka juga tidak pernah memaki Reina
Reina menjalani rutinitas dan aktivitasnya dalam keluarga Winda dan Enggal, ayah dari Tacha. Keduanya sangat baik, memberikan tempat yang nyaman untuk Reina. Rasa syukur yang tidak hentinya Reina panjatkan kepada Tuhan. Keluar dari rumah Danny ternyata sebuah pilihan terbaik, bahkan sekalipun dia memintanya untuk kembali tentu saja Reina memilih tetap berada di sini.Hari pertama, Reina diminta untuk masak oleh Winda karena hari itu suaminya, Enggal pulang dari Solo. Dia seorang engginer di sebuah perusahaan pemberdayaan satwa yang cukup terkenal di Indonesia. Sedangkan Winda sendiri bekerja sebagai supervisor di salah perusahaan telekomunikasi.“Mbak, ada ayam dan bayam di dalam kulkas. Terserah Mbak mau masak apa, yang penting ada sambalnya. Nanti minta tolong ayamnya dibuat kaldu dulu ya, Mbak untuk masak makanan Tacha.”“Baik, Bu.” Reina kembali melanjutkan masak, entah mengapa rasanya menyenangkan melakukan pekerjaan ini. Dia membuktikan kepada dirin
Dalam lapis-lapis keberkahan, ranumnya bermandikan bunga dan baunya beraroma surga. Cahayanya ibarat cakrawala, pancarannnya bak mentari di pagi hari. Manusia, selalu tidak merasa cukup atas sesuatu yang didapatkan dan dimiliki. Tidak merasa puas atas pencapaian yang diperoleh. Padahal, kita tahu bahwa tidak semua orang mendapatkan yang diinginkan dan didapatkan.Perlu sesekali, kita menoleh pada sebuah negeri. Di mana mereka tidak mendapatkan hak dan kehidupan layak. Mereka seringkali ditindas dan diperbudak. Setiap hari hanya bergelimang air mata dan rasa takut. Meskipun tidak ada yang mampu memadamkan kobaran api semangat untuk mempertaruhkan harta bahkan nyawa hanya demi tegaknya agama. Menjadikan syahid sebagai tujuan akhir dari hidupnya.Negeri Syam, Gaza, Palestina, Suriyah, dan mungkin masih banyak lagi yang tidak kita ketahui kisruhnya. Mereka yang ditindas dan diperbudak di negeri sendiri. Tidak diberikan tempat layak, kehidupan yang nyaman. Tetapi, betapa malunya kita hidup
“Bismillah…” Kalimat itu yang terucap pertama kali saat Reina melangkah meninggalkan kota Sukabumi menuju Tangerang. Memang tidak mudah mengambil keputusan, akan tetapi semua itu sudah menjadi pertimbangan serta pergulatan cukup panjang dalam munajah Reina selama dua pekan terakhir. Setelah drama semalaman di perjalanan dengan sopir travel, hari minggu pagi Reina tiba di yayasan. Langsung saja Reina diminta untuk membersihkan diri, kemudian diminta untuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Usai mengerjakan rangkain test, tiba saatnya Reina mengisi data diri serta surat perjanjian dengan pihak yayasan untuk di proses mencari calon majikan. Awalnya Reina merasa minder, sebab tidak memiliki pengalaman bekerja seperti ini sebelumnya. Sementara rekan lainnya memiliki jam terbang lebih banyak, terutama beberapa diantara mereka sudah ada yang bekerja di luar negeri. Sebuah keajaiban tiba, Reina mendapatkan panggilan untuk wawancara dengan calon majikan. “Kamu bagaimana sih, masa wawancarany
Karan yang sedang berjuang untuk kedua anaknya, sedangkan Reina juga harus berjuang untuk menyembuhkan luka dan patah hatinya usai berpisah dari Karan. Entah mengapa, bahkan hingga saat ini pun luka itu masih terasa perih untuk dikenangkan. Reina menangis setiap kali melihat akta cerainya. Sore itu, Reina mengetuk pintu rumah salah seorang temannya. Wina, membukakan pintu dan meminta Reina masuk sebelum akhirnya dia bercerita apa yang terjadi. Tidak menyangka, bahwa sosok Reina bisa melakukan hal tak terduga seperti ini. “Ada apa, Re?” “Aku kabur dari rumah.” “Astaghfirullah, kamu kenapa?” “Aku habis bertengkar dengan keluargaku, aku capek Kak Win. Selama ini aku berjuang untuk keluarga, mencoba membantu mereka, tapi apa yang mereka katakan bahwa aku tidak pernah memberikan apapun untuk keluarga. Selama ini aku mencoba tertawa, bahagia di hadapan keluarga padahal aku diam-diam menangis di dalam kamar mengingat gagalnya pernikahanku. Aku harus pergi dari sini agar hidupku lebih bai