Share

6. Steven William

Agina melepaskan helm dari kepalanya dan menggusar rambutnya sampai teruntai bergelombang di pinggangnya. Kemudian turun dari motor baru yang langsung tersedia dengan hanya mengucapkan beberapa kata. Bahkan pakaian kini yang tadinya kotor kini berganti.

“Apa ini sikap yang harus diikuti oleh para bawahan, yaitu datang ke perusahaan saat sudah waktunya makan siang.”

Agina memutar bola matanya jengah dan berbalik, menatap orang yang sedang menaikkan sebelah alisnya dengan senyum kemenangan yang terukir. “Sejak kapan Anda peduli dengan waktu saya, tuan Agra Pratama.”

Agra menghendikkan bahunya dan tersenyum miring.

Alis Agina menukik, entah dari mana firasat aneh muncul dalam dirinya. Dia bersidikap dan memandang lelaki itu curiga. “Apa Anda merencanakan sesuatu?”

“Apa maksudmu?” Agra tertawa pelan menutupi kegugupannya. Sial, kenapa reaksinya seperti telah tertangkap basah. Kalau begini, rencananya tidak akan berjalan.

Jawaban yang tidak diharapkan itu sama sekali tidak menyurutkan rasa curiganya. “Aneh saja tiba-tiba Anda mengkritik yang saya lakukan, karena sebelumnya kita sendiri-sendiri, tidak mencampuri urusan satu sama lain.”

“Apa yang aneh dari itu, bukankah sudah sepatutnya kita akrab agar bisa bekerja sama dengan baik?”

Logis. Penjelasan itu sangat masuk akal. Namun Agina merasa ada yang janggal, terlebih dengan Agra yang tiba-tiba bersikap lebih hangat terhadapnya. Seolah-olah mereka memang sudah seperti ini sebelumnya. “Hum, terserah Anda saja.” Memutar bola matanya. Tapi, tunggu! Bekerja sama dengan baik? Agina membelalakkan matanya. “Apa maksud Anda dengan bekerja sama dengan baik?” Menatap tajam.

“Tidak ada yang salah ‘kan? Kita sama-sama pemimpin Pratama Group, akan lebih bagus kalau kita bisa bekerja sama tanpa adanya pendapat yang bertentangan. Perusahaan pasti akan lebih berjaya, dan sepertinya kita memiliki jalan pikir yang sama terbukti dari rapat kemarin,” jelasnya.

Rapat kemarin, rapat kemarin, ya... Rapat kemarin. Agina menyeringai saat sebuah pemikiran menjurus pada kepalanya. Ia mendekat pada lelaki itu, dapat dilihat kalau dia terkesiap akan tindakannya. Kini tubuh keduanya hanya berjarak sejengkal. Agina menengadahkan kepalanya, menatap sepasang mata biru yang juga ikut menatapnya. Agina tersenyum remeh. “Apapun rencana dalam kepala Anda, saya tidak akan menghalanginya. Namun saya ingatkan, semuanya akan sia-sia.”

Agra tersentak yang mana malah membuat Agina semakin yakin dengan pemikirannya.

“Agina!”

Keduanya menoleh dan mendapati laki-laki yang berjalan terburu-buru. Tangan Agina ditarik dan membawa menjauh dari Agra. “Kau tidak papa?” Saraf akan kekhawatiran begitu kentara. Lelaki itu bahkan membolak-balik tubuh Agina untuk memastikan keadaannya.

Agina memegang tangan yang bersiap membalikkan tubuhnya lagi. “Aku baik-baik saja, kak. Hanya ada luka kecil di tubuhku.” Menyibak pony rambut yang menutupi plester di keningnya.

“Nah ‘kan! Udah beberapa kali aku bilang, kau itu dalam bahaya. Harusnya ada sepuluh pengawal di sekitarmu, tapi kau malah nolak. Keras kepala banget gak sesuai sama ukuran badan....” omelnya panjang lebar.

Agina justru menanggapi dengan menguap yang langsung dihadiahi jitakan di kepalanya. “Gak sopan, orang lagi ngomong malah nguap. Gak ngehargain banget sih.” Cemberut.

Agina mengusap kepalanya. “Ya ‘kan, kak Steven ngomongnya panjang banget.”

Steven menghela napas. Percuma mengomeli Agina yang dari dulu keras kepalanya tingkat tinggi.

Ekhem...

Atensi keduanya beralih pada lelaki yang sedari tadi diabaikan. Matanya memandang tajam pada laki-laki yang berani menyentuh Agina.

“Oh, maaf telah melupakan keberadaan Anda, tuan Agra Pratama,” ucap Steven datar.

Keduanya menatap tajam menciptakan atmosfer yang mencekam. Ditambah aura dingin atau ketidakpedulian Agina semakin memperkeruh. Untunglah di sana sepi jadi tidak ada media yang akan meliput.

“Bertahun-tahun tidak bertemu kau tidak berubah ‘ya, Steven William. Bagaimana keadaan adikmu selama dibenci olehku?” Agra berkata dingin.

“Jauh lebih baik, bahkan dia menjadi sosok yang tangguh dan dikagumi oleh banyak orang.” Tersenyum mengingat orang yang dibicarakan, meski sebenarnya berada di sampingnya sedang menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir.

Raut Agra semakin datar. Dia memasukkan kedua tangannya dalam saku. “Ngomong-ngomong, beberapa tahun ini sepertinya kalian menghilang bagai ditelan bumi. Apa ada sesuatu yang terjadi?”

Steven mengelus pucuk kepala Agina yang secara reflek memejamkan mata menikmati sentuhan. Agra melirik tangan itu. “Apa pedulimu? Adikku saja kau sakiti, tapi untunglah adikku bukan tipe pendendam kalau tidak kau pasti sudah mati sekarang.”

Ck! Agra tetap dengan tatapan sinisnya.

“Kakak, sudah makan?” tanya Agina tiba-tiba.

Sontak Agra menatap Agina dan Steven secara bergantian. “Apa hubungannya kalian?”

“Adik-kakak,” jawab Agina datar, menggenggam tangan Steven.

Seketika Agra tertawa. Kedua kakak-beradik memutar bola mata jengah, seolah tahu apa yang ada di pikiran lelaki itu. “Sebenarnya ada berapa sih adikku, Stev? Setiap ada orang dekat denganmu, kau selalu bilang itu adikku. Orang tuamu kuat banget produksi anak.”

Dug!

Agra meringis akibat tendangan di perutnya. Steven menutup mulutnya menahan tawa. Kalau seperti ini, Agina sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Lihatlah, gadis itu bahkan langsung menarik tangannya menjauh tanpa memperdulikan lelaki yang sedang memegang perutnya kesakitan. Namun masih untung karena Agina tidak menendang pada titik vitalnya.

“Kau itu. Kalau kelakuanmu seperti tadi, itu tidak mencerminkan kau mencintainya,” tutur Steven begitu sampai di tempat motor Agina.

Agina menghendikkan bahunya. Ia berjinjit dan memasangkan helm pada kepala Steven. “Dia menghina keluargaku.” Jika orang lain melihatnya pasti mengira mereka sepasang kekasih, namun nyatanya itu adalah bentuk dari kasih sayang satu sama lain. Perhatian kecil seperti ini yang membuat mereka terjalin sampai sekarang.

Steven tersenyum dan menaiki motor sport itu begitu pun dengan Agina. Gadis itu memegang kedua pundak Steven. “Siap?”

“Siap!” Menjawab dengan semangat.

Steven tertawa kecil, sebelum akhirnya men-star melajukan motornya.

Agra masih memegangi perutnya dengan sesekali merasa ngilu. Sialan, tidak menyangka gadis mungil seperti Agina bisa menendang dengan begitu kuatnya. Bahkan dirinya merasa ingin memuntahkan darah.

Agra berjalan tertatih-tatih ke dalam perusahaan. “Tunggu saja Agina, akan kubuat kau terjerat denganku sampai-sampai kau tidak ingin jauh dariku walau hanya sedetik.” Bibirnya menyeringai, mengingat segala rencana yang tersusun rapi dalam pikirannya. Hingga waktunya tiba, gadis itu tidak bisa lepas darinya.

“Perasaan apa ini?” Agina meremat baju di bagian d*ada.

“Ada apa?” tanya Steven karena tidak lagi mendengar suara teriakan adiknya.

Agina tidak menjawab. Dia malah menekan pundak Steven dan secara perlahan menaikkan kakinya berdiri di atas motor. Tangannya ke atas dan... “Aaa...!” teriaknya. Dirinya menjadi pusat perhatian yang menatap tak percaya ke arahnya.

“Dasar.” Menggerutu, namun tersenyum. Menurunkan kecepatan motor agar lebih aman, meskipun mereka pernah melakukan hal ini puluhan kali. Keahlian mengendara Steven dan keseimbangan Agina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status