Share

Eps. 7

Viola memasuki rumah dengan langkah ringan. Meski malam ini hatinya sempat seperti wahana roller coaster, namun setelah curhat ke Herga tadi, roller coaster itu perlahan bisa dikendalikan.

Saat dia baru menaiki tangga, Bi Noni berlari tergopoh-gopoh menghampiri. Begitu dekat, kepalanya celingak-celinguk ke ruang depan. Viola menatap pembantunya itu heran.

"Ada apa sih Bik?"

"Non Viola baru pulang? Kok bibik nggak denger mobil Non masuk garasi?"

Viola memutar bola matanya. Bi Noni adalah asisten rumah tangga paling sepuh bin senior di rumahnya. Beliau sudah bekerja di sini sejak usia Viola 4 tahun. Jadi bisa dipastikan dia tahu apapun tentang Viola.

"Hmmmh... Iya. Aku memang nggak bawa pulang mobilku. Aku ngantuk, jadi takut mau nyetir. Mobilku dibawa Icha," Viola sengaja berbohong.

Kening Bi Noni mengerut. Dia lalu melihat Viola dari atas sampai bawah, membuat Viola risih dan sedikit beringsut sambil menarik kain yang menutup bahunya. Saat itulah dia baru sadar kalau ternyata jaket Herga masih ada padanya. Viola menggigit bibir. Bi Noni pasti memperhatikan jaket ini deh.

"Itu.... jaketnya siapa Non?" Bi Noni menunjuk Viola.

Tuh kan bener?

"Eee.... ini jaketnya temen aku. Udah ya bik, aku mau ke kamar dulu. Ngantuk," Viola buru-buru menaiki tangga.

Tadi mas Steffan bilang Non Viola pergi karena marah-marah. Dan dia juga bilang, Non Viola pergi sama seseorang. Apa dia? Apa jaket itu...

"Tadi mas Steffan kesini lho Non!" teriak Bi Noni dan saat itu Viola sudah sampai di ujung tangga paling atas.

Langkah Viola terhenti. Steffan ke sini? Bibir Viola tersenyum sinis. 

"Apa bik?" Viola melongok dari tepian tangga paling atas.

"Tadi mas Steffan ke sini. Dia cemas nyariin Non. Katanya Non Viola pergi dari butik sambil marah-marah."

Viola mengerucutkan bibir. Steffan masih peduli padanya?

"Terus dia ngomong apa lagi?"

"Dia bingung nyariin Non. Apalagi pas nelfon Non dan nomor Non Viola nggak aktif. Dia langsung pergi, katanya mau cariin Non Viola gitu."

Hah? Sampai segitunya? Memang sih setelah mengirim pesan pada Sassy tadi Viola langsung menonaktifkan ponselnya. 

"Memangnya ada apa sih Non? Non tadi pergi kemana?" tanya Bi Noni.

Ah, Bi Noni kadang memang suka kepo. Viola menggeleng. Dalam hatinya dia merasakan ada beberapa bunga yang bermekaran dan juga dia tersenyum penuh kepuasan.

Ternyata Steffan mengkhawatirkannya sampai sedemikian rupa. Kira-kira dia nyari gue kemana ya? Terus dia mencoba menghubungi gue berapa kali? Hihihi, Viola tidak bisa menahan senyum.

"Tapi tadi.... mas Steffan kesini sama perempuan Non," ucap Bi Noni kemudian.

Srepp!

Senyuman di bibir Viola menghilang. Bunga-bunga di dalam hatinya yang barusan bermekaran seketika kembali mengatup. Viola menatap ke arah Bi Noni lurus.

"Perempuan?" tanya Viola.

"I-iya..."

Viola mendengus. Lalu tanpa permisi dia kembali menaiki tangga, menghentak-hentakkan kakinya dengan kasar menuju kamar.

***

Herga tiba di teras bengkel dan suasana cukup sepi di sana. Hanya ada beberapa anak yang iseng mengutak-atik motor. Merasa bosan, Herga memutuskan untuk putar balik dan langsung pulang. 

Setibanya di rumah, ruang tamu rumahnya masih tampak terang. Pasti Ibuk belum tidur. Jadi setelah memarkir motor di garasi, Herga masuk rumah melalui pintu depan. Dan benar saja, pintunya belum terkunci. 

Di dalam, Nana dan Ibunya sedang nonton TV di ruang tengah. 

"Kok tumben pada belum tidur?" Herga melirik jam dinding yang ada di ruangan tersebut. Pukul 10.45 menit. 

Nana dan Bu Rasti sama-sama menoleh. Herga kemudian bergabung dengan mereka. Dia duduk di sebelah Nana, membuat adiknya itu berada di tengah-tengah. 

Suasana hening beberapa saat. Hanya ada suara TV yang sedang menampilkan iklan yang berubah-ubah. 

"Ini kok pada diem kenapa sih?" celetuk Herga kemudian. 

Terdengar Bu Rasti menghela nafas pelan. Dia lalu mengecilkan volume TV dari remote control di tangannya. 

"Ga," Bu Rasti membuka suara. 

Nana melirik Herga sekilas. Wajahnya begitu sendu. Ini ada apa sih sebenarnya? Herga beringsut menghadap ke Nana dan Ibunya. Sebelah kakinya diangkat dan ditekuk di atas sofa. 

"Ada apa sih buk?" tanya Herga lirih. "Na? Ada apa sih?" 

"Tadi Pak Hendro kesini," ucap Bu Rasti lirih. 

Herga terdiam. Pak Hendro adalah pemilik rumah yang sekarang dia tinggali bersama keluarganya. Kedatangannya kemari pasti untuk menagih uang sewa. Sudah tiga bulan mereka belum membayar. 

"Terus.... dia bilang apa?" 

"Kalau kita nggak bisa bayar besok atau paling telat lusa, kita nggak bisa tinggal di sini lagi, Ga," 

Nana menunduk. Tak lama terdengar dia terisak. Herga merangkul pundak Nana dan memeluknya. 

"Na... kamu kenapa nangis?" ucap Herga. 

"Maafin Nana Kak, Buk. Nana sama sekali belum bisa bantuin kalian."

"Ssssst... Na, kamu jangan ngomong begitu," Bu Rasti membelai kepala Nana. 

"Iya Na. Kamu nggak usah mikir soal itu. Tugas kamu tu fokus aja sekolah. Ini biar jadi urusan kakak ya."

Nana semakin terisak. Dia tahu bagaimana perjuangan kakaknya dalam membantu menopang ekonomi keluarga semenjak ayah mereka meninggal. Bahkan saat SMP dulu, Herga sudah biasa membawa makanan buatan ibunya ke sekolah untuk dititipkan di kantin. 

"Udah kamu nggak usah nangis sayang. Sekarang lebih baik kamu tidur. Pokoknya kamu nggak usah mikir soal ini," tutur Bu Rasti. 

"Ibuk benar Na," Herga melepas pelukannya. "Udah, kamu sekarang tidur. Besok kamu harus sekolah."

"Kak, Buk," Nana menoleh ke Herga dan Bu Rasti bergantian. "Nana janji, Nana bakalan sekolah yang bener, yang rajin. Nana janji suatu hari nanti, Nana bakal bikin Ibuk dan Kakak bahagia," sebutir air mata menitik di pipinya. 

Herga tersenyum haru dan mengangguk. Tangannya mengusap air mata itu. Setelahnya Nana berdiri dan berjalan menuju kamarnya. 

"Ga," ucap Bu Rasti lirih setelah Nana masuk kamar dan menutup pintu. "Ibuk cuma punya uang segini," dia menunjukkan beberapa lembar uang seratus ribuan dan lima puluh ribuan dari tangannya. Uang yang sedari tadi dia sembunyikan di bawah bantal sofa. 

Herga menghitung. Uang itu berjumlah 800.000 rupiah. Herga sendiri masih memiliki 600.000 rupiah di kotak penyimpanan uangnya. Kalau digabung mereka baru memiliki uang 1.400.000 saja. Sementara uang yang harus dibayar untuk membayar kontrak adalah 2.400.000. 

"Masih kurang satu juta lagi Buk," ucap Herga. "Aku cuma ada 600."

Bu Rasti terdiam. Kemana dia harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu dua hari? Dagangannya saja akhir-akhir ini sepi. Hanya ada satu dua orang saja yang memesan. Titip ke warung juga jarang habis. Dia menunduk menatap ke cincin yang melingkar di jari manisnya. Cuma cincin kawin ini satu-satunya benda yang bisa menghasilkan uang dengan cepat. Pasangan cincin ini--yang dulu dipakai pak Imron--masih dia simpan di almari. 

"Ga... ibuk mau jual ini," Bu Rasti melepas cincin itu dari jarinya. 

"Jangan buk," tahan Herga. "Itu benda berharga milik Ibuk dan Bapak..."

"Ga..." potong Bu Rasti. "Ibuk tahu. Tapi saat ini tidak ada yang lebih penting daripada bagaimana supaya kita tetap bisa bertahan. Bapakmu pasti bisa mengerti alasan Ibuk menjual ini. Atau dia akan sedih melihat anak istrinya lontang-lantung di jalan..." bibirnya bergetar menahan tangis. 

Herga tak kuasa menahan air mata yang sudah mencoba dia tahan di pelupuk matanya. Dalam situasi seperti ini dia merasa tidak berguna. Kadang terbersit di otaknya, dia ingin cuti atau bahkan keluar saja dari kuliah dan mencari pekerjaan. Tapi mengingat dia kuliah dengan beasiswa, sayang sekali kalau harus ditinggalkan begitu saja. Ibunya juga pasti tidak akan pernah membiarkan Herga melakukan itu.

"Udah kamu nggak usah sedih," Bu Rasti menghapus air mata Herga. "Kita pasti bisa melewati ini semua. Kamu dan Nana itu adalah sumber kekuatan dan semangat Ibuk. Kamu lihat kan? Sudah berapa banyak cobaan yang bisa kita lalui sampai di titik ini? Kita pasti bisa nak."

Herga menghambur ke pelukan Bu Rasti dan menangis sesenggukan di sana. Di saat seperti ini bayangan masa lalu itu kembali hadir dan seolah memeras otaknya.

Andai saja ayahnya masih hidup. Keluarganya pasti tidak akan mengalami nasib seperti ini.

Bagaimana bisa penabrak ayahnya tidak pernah ditemukan? Apakah orang itu masih hidup sampai sekarang? Bagaimana keadaannya? Bahagia kah? Sudah menerima karmanya kah? 

Sementara di dalam kamarnya, Nana yang ternyata juga belum tidur, kembali menangis saat menyaksikan kakak dan ibunya yang saling berpelukan dari balik pintu. 

"Bapak.... Nana kangen sama bapak..." rintih Nana dalam isaknya.

***

Viola mengaktifkan ponselnya lagi dan seketika dentingan demi dentingan dari pemberitahuan panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk ke sana. 

"Hufft!" Viola melempar ponsel itu ke sebelahnya dan menatapnya dengan malas. 

Ada 24 missed call dan 7 messages. Viola meraih ponsel itu lagi dan membukanya. Selain dari nomor Steffan ada juga nomor Sassy dan Icha. 

-Vi lo dimana sih?- (pesan dari Icha)

-Vi jangan ngadi-ngadi deh lo. Lo pergi sama siapa coba?- (pesan dari Sassy)

-Mobil lo udah gue bawa pulang nih. Lo kenapa nggak bales pesan gue sih?- (pesan dari Icha)

-Viiiii.... angkat dong....!- (pesan dari Sassy)

-Vi, kamu dimana?- 

-Viola, adikku yang manis. Udah dong ngambeknya...- 

"Haaasssshhh!!" Viola tidak mau membaca pesan dari Steffan sampai selesai.

"Nggak di omongan, nggak di pesan, seneng banget sih ngucapin tuh kalimat! Nggak tahu apa kalau gue udah eneg?!" gerutunya sembari menyurukkan ponselnya menjauh. 

Saat ponsel itu kembali berdering dan Viola melihat siapa yang menelfon, dengan tangkas dia langsung menekan ikon warna merah alias me-reject panggilan tersebut lalu menonaktifkan ponselnya lagi. Steffan sepertinya benar-benar mencemaskan Viola. Tapi kenapa dia harus sama perempuan itu sih?

Viola berbaring di tempat tidur dengan gusar. Dia berguling ke kanan ke kiri dan ke kanan lagi. Saat itulah matanya menangkap sehelai kain tebal bernama jaket tergantung di sandaran kursi riasnya. Jaket jeans berwarna snow white yang malam ini melindungi dia dari dinginnya angin malam.

Ahh, kenapa juga dia bisa lupa untuk mengembalikan jaket itu tadi? 

Viola bangkit. Tangannya menyambar jaket tersebut kemudian kembali duduk di tempat tidur. Dipandanginya jaket itu lekat-lekat dan tanpa sadar bibirnya tersenyum. Otaknya mengingat-ingat pertemuannya dengan Herga yang cukup konyol. Ini adalah jaket yang sama dengan yang dikenakan Herga malam itu. Malam dimana sebuah kecelakaan kecil menjadi pertemuan pertama mereka. Viola juga masih bingung kenapa malam itu Herga begitu terburu-buru hingga harus menyerempetnya. Bahkan Viola benar-benar tidak menyangka kalau ternyata mereka kuliah di kampus yang sama. 

"Herga," Viola menggumam. Itu cowok meski kelihatannya bad boy ternyata cukup baik kok. Buktinya dia bisa membuat suasana hati Viola jauh lebih baik malam ini. Jarang lho ada cowok yang baru di kenal, digalakin tapi masih bersikap welcome seperti itu. Bahkan di motor tadi Herga bela-belain membawa motornya pelan supaya bisa dengerin ocehan Viola yang lagi curhat. Padahal kalau dipikir dia siapa? 

Viola tersenyum dan mendekatkan jaket itu ke hidungnya. Hmmm... wangi. Ini sih bukan parfum mahal, Viola tahu itu. Tapi.... uhhmm... Viola kembali mencium jaket itu dan berbaring. Sekilas bayangan wajah dan senyuman Herga menghiasi pelupuk matanya, membuat Viola senyum-senyum sendiri. 

BERSAMBUNG...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status