Share

3. Ceo C.A

Menekan tombol di telepon agar terhubung dengan orang yang berada di resepsionis.

“Suruh nona Safira ke ruangan saya.” Kemudian memindahkan tangannya kembali pada laptop dan mengotak-atik di sana.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya orang di suruh datang pun berada di hadapannya.

“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” ucap Safira setelah membungkuk sesaat.

Agina menyerahkan beberapa berkas setebal se-inci yang langsung diambil oleh Safira. “Minta tanda tangan tuan Agra pada berkas ini. To-long,” berucap datar.

Mata Safira berbinar seperti biasa, kalau Agina menyuruhnya mengantar berkas pada tuan Agra. Itu artinya dia bisa menatap langsung wajah Presdir Pratama Group. Kepalanya bahkan antusias mengangguk, “Baik, Nona.” Melenggang keluar.

“Seperti biasa, kau disuruh ceo C.A untuk dimintai tanda tangan dariku,” tukas Agra terkesan sinis.

Safira menjadi gugup, mendengarnya. “I-iya, Tuan.” Menyerahkan dengan tangan gemetar.

Agra membacanya beberapa saat. Tersenyum miring pertanda puas dengan hasil kinerja Ceo C.A, sebelum akhirnya pulpennya bergerak menandatangani berkas tersebut.

Tangannya tersodor, siap menerima berkas itu kembali. Namun hal di luar dugaannya terjadi membuatnya tersentak.

Agra menghempas berkas itu dengan kasar di atas meja. Matanya menatap tajam gadis yang sekarang menunduk di depannya.

“Katakan pada Ceo C.A. Kalau dia menginginkan berkas ini, datang dan temui Aku. Ini perintah!” tegasnya.

Safira menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus berbuat apa. Selama ini belum ada kendala saat dirinya mengantarkan berkas dan sekarang malah disuruh melakukan sesuatu yang membuatnya panas-dingin.

“Cepat!”

Terlonjak sesaat. Safira langsung pergi ke ruangan Agina dengan sedikit berlari.

Untungnya ruangan Agina berada di bawah lantai ruangan Agra yang berada di lantai tertinggi. Jadi tidak terlalu jauh, menurut Safira.

Keningnya mengernyit melihat karyawannya tampak kelelahan sekaligus mata yang memancarkan ketakutan setalah kembali dari ruangan Agra. Bukan tatapan berbinar seperti biasanya.

Melirik tangan yang sedang bertumpu pada lutut itu. Kedua tangannya bertumpu dan dagunya ditopang, pandangan lurus ke arah gadis yang masih mengatur napasnya. Pikirannya menebak, “Kau kembali dengan tangan kosong.” Nada angkuh Agina, mampu membuat Safira berdiri tegak.

“Maaf, Nona. Tuan Agra ingin Anda yang mengambilnya sendiri.” Safira berdiri dengan pandangan menunduk.

“Begitukah?” Menaikkan sebelah alisnya.

Safira mengangguk. Mulutnya terasa kelu bahkan hanya untuk sekedar menjawab iya. Aura kedua manusia dingin ini sungguh mengintimidasi dirinya, membuatnya merasa lebih baik menjadi patung.

Agina mengangguk-angguk kepalanya, “Huum... Sebenarnya di sini siapa yang membutuhkan, Aku atau dia?” bertanya santai. Namun orang yang belum tentu disuruh menjawab, sudah lebih dulu berkeringat dingin.

“Dia ingin bertemu denganku, seharusnya 'kan dia yang mendatangiku.”

“Bu-bukankah A-anda yang mempunyai kepentingan dengan tuan Agra.” Safira sempat mengangkat kepala untuk menyerukan pendapatnya.

“Aku tidak peduli pada berkas itu. Jika dia tidak ingin mengembalikannya padaku, itu artinya dia yang akan menangani proyek pembangunan jembatan. Gampang ‘kan?”

Safira memilih menyetujui dengan menurun-naikkan kepalanya.

“Pergilah... Katakan apa yang kukatakan tadi.”

Safira pasrah dan kembali menyeret kakinya ke ruangan Agra.

“Beraninya dia mengatakan hal seperti itu.” Agra menggebrak meja dengan satu tangan.

Safira menghembuskan napasnya secara perlahan agar tidak menunjukkan rasa terkejut yang berlebihan.

Ezwar yang baru tadi masuk pun ikut terlonjak. “Apa terjadi sesuatu, tuan?”

“Ck, kau pergilah,” suruhnya menunjuk Safira. Kalau itu, tanpa disuruh pun Safira dengan senang hati melakukannya.

Pandangan Agra kini beralih pada sekretarisnya. “Tunjukkan di mana ruangan Ceo C.A.”

Napas Ezwar tercekat. “Untuk apa, tuan?”

Memandang dingin. “Kau tidak perlu tahu. Yang pasti kali ini, kau tidak bisa mengelak untuk tidak menunjuk ruangannya.”

Ezwar menelan ludahnya kasar. Bingung ingin melakukan apa. Hingga sebuah notifikasi dari ponselnya, helaan napas langsung keluar dari mulutnya. Dia memberikan jempol dan mengangkatnya ke atas.

Agra mengeryit dengan kelakuan yang ditunjukkan sekretarisnya. Namun, suara deringan ponsel mengalihkan perhatiannya. Tertera nomor yang tidak dikenal di sana. Agra tidak mau memusingkan untuk berpikir, memilih menjawab panggilan tersebut.

Beberapa detik telah berlalu, tapi masih belum ada suara dari arah seberang. Bahkan Agra pernah menatap ponselnya kembali, ingin tahu apakah masih tersambung.

“Halo.” Agra mengalah dan memilih menyerukan suaranya terlebih dahulu.

“Akhirnya Anda berbicara juga ‘ya.” Yang di seberang malah terkekeh. Mendengarnya, Agra menyipit tajam merasa hina karena orang terkekeh itu berhasil membuatnya menunggu.

“Kau, siapa?”

“Anda buru-buru sekali, bahkan saya belum menyapa anda. Saya ulangi ‘ya?” Tetap dengan kekekehannya.

Agra geram, “Siapa kau sebenarnya? Dan apa maumu?” Sepertinya orang ini ingin menguji kesabarannya.

Ezwar menggeleng kepalanya. 'Hais, Agina suka sekali mempermainkan orang’ batin Ezwar seraya tersenyum. Ia memilih duduk di sofa memperhatikan tuannya yang teleponan sambil berdiri.

“Anda tidak mengenali suara saya? Ah, saya lupa. Anda bahkan tidak tahu gender dari Ceo C.A.”

“Kau, kau Ceo C.A?” pekik Agra.

“Halo tuan Presdir Pratama Group.” Tersenyum miring.

Seketika Agra menyeringai. Mendapat sebuah pemikiran memang hal yang bagus di saat seperti ini. “Aku tidak menyangka Ayahku akan menyerahkan kepemilikan perusahaan 50 persen terhadap seorang wanita.” Sindiran halus, Agina tahu itu.

Sayang sekali, Agina menanggapinya dengan santai, “Anda terlalu meremehkan kemampuan gender kami, tuan Agra Pratama.”

“Bukan ingin meremehkan, tapi aku hanya takut sebagian perusahaan yang sudah dibangun susah payah oleh ayahku, jatuh ke tangan orang yang tamak. Sifat itu bukannya ada pada sebagian besar wanita.”

Senyum getir terukir di bibirnya, ‘Semua ini salahku. Kau jadi tidak percaya pada wanita lagi’. “Begitu ‘ya? Tapi mau bagaimana lagi, tuan Rangga sangat percaya pada saya. Anda tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya.”

“Begitu ‘kah?” Senyum jenaka. “Aku ingat betul yang tertulis di surat wasiat. Dan di sana tertera dengan jelas, apa yang harus saya lakukan jika ingin perusahaan kembali sepenuhnya menjadi milikku.”

Agina mendengus tidak suka, yang mana malah membuat Agra tertawa. Namun berikutnya, Agina menyeringai, “Baiklah. Saya menunggu tindakan anda.”

“Kau tau betul siapa orang yang kau tantang, Ceo C.A”

“Dan anda tidak mengenal siapa yang telah menantang anda, tuan Agra Pratama.”

Keduanya menarik sudut bibir membentuk sebuah senyuman penuh percaya diri. ‘Kita lihat, siapa yang akan menang.’

Ezwar menelan ludahnya kasar. pikirannya langsung tertuju pada hal yang negatif, melihat tuannya yang menyeringai sadis. 'Apa kedua iblis ini, ingin memulai peperangan?' batinnya.

Catatan Pengarang

Salam Manis dari Rain (◕ᴗ◕✿)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status