Share

2. Perihal Makanan

Melirik arloji nya sesaat. Sebelum akhirnya menekan remote agar pintunya terbuka. Orang yang sadari tadi mengetuk, menghampirinya.

“Makan siang bareng 'yuk?” ajak Safira, satu-satunya pegawai yang berhasil ‘sedikit’ akrab dengan Agina.

Jari telunjuk Agina terarah. Mencoba memberi isyarat pada Safira untuk berbalik. Dan gadis itu langsung membalikkan badannya, mengerti. Di sana salah satu anak buah Agina mengenteng kantong kresek di kedua tangannya dan melangkah menuju Nona-nya.

“Saya bawakan pesanan anda, Nona.” Agina mengangguk dan menyuruh meletakkannya di atas meja. Kemudian pengawal itu melenggang pergi setelah Agina mengibas tangannya.

Safira mendesah kecewa. Lagi-lagi dirinya di tolak. Tapi tidak bisa menyalahkan Agina, karena dari awal memang dirinya yang ingin dekat dengan atasannya itu.

“Makan sianglah bersama teman sesama pegawai.” Kalimat untuk ke-sekian kalinya. Terdengar merendahkan memang, seolah-olah pegawai tidak cocok makan siang dengan atasannya. Tapi mau bagaimana lagi, Agina tidak ingin memberi harapan palsu pada gadis di hadapannya ini.

“Baik, Nona.” Safira sedikit membungkuk dan pamit undur diri dari ruangan Agina.

Menatap punggung itu sampai menghilang. Menekan tombol remote untuk menutup pintunya kembali. Setelahnya, menghembuskan napasnya kasar dan memijit pelipisnya. “Aku menyakiti perasaannya lagi.” 

Agina menghela napas, “Kau membuatku frustasi, Safira. Aku tidak bisa menerima uluran pertemanan yang kau ulurkan. Rasa ketertarikan mu terhadap Agra-lah yang membuatku melakukannya, yang menjadi motivasimu mendekatiku.”

Memang, perasaan Agina sangat sensitif sehingga tanggung dibenci orang.

Agina memejamkan matanya sebentar. Tangannya bergerak mengambil makanan yang dibawakan anak buahnya. Rautnya antusias saat memakan makanan kesukaannya. Warna putih dengan isian coklat di dalamnya, lembut berbentuk bulat mengembang seperti pipinya. Ah, makanan ini selalu bisa mengembalikan moodnya.

Suara notifikasi menghentikannya sejenak. Mengeceknya, kemudian tersenyum miring. Ia berkata, “Nonton pertunjukan sambil makan. Heem... boleh juga.”

Tatapan malas ia tunjukan pada pendeteksi wajah itu. Kenapa setiap kali mau masuk harus melakukan pengecekan identitas, padahal dirinya kekasih dari sang pemilik ruangan.

Pintu pun terbuka setelah alat itu selesai dengan tugasnya. Berjalan masuk dengan elegan sehingga membentuk lekukan tubuhnya lebih jelas di balutan baju ketat itu.

“Sayang.”

Agra mendongak mengalihkan perhatiannya dari tumpukan kertas, “Ada apa kau kemari?”

“Tentu saja untuk mengajakmu makan siang bersama. Aku bawa bekal lho,” ucapnya dengan senyuman. Tanpa disuruh, dirinya langsung duduk di kursi berhadapan dengan Agra. Meja kerja menjadi pembatas keduanya.

Seseorang kembali masuk tanpa mengetuk. “Maaf, tuan. Saya membawakan makanan Anda seperti biasa.” Pria bertubuh tegap itu meletakkan nampan di meja yang dikelilingi sofa. Pria itu langsung keluar setelah mendapat anggukan dari Agra.

Agra menghampiri sofa dan duduk di sana. Olivia melakukan hal yang sama, duduk di samping Agra.

“Ini aku masak sendiri khusus buatmu,” tutur Olivia hendak membuka penutup bekalnya.

“Kau tidak lihat makanan ini?” sarkasnya menunjuk makanan di nampan dengan segelas jus juga di sana.

Olivia berdecak, “Tidak bisakah kali ini kau menerima perhatian dariku? Setiap aku membawa bekal makanan untukmu, pasti ada pengawal yang membawakan makanan ke sini. Kau menyuruh mereka melakukannya agar kau tidak perlu memakan masakan buatan ku yang tidak enak ini ‘kan?”

‘Nah, itu tau’ batin serempak Agra dengan penonton dari ruangan lain melalui cctv dari ponselnya.

“Aku tidak menyuruhmu melakukannya. Perhatianmu saat aku masih dalam keadaan koma itu sudah lebih dari cukup.” Agra berucap tulus. Benar-benar berterima kasih pada Olivia karena sudah merawatnya. Meski Rautnya datar saat mengucapkannya.

Olivia terdiam. Mulutnya bungkam, tidak bisa berkata-kata. Pikirannya tiba-tiba sunyi dengan mata menatap kosong. ‘Masih dengan alasan sama yang menjadi penyebab kau menghargai ku. Lalu apa yang akan kau lakukan jika mengetahui semuanya?’ Olivia tersenyum miris.

“Baiklah.” Olivia menyusun kembali kotak makan. Dan tanpa berucap satu patah kata pun, dia langsung keluar dari ruangan.

Agra menghendikkan bahunya tidak peduli. Fokusnya hanya pada makanan di depannya. Dahinya mengernyit, terlihat jelas kalau dia sedang memikirkan sesuatu. “Sebenarnya aku juga tidak tau siapa yang menyuruh para mengawal menyiapkan semua ini. Setiap hari makanan yang di bawakan selalu berbeda-beda, namun semuanya makanan kesukaanku dan tentunya bergizi.” 

~~~ 

Agina mencap jempolnya pada alat keamanan. Otomatis pintunya terbuka dan dirinya langsung masuk. Tidak lupa memakai sandal rumahan di kakinya. Langkahnya menuju kamarnya.

Seperti biasa, langsung membersihkan badannya setelah pulang bekerja. Duduk di balkon dengan secangkir teh hangat dan beberapa makanan yang sudah disiapkannya terlebih dahulu sebelum duduk di sini. Sambil melihat pemandangan bintang yang kebetulan sangat banyak malam ini.

Sudut bibirnya tertarik. Suara jangkrik dan arus angin memenuhi gendang telinga yang memerisikkan tempat sunyi nan gelap ini. 

Adalah sesuatu yang menyenangkan baginya tinggal di hutan, sangat cocok dengan dirinya yang suka ketenangan. Namun bukan berarti tidak menyukai kebisingan, apalagi kebisingan itu di sebabkan kebahagiaan dan suara... tembakan.

Agina sedikit tertawa dengan kata terakhir.

Rumahnya berukuran sedang dengan tingkat dua ini memang terletak di hutan ah bukan-bukan, rumah kami maksudnya. Lebih tepatnya jauh dari keberadaan manusia dan terpelosok. Kendaraan seperti mobil tidak akan bisa masuk ke sini, sebab itu Agina selalu menggunakan motor ke mana pun ia pergi.

Alasannya? Agar keberadaannya tidak dilacak musuh.

Agina menatap dalam foto yang dipegangnya. Dimana terlihat delapan orang sedang berpose aneh. Dia terkikik melihat gaya dirinya sendiri yang masih kecil waktu itu. Tubuh dibungkukkan dan kedua pipi dikembungkan dengan tangan melingkar dari belakang ke leher sang laki-laki yang sedang berjongkok serta dagunya yang nangkring di bahu si laki-laki. 

Agina meringis dengan lingkaran hati yang di buat oleh temannya di area wajahnya. Yang lainnya membuat raut aneh dan memeluk Agina secara teratur dari belakang dengan kepala di sampingkan. Agina geleng-geleng kepala untuk hal itu. Memang teman-temannya itu asbruk semua, jarang sekali bersikap normal.

Tapi, ‘Aku bahagia’ Mengelus foto itu. 

“Sekarang semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Apalagi si Alfin, anak cengeng itu harus mengurus perusahaan ayahnya yang diambang kehancuran.”

Agina mengetuk-ngetuk dahinya pelan, pusing dengan teman laki-lakinya yang satu itu. Pernah Agina sama teman-teman lainnya menawarkan bantuan, tapi dengan tegas Alfina mengucap kata; tidak!

Ah, sudahlah. Mungkin temannya yang dulunya sering nangis sambil guling-guling di rumput itu, ingin menyelesaikan masalah ini dengan kemampuannya sendiri.

Lalu bagaimana dengan dirinya? Kesibukannya selalu berurusan dengan nyawanya dan beberapa kali berada diambang kematian.

Melindungi orang yang bahkan sampai sekarang mungkin masih membencinya. Tidak mengapa... semua orang pasti akan berefek sama dengan Agra setelah apa yang terjadi.

“Hais...”keluhnya. Matanya kini terfokus pada bintang yang paling bersinar menurutnya. “Paman Rangga. Kau mengikatku terlalu kuat.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status