Menekan tombol di telepon agar terhubung dengan orang yang berada di resepsionis.
“Suruh nona Safira ke ruangan saya.” Kemudian memindahkan tangannya kembali pada laptop dan mengotak-atik di sana.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya orang di suruh datang pun berada di hadapannya.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” ucap Safira setelah membungkuk sesaat.
Agina menyerahkan beberapa berkas setebal se-inci yang langsung diambil oleh Safira. “Minta tanda tangan tuan Agra pada berkas ini. To-long,” berucap datar.
Mata Safira berbinar seperti biasa, kalau Agina menyuruhnya mengantar berkas pada tuan Agra. Itu artinya dia bisa menatap langsung wajah Presdir Pratama Group. Kepalanya bahkan antusias mengangguk, “Baik, Nona.” Melenggang keluar.
“Seperti biasa, kau disuruh ceo C.A untuk dimintai tanda tangan dariku,” tukas Agra terkesan sinis.
Safira menjadi gugup, mendengarnya. “I-iya, Tuan.” Menyerahkan dengan tangan gemetar.
Agra membacanya beberapa saat. Tersenyum miring pertanda puas dengan hasil kinerja Ceo C.A, sebelum akhirnya pulpennya bergerak menandatangani berkas tersebut.
Tangannya tersodor, siap menerima berkas itu kembali. Namun hal di luar dugaannya terjadi membuatnya tersentak.
Agra menghempas berkas itu dengan kasar di atas meja. Matanya menatap tajam gadis yang sekarang menunduk di depannya.
“Katakan pada Ceo C.A. Kalau dia menginginkan berkas ini, datang dan temui Aku. Ini perintah!” tegasnya.
Safira menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus berbuat apa. Selama ini belum ada kendala saat dirinya mengantarkan berkas dan sekarang malah disuruh melakukan sesuatu yang membuatnya panas-dingin.
“Cepat!”
Terlonjak sesaat. Safira langsung pergi ke ruangan Agina dengan sedikit berlari.
Untungnya ruangan Agina berada di bawah lantai ruangan Agra yang berada di lantai tertinggi. Jadi tidak terlalu jauh, menurut Safira.
Keningnya mengernyit melihat karyawannya tampak kelelahan sekaligus mata yang memancarkan ketakutan setalah kembali dari ruangan Agra. Bukan tatapan berbinar seperti biasanya.
Melirik tangan yang sedang bertumpu pada lutut itu. Kedua tangannya bertumpu dan dagunya ditopang, pandangan lurus ke arah gadis yang masih mengatur napasnya. Pikirannya menebak, “Kau kembali dengan tangan kosong.” Nada angkuh Agina, mampu membuat Safira berdiri tegak.
“Maaf, Nona. Tuan Agra ingin Anda yang mengambilnya sendiri.” Safira berdiri dengan pandangan menunduk.
“Begitukah?” Menaikkan sebelah alisnya.
Safira mengangguk. Mulutnya terasa kelu bahkan hanya untuk sekedar menjawab iya. Aura kedua manusia dingin ini sungguh mengintimidasi dirinya, membuatnya merasa lebih baik menjadi patung.
Agina mengangguk-angguk kepalanya, “Huum... Sebenarnya di sini siapa yang membutuhkan, Aku atau dia?” bertanya santai. Namun orang yang belum tentu disuruh menjawab, sudah lebih dulu berkeringat dingin.
“Dia ingin bertemu denganku, seharusnya 'kan dia yang mendatangiku.”
“Bu-bukankah A-anda yang mempunyai kepentingan dengan tuan Agra.” Safira sempat mengangkat kepala untuk menyerukan pendapatnya.
“Aku tidak peduli pada berkas itu. Jika dia tidak ingin mengembalikannya padaku, itu artinya dia yang akan menangani proyek pembangunan jembatan. Gampang ‘kan?”
Safira memilih menyetujui dengan menurun-naikkan kepalanya.
“Pergilah... Katakan apa yang kukatakan tadi.”
Safira pasrah dan kembali menyeret kakinya ke ruangan Agra.
“Beraninya dia mengatakan hal seperti itu.” Agra menggebrak meja dengan satu tangan.
Safira menghembuskan napasnya secara perlahan agar tidak menunjukkan rasa terkejut yang berlebihan.
Ezwar yang baru tadi masuk pun ikut terlonjak. “Apa terjadi sesuatu, tuan?”
“Ck, kau pergilah,” suruhnya menunjuk Safira. Kalau itu, tanpa disuruh pun Safira dengan senang hati melakukannya.
Pandangan Agra kini beralih pada sekretarisnya. “Tunjukkan di mana ruangan Ceo C.A.”
Napas Ezwar tercekat. “Untuk apa, tuan?”
Memandang dingin. “Kau tidak perlu tahu. Yang pasti kali ini, kau tidak bisa mengelak untuk tidak menunjuk ruangannya.”
Ezwar menelan ludahnya kasar. Bingung ingin melakukan apa. Hingga sebuah notifikasi dari ponselnya, helaan napas langsung keluar dari mulutnya. Dia memberikan jempol dan mengangkatnya ke atas.
Agra mengeryit dengan kelakuan yang ditunjukkan sekretarisnya. Namun, suara deringan ponsel mengalihkan perhatiannya. Tertera nomor yang tidak dikenal di sana. Agra tidak mau memusingkan untuk berpikir, memilih menjawab panggilan tersebut.
Beberapa detik telah berlalu, tapi masih belum ada suara dari arah seberang. Bahkan Agra pernah menatap ponselnya kembali, ingin tahu apakah masih tersambung.
“Halo.” Agra mengalah dan memilih menyerukan suaranya terlebih dahulu.
“Akhirnya Anda berbicara juga ‘ya.” Yang di seberang malah terkekeh. Mendengarnya, Agra menyipit tajam merasa hina karena orang terkekeh itu berhasil membuatnya menunggu.
“Kau, siapa?”
“Anda buru-buru sekali, bahkan saya belum menyapa anda. Saya ulangi ‘ya?” Tetap dengan kekekehannya.
Agra geram, “Siapa kau sebenarnya? Dan apa maumu?” Sepertinya orang ini ingin menguji kesabarannya.
Ezwar menggeleng kepalanya. 'Hais, Agina suka sekali mempermainkan orang’ batin Ezwar seraya tersenyum. Ia memilih duduk di sofa memperhatikan tuannya yang teleponan sambil berdiri.
“Anda tidak mengenali suara saya? Ah, saya lupa. Anda bahkan tidak tahu gender dari Ceo C.A.”
“Kau, kau Ceo C.A?” pekik Agra.
“Halo tuan Presdir Pratama Group.” Tersenyum miring.
Seketika Agra menyeringai. Mendapat sebuah pemikiran memang hal yang bagus di saat seperti ini. “Aku tidak menyangka Ayahku akan menyerahkan kepemilikan perusahaan 50 persen terhadap seorang wanita.” Sindiran halus, Agina tahu itu.
Sayang sekali, Agina menanggapinya dengan santai, “Anda terlalu meremehkan kemampuan gender kami, tuan Agra Pratama.”
“Bukan ingin meremehkan, tapi aku hanya takut sebagian perusahaan yang sudah dibangun susah payah oleh ayahku, jatuh ke tangan orang yang tamak. Sifat itu bukannya ada pada sebagian besar wanita.”
Senyum getir terukir di bibirnya, ‘Semua ini salahku. Kau jadi tidak percaya pada wanita lagi’. “Begitu ‘ya? Tapi mau bagaimana lagi, tuan Rangga sangat percaya pada saya. Anda tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya.”
“Begitu ‘kah?” Senyum jenaka. “Aku ingat betul yang tertulis di surat wasiat. Dan di sana tertera dengan jelas, apa yang harus saya lakukan jika ingin perusahaan kembali sepenuhnya menjadi milikku.”
Agina mendengus tidak suka, yang mana malah membuat Agra tertawa. Namun berikutnya, Agina menyeringai, “Baiklah. Saya menunggu tindakan anda.”
“Kau tau betul siapa orang yang kau tantang, Ceo C.A”
“Dan anda tidak mengenal siapa yang telah menantang anda, tuan Agra Pratama.”
Keduanya menarik sudut bibir membentuk sebuah senyuman penuh percaya diri. ‘Kita lihat, siapa yang akan menang.’
Ezwar menelan ludahnya kasar. pikirannya langsung tertuju pada hal yang negatif, melihat tuannya yang menyeringai sadis. 'Apa kedua iblis ini, ingin memulai peperangan?' batinnya.
Catatan Pengarang
Salam Manis dari Rain (◕ᴗ◕✿)
Bunyi notifikasi tiba-tiba terdengar. Ezwar membuka aplikasi bergambar telepon dengan warna hijau dan mengecek pesan suara yang ternyata dari tuan Agra.‘Wakilkan aku di meeting hari ini, atau minta bantuan Ceo C.A untuk memimpin meeting. Suaraku sedang tidak bagus hari ini.’ Begitulah isi klip suara yang terdengar.Ezwar mengerutkan kening. Suara tuan Agra memang terdengar serak dan berat lebih dari biasanya. “Mungkin lagi batuk,” gumamnya.Ezwar memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Langkahnya terhenti dengan mata langsung melotot melihat beberapa tumpukan kertas setinggi 1 meter. Ah, ia ingat sekarang. Kemarin tuan seenak jidatnya itu mengatakan akan menyerahkan beberapa berkas padanya.“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menyerahkan masalah rapat pada Agina.” Menghela napas seolah itu adalah solusi terbaik, padahal dalam hatinya bersorak gembira.Segera saja Ezwar menuju ruang Agina.
Mendengar suara tapak sepatu yang beradu dengan lantai. Agina yang setengah jalan menaiki tangga, langsung turun ke bawah.“Oh, kau rupanya,” tukasnya. Agina menghampiri dan ikut duduk di sofa. “Stok akal kehabisan lagi?”Erwin itu mendengus. Wajar sih Agina berkata begitu, dirinya pulang langsung duduk di sofa ruang tamu dan memeluk bantal dengan senyum-senyum gak jelas di wajah tampannya. Tapi gak perlu bilang stok akal kehabisan segala, itu secara tidak langsung menyindirnya sudah gila.“Kau, sudah makan?” tanya Agina dan itu malah menambah binar di raut sahabatnya.“Sudah tadi, dengan wanitaku” Agina tidak terkejut atau terlonjak mendengarnya. Hal itu biasa baginya. Memangnya siapa lagi yang bisa membuat temannya ini menjadi tidak waras. “Oh, ya. Ku dengar Agra mengajakmu menikah.Agina memijit pelipisnya, “Dia benar-benar benci pada wanita setelah kejadian itu. Dan menganggap aku wani
Agina melepaskan helm dari kepalanya dan menggusar rambutnya sampai teruntai bergelombang di pinggangnya. Kemudian turun dari motor baru yang langsung tersedia dengan hanya mengucapkan beberapa kata. Bahkan pakaian kini yang tadinya kotor kini berganti.“Apa ini sikap yang harus diikuti oleh para bawahan, yaitu datang ke perusahaan saat sudah waktunya makan siang.”Agina memutar bola matanya jengah dan berbalik, menatap orang yang sedang menaikkan sebelah alisnya dengan senyum kemenangan yang terukir. “Sejak kapan Anda peduli dengan waktu saya, tuan Agra Pratama.”Agra menghendikkan bahunya dan tersenyum miring.Alis Agina menukik, entah dari mana firasat aneh muncul dalam dirinya. Dia bersidikap dan memandang lelaki itu curiga. “Apa Anda merencanakan sesuatu?”“Apa maksudmu?” Agra tertawa pelan menutupi kegugupannya. Sial, kenapa reaksinya seperti telah tertangkap basah. Kalau begini, rencananya tida
“Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya. Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya. Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya. Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?” Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih. Maafkan ak
“Begitu ‘ya. Baiklah, aku keluar. Di mana kau sekarang?” Agina mengangguk setelah mendapat jawaban dan mematikan ponsel. Meletakkan ponselnya di meja dan bangkit dari kursi kebesarannya. Ia menyampirkan blazer berwarna mocca di kedua pundaknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan. Namun belum sempat menekan sandi, pintu itu lebih dulu terbuka. “Sean,” ucapnya. “Ah, Nona. Saya ingin memberitahukan kalau orang itu mengorupsi lagi, namun kali ini dengan jumlah lebih besar yaitu sekian. Apa yang harus saya lakukan?” Menyampaikan dengan intonasi cepat. Lelaki bersurai pirang itu menghembuskan napasnya agar kembali tenang. Agina mendekap dadanya dengan lengan kiri, sedangkan siku lengan kanan bertopang serta jari telunjuk yang berada di dagu. Khas gaya berpikirnya. “Kalau begitu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.” “Pasti akan saya lakukan, Nona,” tegas Sean. Agina balas tersenyum.
“Seberapa banyak yang kau dapatkan?” tanya Agra. Ia menegapkan tubuhnya pada sofa saat sekretarisnya menyerahkan berkas padanya. “Informasinya tetap sama seperti sebelumnya,” jawab Ezwar. “Sama? Berarti sebelumnya kau sudah pernah menyelidiki tentang Agina ya.” Agra membacanya. Hembusan napas panjang menandakan ketidakpuasan dari apa yang dibacanya. “Sesedikit ini. Bahkan foto masa kecil serta nama panti asuhannya pun tidak ada.” Nama: Agina Pratama Umur: 23 tahun Pekerjaan: Ceo Makanan kesukaannya pun tidak ada, batinnya. “Pertama kali bertemu Agina, aura kepemimpinan begitu kentara menguar dari dirinya. Agina bahkan mampu mengerjakan tugas dengan sempurna. Jadi tidak ada alasan bagi saya membantah saat Ayah mengatakan dia sebagai Ceo Pratama Group,” terang Ezwar. Sedikit menunjukkan reaksi mendengar orang itu juga dibawa-bawa sekretarisnya. “Paman Ilham juga termasuk rupanya. Entah kenapa aku merasa kita berdua dikhia
Ezwar menyalip diantara kendaraan lainnya dengan hati-hati serta menjaga jarak aman dari Agina agar dia tidak curiga. Sial. Apa Agina seorang pembalap profesional juga? Bagaimana bisa dia menyalip kendaraan semulus itu padahal membawa motor dengan cepat. Merepotkan, gerutu Ezwar dalam hati. Begitulah, Ezwar. Selain mengikuti Agina, dia juga tidak berhenti ngedumel dalam hati. Bertanya-tanya anak siapa sampai bisa sehebat ini. Tempat yang didatangi Agina langsung menghasilkan kenyitan di dahinya. Ezwar memarkirkan motornya tidak jauh dari sana dan berjalan mengendap-endap. Melihat rumah besar yang dimasuki Agina. “Anggara Material Art” nama itu yang tertulis di papan atas. “Anggara? Marga itu terdengar gak asing.” Mengetuk-ngetuk kepalanya dengan telunjuk, mencoba mengingat-ingat kata itu kembali namun nihil. “Bagus, Agina tidak menutup pintunya,” ucapnya, melihat Agina yang membuka pintu lebar-lebar tapi lupa menutupnya. Dengan berjinjit-jinji
Suara ketukan pintu menghentikan kegiatan Agina yang sedang mengecek dokumen. Ia menekan tombol remote untuk membuka pintu. Memperlihatkan seorang pria gagap yang berjalan ke arahnya dengan sebuah kardus besar di tangannya. “Apa itu?” tanya Agina. Ia menyingkirkan beberapa berkas ke pinggiran meja, membiarkan kardus besar itu diletakkan di sana. “Kiriman dari orang yang tak diketahui, Nona,” ucapnya. Agina menelisik wajah pria itu yang disangka bawahannya. “Orang baru?” Pria itu membungkuk sedikit. “Ya, Nona. Saya baru diterima dua hari yang lalu.” Tubuhnya ia tegakkan kembali. Sontak matanya melotot melihat pistol yang ditodongkan padanya. Agina langsung menembak tepat mengenai perut. Pria itu terduduk sesaat sebelum akhirnya badannya jatuh tengkurap. Bibirnya tersenyum miring. “Maaf ya, tapi anggota Seven Devil’s punya sesuatu simbol yang tidak dimiliki anggota organisasi lain.” Memasukkan kembali pistol ke dalam saku celana lainnya.