Share

Rasa Yang Hilang
Rasa Yang Hilang
Penulis: Girl_Rain

1. Bertemu

Gadis itu melangkah mundur saat hampir menabrak laki-laki di depannya. Salahkan laki-laki itu yang berbalik secara tiba-tiba, membuatnya yang berjalan ke samping hampir tertubruk.

Deg!

Matanya terbelalak melihat wajah di depannya. Dadanya bergemuruh dengan jantung yang berdetak kencang. Tidak pernah terbayangkan olehnya akan bertemu setelah delapan tahun menghindar. Namun raut datar yang di tunjukkan laki-laki itu membuat kekecewaan yang mendalam terhadap hatinya.

'Dia tidak mengenaliku?' batinnya miris.

"Agina."

Gadis bernama Agina itu memandang datar orang yang menyerukan namanya. "Ezwar?"

Orang itu tampak kikuk, "Kalian bertemu?" Mengusap tekuknya yang terasa dingin akibat tatapan intimidasi yang di berikan Agina.

"Kau kenal dia?" Orang yang sadari tadi memperhatikan kini mulai membuka mulut. Tentu, pertanyaan itu di tujukan kepada sekretarisnya.

"Eum, itu..." Ezwar tampak ragu untuk menjawab. Ia melirik Agina yang tidak mempermasalahkan soalan itu.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian ketiganya. Agina menggeser tombol hijau dan meletakkan benda pipih itu di telinganya.

"Ada apa?"

"Maafkan saya, Nona. Saya kecolongan mengenai kepulangan tuan Agra ke Negara Flowering. Pengawal yang mengawasi tuan Agra tidak tau kalau beliau mempercepat kepulangannya." Suara gemetar dari arah sebrang sudah tampak jelas bahwa sang pemberitahu itu gugup.

Agina menghela napas. Ingin marah, namun kepada siapa? Tidak mungkinkan kepada pengawalnya yang gagal yang lalai dalam melaksanakan tugasnya. Itu bukan sifatnya.

"Baiklah, aku memaafkanmu kali ini. Tapi tidak lain kali. Dan aku ingin penggantian pengawal yang lebih se-ri-us dalam menjalankan tugasnya," ucapnya penuh penekanan. Orang yang di sebrang sana menelan ludah mendengarnya.

"Baik, Nona." Panggilan berakhir.

Agina memasukkan ponselnya ke dalam celana panjangnya. Wajahnya menengah menatap laki-laki yang lebih tinggi darinya. Ingin tersenyum namun begitu sulit rasanya walau sekedar menarik sudut bibir ke atas.

Agra Pratama. Nama itu selalu ada di setiap langkah hidupnya. Hari demi hari di lewatinya demi melindungi laki-laki yang menatap datar dirinya sekarang. Rasa sakit di deranya dari fisik maupun mental agar keamanannya tidak berkurang sedikitpun.

Seketika Agra berbalik, tidak sanggup menatap mata itu lama-lama. Ada perasaan aneh yang tidak bisa di jabarkan oleh dirinya sendiri. ‘Aku kenapa?’ Tatapan itu seolah menariknya untuk masuk dan memahami segalanya. Namun Agra lebih memilih menghindarinya. Dia berjalan memasuki perusahaan miliknya.

Agina menghela napas dengan Agra yang mengabaikannya. Ini jauh lebih sakit dari kejadian delapan tahun lalu.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang? Menghindar lagi seolah-olah kejadian ini hanya hal biasa yang bisa terjadi pada setiap orang.” Ezwar berucap dengan nada sendu. Bagaimanapun juga dia tau apa yang terjadi di antara keduanya, meskipun tidak semua.

“Entahlah.” Agina melakukan hal yang sama dengan Agra. Memasuki perusahaan besar di hadapannya yang dirinya juga mempunyai hak 50% untuk melakukan apapun terhadapnya.

Pratama Group. Perusahaan yang di wariskan oleh Rangga Pratama yaitu ayahnya Agra kepada putranya sendiri. Perusahaan yang sangat berpengaruh bagi dunia karena menempati posisi pertama sebagai yang terbesar. Meski sempat mengalami penurunan akibat masalah yang di lakukan oleh sang pangeran, menyebabkan kerenggangan perdamaian antara negara Flowering dan negara Green Leaf. Namun semua itu berhasil di hentikan oleh beberapa orang yang sekarang keberadaannya telah di sembunyikan, demi ketenangan hidup sang pahlawan.

Agina tersenyum miring mengingatnya. Dia menekan tombol untuk mendeteksi jarinya. Pintu pun terbuka setelahnya. “Ezwar,” serunya.

“Heem, kenapa?” Ezwar menatap punggung di depannya.

“Aku sudah memutuskan untuk tidak menghindar lagi,” jawabnya.

Ezwar terkejut mendengarnya. Rasanya matanya ingin keluar dari tempat. “Agina, kau...”

“Meskipun kami tidak bisa memiliki hubungan lebih, tapi menjadi teman tidak buruk juga.” Agina berucap lirih. Kakinya melangkah masuk.

Atensi Ezwar langsung kembali saat pintu itu tertutup. Dia tersenyum, “Ku rasa hal itu tidak akan terjadi. Ikatan batin kalian lebih kuat meskipun Agra tidak mengenalimu Agina.” Setelahnya melenggang pergi menuju ruangan sang Presdir.

Agina langsung menghubungi seseorang setelah bokongnya mendarat di kursi.

“Aku dengar pengawal salah memberi informasi tentang kepulangan Agra,” ujar di seberang sana.

Agina memijit pangkal hidungnya, “Ya, tapi ada yang lebih parah. Aku bertemu Agra tadi depan perusahaan.”

“Apa!” Agina sedikit menjauhkan ponselnya. Dia juga tidak tau mengapa. Padahal dia pergi ke sini hanya untuk mengambil berkas penting saja lalu pergi, tidak berencana bertemu Agra yang akan pulang besok. Namun takdir berkata lain dan dirinya tidak bisa mengelak. Salahkan dirinya sendiri yang tidak mau merepotkan anak buahnya untuk mengurus hal seperti ini.

“Tapi dia tidak mengenaliku,” tutur Agina dengan helaan napas.

“Tentu saja. Penampilanmu jauh berbeda dari delapan tahun lalu dan pipimu bertambah bulat.”

“Kak! Ini tidak ada hubungannya dengan pipiku,” dengus Agina jengkel dengan kejahilan kakaknya.

Terdengar tawa jenaka dari sana. “Kau kecewa?” Serius.

Agina mengerti maksud pertanyaan itu, “Iya, sedikit.”

“Delapan tahun tidak bertemu, jadi wajar kalau Agra tidak mengenalimu. Kau juga banyak berubah, jangan sedih ya,” ucapnya menenangkan.

Agina tertawa pedih menanggapi, “Sudahlah kak, aku sudah terbiasa di lupakan. Kakak tidak perlu terlalu memikirkan perasaanku.”

"Kok jadi sad 'ya?"

"Kak!" dengusnya merasa di permainkan, tapi dia tersenyum. "Sudahlah kak, aku mau lanjut kerja dulu. Bye."

"Bye." Panggilan berakhir.

Agina meletakkan ponselnya di atas meja. Tangannya membuka laptop dan mulai menari-nari di sana.

~~~

"Kau habis berbincang dengan gadis tadi?" tanya Agra begitu melihat sekretarisnya masuk ruangan.

"Iya, tuan," jawab Ezwar berdiri di hadapan Agra yang duduk di kursi kebesarannya.

"Tumben kau mau melakukannya, biasanya kau menghindari makhluk yang bernama wanita. Apa dia spesial bagimu, atau kah pacarmu?"

Ezwar meringis mendapat pertanyaan seperti itu. "Dia milik orang lain." 'Dan anda-lah pemiliknya.' Menyambung dalam hati.

"Rebut saja kalau kau sangat mencintainya." Agra tidak sadar ucapannya akan menjadi boomerang baginya. Matanya hanya fokus pada berkas di tangannya.

Ezwar menyeringai. Bagus juga kalau memancing emosi tuannya. "Anda yakin menyarankan saya melakukan itu?"

"Tentu saja, kau sangat mencintainya 'bukan?"

"Ya, saya sangat mencintainya sampai-sampai ingin tertawa." Ezwar tergelak di tempat.

Agra menatap dengan kening mengkerut. Sahabatnya sepertinya harus di bawa ke priskiater. "Kenapa memangnya?" decak.

"Anda yakin?"

"Iya."

"Tidak akan menyesal nanti?"

"Tidak akan."

"Yakin?"

"Iya."

"Yang benar?"

"Iya!" Agra kesal hingga suaranya naik satu oktaf.

Ezwar nyengir, "Gak deh. Saya takut ama pawangnya."

"Emangnya seberapa bahaya pacarnya?" Agra mulai penasaran.

"Woah... sangat bahaya, bahkan ia memiliki kuasa di seluruh dunia." 

"Seorang mafia?"

"Bukan mafia, tapi Presdir di perusahaan besar."

"Seberapa besar dengan perusahaan milikku?"

"Setara."

Agra mengeryit. Ia mulai berpikir siapa orang yang setara dengannya. Tidak sadar dengan Ezwar yang sekarang sedang menahan tawanya karena telah berhasil menipu dirinya.

'Selamat menikmati acara berpikirnya.' Ezwar keluar dan masuk ke ruangan miliknya. Tawanya langsung menggelegar di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status