Share

5. Tentang Agina

Mendengar suara tapak sepatu yang beradu dengan lantai. Agina yang setengah jalan menaiki tangga, langsung turun ke bawah.

“Oh, kau rupanya,” tukasnya. Agina menghampiri dan ikut duduk di sofa. “Stok akal kehabisan lagi?”

Erwin itu mendengus. Wajar sih Agina berkata begitu, dirinya pulang langsung duduk di sofa ruang tamu dan memeluk bantal dengan senyum-senyum gak jelas di wajah tampannya. Tapi gak perlu bilang stok akal kehabisan segala, itu secara tidak langsung menyindirnya sudah gila.

“Kau, sudah makan?” tanya Agina dan itu malah menambah binar di raut sahabatnya.

“Sudah tadi, dengan wanitaku” Agina tidak terkejut atau terlonjak mendengarnya. Hal itu biasa baginya. Memangnya siapa lagi yang bisa membuat temannya ini menjadi tidak waras. “Oh, ya. Ku dengar Agra mengajakmu menikah.

Agina memijit pelipisnya, “Dia benar-benar benci pada wanita setelah kejadian itu. Dan menganggap aku wanita tamak.”

Erwin mengangguk, mengerti, “Agra, memang payah dalam urusan cinta. Kepintarannya selalu hilang jika menyangkut wanita yang dicintainya.”

Agina menunjuk benda yang dapat melihat pantulan diri, “Ngaca! Aku gak beli cermin sebesar itu buat hiasan doang,” ucapnya galak.

Erwin nyengir. Namun sedetik kemudian menatap serius Agina. “Apa maksudmu?”

Agina berdiri, “Aku tau kau tidak bodoh, Erwin. Tapi ku peringatkan padamu sekali lagi, jangan memberitahukan identitas kita pada wanitamu.” Melangkah meninggalkan laki-laki yang termenung di sofa, memikirkan ucapannya.

Matanya menatap sendu tangga yang dinaiki sahabatnya, ‘Maafkan aku, Agina. Aku tidak bisa memberitahumu kalau Tamaki sering menanyakan tentang kita, terlebih lagi dirimu.’

~~~

Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibirnya. Ingatannya kembali menerawang, mengingat kata-kata Ceo C.A yang membuatnya stres sampai sekarang.

Namun beberapa pertanyaan yang di pertanyakannya selama ini, terjawab setelah wanita itu mengatakan kalimatnya.

‘Ternyata, Ceo C.A lah yang menyuruh pengawal membawakan ku makan siang selama ini.’ Memejamkan mata sambil meminum secangkir kopi di tangannya.

Hembusan angin malam menusuk tubuh yang bertelanjang dada itu. Agra berdiri di balkon dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambutnya yang masih menitikkan air sudah dapat diduga kalau dia habis menyelesaikan ritual membersihkan tubuhnya.

“Keringkan rambut Anda dulu, Tuan.”

Suara yang mengintrupsi dari belakang, membuatnya berbalik. Matanya langsung menatap tajam yang di balas datar oleh sang lawan.

“Katakan padaku. Perintah siapa yang kau turuti?”

“Perintah Anda, tuan,” berucap tenang.

Agra mengacak rambutnya frustasi, membuat rintihan air ke mana-mana. Ia jadi tidak percaya pada orang di sekitarnya hanya karena beberapa kata dari wanita itu. Bahkan orang di hadapan yang sudah menemaninya selama delapan tahun pun di pertanyakan kesetiaannya.

“Pak Wil, keluarlah. Aku sedang tidak ingin diganggu.”

“Baik, tuan.” Orang tua itu membungkuk hormat dan keluar dari kamar majikannya.

Setelah pak Wil menghilang dari pandangannya. Agra kembali mengerang. Merasa aneh pada dirinya yang bereaksi berlebihan terhadap wanita yang ditemuinya tadi siang.

Padahal mereka baru bertemu dua kali, tapi Agra uring-uringan sendiri. Seolah tidak mengenali dirinya lagi yang selalu bersikap tenang dan bijak saat menghadapi masalah.

Meraih handuk kecil di penyangkut. Agra mengusap kepalanya sambil memejamkan mata. Mungkin dengan begitu ia akan tenang.

‘’Ku mohon... jangan berdetak terlalu cepat.’

Keesokan harinya.

“Kau, terlambat bangun lagi.” Wanita dengan celemek di tubuhnya serta spatula itu, menghela napas melihat sahabat wanita yang baru turun dari tangga lengkap dengan baju model turtleneck dan celana panjangnya.

“Tidak ada panggilan pagi ini.” Agina menguap. Menghampiri meja makan dan duduk di sana.

“Selalu seperti itu, mengandalkan dering ponsel sebagai alarm.”

“Mau bagaimana lagi.” Agina menghembuskan napasnya kasar.

Diantara mereka, Agina-lah yang paling sering terlambat bangun. Bisa dibilang ia kebo. Namun setelah berjanji melindungi Agra, Agina mulai mengandalkan panggilan yang selalu ada tiap pagi sebagai alarm. Itu pun dirinya yang menyuruh orang menelponnya di pagi hari.

“Erwin, ke mana? Terus si kembar FTN gak ke sini?” tanya Agina seraya memakan roti yang sudah diberi selai olehnya.

“Erwin, udah berangkat dari tadi. Kalau Fathan dan Nathan, mereka katanya ada urusan dan tidak akan pulang hari ini.”

‘Pasti ke kebun binatang lagi.’ Agina membatin.

“Aku pergi, kak Lidya!” teriaknya.

“Hati-hati ‘ya!”

Agina mengambil motornya yang berada dalam bagasi. Motornya melaju keluar dari hutan. Melakukannya di jalan raya dengan kecepatan sedang.

Agina melirik kaca spion merasa gelagat aneh di belakangnya. Tersenyum miring di balik helmnya, melihat beberapa orang bermotor berpakaian serba hitam sedang bersembunyi di sebuah mobil.

Tangannya kanannya menepuk saku roknya. Sesuatu yang menggembung sangat terasa. “Baiklah. Mari bermain sebentar,” gumamnya seraya menambahkan kecepatan.

“Bos, sepertinya dia menyadari keberadaan kita,” ujar salah satu di antara mereka, melihat yang diincar menambah kecepatan motornya.

“Kejar dia, jangan sampai kehilangan jejak.”

“Baik.”

Senyumnya semakin lebar dengan gambar yang memantul dari kaca spion. Kelajuannya bertambah bersamaan dengan beberapa orang di belakangnya. Menyalip kendaraan membuat orang-orang marah dan mengumpati mereka.

“Cih, hanya enam orang.”

Agina membelok secara tiba-tiba di persimpangan. Membuat dua pengendara motor melaju ke depan karena tidak tau kalau incaran akan berbelok.

Ternyata Agina mengarah ke jalan yang jarang dilalui kendaraan. Itu dikarenakan jalan ini menuju daerah pegunungan.

Mengeluarkan pistol dari sakunya dan mengarahkannya ke belakang. Mengandalkan kaca spion sebagai mata kedua.

Dor!

Tepat mengenai ban motor pengendara paling depan, membuatnya hilang kendali sampai akhirnya motor beserta pengendara terseret dengan aspal.

Hendak menembak kembali, namun fokusnya hilang saat sebiji peluru melewati samping kepala kanannya.

‘Sial, mereka membawa pistol juga.’

Merasa peluru yang mengarah padanya terlalu beruntun. Agina melompat dan sempat menendang motornya ke tepi jalan sampai mengenai salah satu diantara mereka dan ikut terhempas bersama motornya. Tubuhnya berguling menghantuk pembatas jalanan.

“Aww,” ringisnya. Matanya melotot melihat cairan merah di tangannya. Tapi ini bukan waktunya istirahat, karena dua orang yang masih tersisa sekarang berbalik menuju ke arahnya.

Agina langsung berdiri dan berlari menuju salah satu pohon, bersembunyi di sana. Tidak salah membawa mereka ke jalan ini karena begitu banyak pohon.

Dua orang itu berjalan beriringan memasuki hutan. Matanya berkeliaran mencari sosok yang disuruh dibunuhnya.

Agina mengatur napasnya pelan untuk membuatnya lebih rileks. Bibirnya langsung menyeringai mendengar langkah kaki yang semakin mendekat.

Tangannya merogoh saku satunya lagi, mengambil senapan. Merasa langkah kaki di belakangnya, Agina mengitari pohon dan sekarang berada tepat di belakang keduanya.

Keduanya berbalik, mendengar suara dari arah belakang.

“Hai.” Tersenyum.

Dor!

Telat mengenai bagian letaknya ginjal kiri. Langsung ambruk dengan mata melotot.

Agina memandang puas dua orang telentang di rumput. Memasukkan kembali senapan ke dalam saku.

Tangannya menekan speaker yang terletak di telinga kirinya. “Sean, bereskan karya seniku di jalan rose blok D. Dan cari tau siapa pesuruhnya.”

Seketika wajahnya kembali datar nan dingin, “Terima kasih untuk latihan hari ini.” Setelahnya Agina pergi menggunakan salah satu motor mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status