Bunyi notifikasi tiba-tiba terdengar. Ezwar membuka aplikasi bergambar telepon dengan warna hijau dan mengecek pesan suara yang ternyata dari tuan Agra.
‘Wakilkan aku di meeting hari ini, atau minta bantuan Ceo C.A untuk memimpin meeting. Suaraku sedang tidak bagus hari ini.’ Begitulah isi klip suara yang terdengar.
Ezwar mengerutkan kening. Suara tuan Agra memang terdengar serak dan berat lebih dari biasanya. “Mungkin lagi batuk,” gumamnya.
Ezwar memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Langkahnya terhenti dengan mata langsung melotot melihat beberapa tumpukan kertas setinggi 1 meter. Ah, ia ingat sekarang. Kemarin tuan seenak jidatnya itu mengatakan akan menyerahkan beberapa berkas padanya.
“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menyerahkan masalah rapat pada Agina.” Menghela napas seolah itu adalah solusi terbaik, padahal dalam hatinya bersorak gembira.
Segera saja Ezwar menuju ruang Agina.
~~~
“Kau ingin aku memimpin rapat yang seharusnya bagian milik Agra?” Ezwar mengangguk. “Memangnya, Agra ke mana?”
“Agra mengirimiku pesan klip suara tadi dan suaranya terdengar serak. Mungkin lagi sakit.”
Gerakan jemarinya pada laptop secara reflek terhenti. Sakit?
Segera Agina meraih benda pipih dan menghubungi seseorang. “Halo, kak Steven. Apa benar Agra sakit?” lirihnya cemas.
“Apa sakit yang kau maksud itu sakit jiwa? Karena ku lihat dari tadi dia senyum-senyum gak jelas saat sarapan.”
Perempatan muncul di kening Agina. Senyum-senyum gak jelas?
“Lagi kasmaran ‘kah?”
“Mungkin (Menghendikkan bahu). Mana tau dia bertemu wanita cantik dan langsung jatuh cinta.”
“Kau tidak bisa menggodaku, kak. Kau tau betul, aku mengetahui siapa pun yang bertemu atau ditemui Agra.” Tersenyum miring.
Steven tertawa, “Tapi nada bicara serta kalimatmu, sudah menunjukkan kau cemburu.”
Agina mendengus dan mengakhiri panggilannya. “Baiklah, aku akan menggantikan Agra.” Dia menatap Ezwar yang membeo. Keningnya mengkerut, “Kenapa?”
“Apa itu S.W dan S singkatan dari Steven, salah satu orang yang berhasil menghentikan peperangan antara negara Flowering dan negara Green Leaf?”
“Kau jangan mengada-ada.” Memandang malas. “Lagi pula siapa aku sampai akrab dengan pahlawan dua Negara.”
“Ya, kau benar. Setiap mendengar nama berinisial C.A, S.W, E.A, A.S, L.A, dan si kembar F.A, N.A, aku selalu mengira itu mereka.” Mendesah kecewa.
Agina menanggapi dengan tersenyum, ‘Pemerintahan menyembunyikan identitas kami dengan baik.’
~~~
Semua menegang begitu orang itu masuk. Beberapa juga ada yang berbisik pelan dalam posisi tegaknya.
“Bukannya Presdir yang akan memimpin rapat ini.” Itulah yang menjadi persoalannya.
Meja berbentuk persegi panjang itu di penuhi karyawan yang siap menunjukkan ide mereka. Sedangkan Agina, dia duduk di ujung meja tepat membelakangi pintu. Matanya mengintimidasi semua orang, membuat atmosfer terasa dingin dan mencekam.
“Kita mulai meeting hari ini,” ucapnya datar.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian. Mata mereka terbelalak menyaksikan pemandangan di depan pintu.
Agina mengeryit dengan fokus semua karyawan. Kepala menoleh ke belakang menyaksikan hal yang menarik perhatian. Wajahnya bertambah dingin. Sial, dia terjebak!
“Maaf, saya terlambat.” Tersenyum miring secara khusus terhadap orang yang menatap tajam dirinya.
Melangkah menuju kursi yang berhadapan dengan Agina. Menyilangkan kaki dan tangannya dan ikut memandang tajam orang yang pandangannya juga tidak lepas darinya.
‘Aku tidak menyangka, orang yang hampir menabrak ku beberapa hari lalu adalah Ceo C.A.’
‘Ada apa ini?’ Suasana yang bertambah mencekam membuat semua yang berada dalam ruangan menjerit dalam hati.
Agina melirik ke kanan-kiri dan mendapati beberapa pengawal yang berdiri tegak berjaga di depan pintu dan juga jendela. ‘Apa dia berpikir aku akan melompat dari lantai 70 ini, sampai menyuruh bodyguard berjaga di sekitar jendela.’
“Maaf sudah mengambil hak Anda. Sekretaris Ezwar menyuruh saya menggantikan posisi Anda, dikarenakan Anda yang sedang sakit.”
“Tidak masalah Ceo C.A. Maaf juga telah merepotkan Anda, tapi sekarang saya sudah merasa lebih baik.”
“Baguslah. Kita bisa mulai rapatnya sekarang.”
Akhirnya setelah kejadian mengejutkan, rapat pun dimulai. Meskipun ini pertama kalinya mereka memimpin rapat secara bersamaan, tapi sepertinya otak Agra dan Agina sejalan. Tidak ada perdebatan pendapat, malahan pemikirannya sama dan saling memberi solusi.
Satu jam berlalu dan semua karyawan keluar dari ruangan. Tinggal Agra dan Agina yang masih betah berada di sana.
“Saya akui, rencana Anda menjebak saya kali ini sangat brilian. ” ujar Agina menumpu kakinya. Agra berdiri, hendak mendekati Agina. Namun telapak tangan itu membuat langkah Agra berhenti. ‘Dulu baru pertama bertemu saja, bibirku udah gak perawan dibuatnya. Bagaimana dengan pertemuan setelah delapan tahun ini, bisa-bisa aku yang dibuat gak perawan lagi.’
Agra memilih menjaga jarak sesuai permintaan Agina. Duduk di kursi ketiga terhitung dari jarak wanita itu. “Aku ingin membahas soal surat wasiat ayahku.”
“Ya, di sana tertulis Anda harus menikahi nona Claudya jika ingin perusahaan menjadi milik Anda sepenuhnya. Namun Anda tidak mau menikahinya akibat kejadian masa lalu yang menyebabkan Anda begitu membenci nona Claudya.”
Agra tertekun sesaat. Memejamkan mata saat sesuatu melintas di pikirannya seperti kaset. “Kau benar, aku tidak mau menikahi orang yang ku benci. Karena itu, menikahlah denganku.” Agra berucap serius.
Agina meringis dengan ucapan Agra. ‘Aku orang yang kau benci, Agra. Claudya Agina, itu nama panjangku,” batinnya seraya menghela napas. “Tetap saja 50 persen itu tidak akan kembali kepada Anda, karena di surat tertera Anda hanya boleh menikah dengan nona Claudya. Jika bukan nona Claudya, 50 persen itu tetap milik saya,” jelasnya.
“Tapi hukum negara menetapkan, seorang wanita yang menikah harus memberikan seluruh hartanya pada sang suami.”
“Anda ingin memanfaatkan saya.” Mendeklik.
“Setelah pernikahan ini terjadi, sampai kapan pun aku tak akan menceraikanmu. Aku juga tidak akan mengambil 50 persen itu. Pernikahan ini hanya untuk mengikatmu agar aku bisa menjaga hal yang telah diperjuangkan ayahku,” tutur Agra lembut dengan mata memandang tulus. ‘Aku kenapa?’
Namun reaksi Agina bukan seperti wanita pada umumnya. Bibirnya berkedut-kedut merespon perkataan Agra. ‘Sejak kapan Agra bisa mengucapkan kalimat buaya seperti ini,” membatin bingung. “Saya menolak.”
Wajah Agra tiba-tiba berubah dingin. “Maafkan aku, Ceo C.A. Kau tidak berhak untuk menolak. Pengawal, tangkap dia!” titahnya.
Senyum miring tercetak jelas di wajahnya. Matanya melirik bawahan yang terlihat ragu untuk menuruti perintah Agra.
“Apa kalian tuli, huh! Cepat lakukan yang ku perintahkan!”
Agina dengan santainya berdiri, berbalik hendak berjalan keluar. Namun tangannya dicekal.
Ternyata Agra sudah berdiri sambil menggenggam tangan Agina. “Apa semua pengawal yang berada di sini adalah milikmu?” Kilatan kemarahan terlihat jelas di matanya.
Agina menyentak tangannya dan cekalan Agra berhasil terlepas. “Ingat ini baik-baik tuan Agra Pratama. Kita memang memiliki pembagian yang sama dalam Pratama Group, tapi di hal yang berbeda. Jika berhubungan dengan perusahaan maka Anda lebih berhak, karena itu Saya selalu meminta tanda tangan Anda mengenai bisnis-bisnis demi kemajuan perusahaan. Namun soal karyawan, bawahan, pengawal atau apapun itu kecuali sekretaris Ezwar, maka perintah saya lebih diutamakan.” Setalah mengatakannya, Agina melangkah pergi meninggalkan Agra yang membeku di tempat.
‘Sial.’
Mendengar suara tapak sepatu yang beradu dengan lantai. Agina yang setengah jalan menaiki tangga, langsung turun ke bawah.“Oh, kau rupanya,” tukasnya. Agina menghampiri dan ikut duduk di sofa. “Stok akal kehabisan lagi?”Erwin itu mendengus. Wajar sih Agina berkata begitu, dirinya pulang langsung duduk di sofa ruang tamu dan memeluk bantal dengan senyum-senyum gak jelas di wajah tampannya. Tapi gak perlu bilang stok akal kehabisan segala, itu secara tidak langsung menyindirnya sudah gila.“Kau, sudah makan?” tanya Agina dan itu malah menambah binar di raut sahabatnya.“Sudah tadi, dengan wanitaku” Agina tidak terkejut atau terlonjak mendengarnya. Hal itu biasa baginya. Memangnya siapa lagi yang bisa membuat temannya ini menjadi tidak waras. “Oh, ya. Ku dengar Agra mengajakmu menikah.Agina memijit pelipisnya, “Dia benar-benar benci pada wanita setelah kejadian itu. Dan menganggap aku wani
Agina melepaskan helm dari kepalanya dan menggusar rambutnya sampai teruntai bergelombang di pinggangnya. Kemudian turun dari motor baru yang langsung tersedia dengan hanya mengucapkan beberapa kata. Bahkan pakaian kini yang tadinya kotor kini berganti.“Apa ini sikap yang harus diikuti oleh para bawahan, yaitu datang ke perusahaan saat sudah waktunya makan siang.”Agina memutar bola matanya jengah dan berbalik, menatap orang yang sedang menaikkan sebelah alisnya dengan senyum kemenangan yang terukir. “Sejak kapan Anda peduli dengan waktu saya, tuan Agra Pratama.”Agra menghendikkan bahunya dan tersenyum miring.Alis Agina menukik, entah dari mana firasat aneh muncul dalam dirinya. Dia bersidikap dan memandang lelaki itu curiga. “Apa Anda merencanakan sesuatu?”“Apa maksudmu?” Agra tertawa pelan menutupi kegugupannya. Sial, kenapa reaksinya seperti telah tertangkap basah. Kalau begini, rencananya tida
“Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya. Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya. Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya. Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?” Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih. Maafkan ak
“Begitu ‘ya. Baiklah, aku keluar. Di mana kau sekarang?” Agina mengangguk setelah mendapat jawaban dan mematikan ponsel. Meletakkan ponselnya di meja dan bangkit dari kursi kebesarannya. Ia menyampirkan blazer berwarna mocca di kedua pundaknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan. Namun belum sempat menekan sandi, pintu itu lebih dulu terbuka. “Sean,” ucapnya. “Ah, Nona. Saya ingin memberitahukan kalau orang itu mengorupsi lagi, namun kali ini dengan jumlah lebih besar yaitu sekian. Apa yang harus saya lakukan?” Menyampaikan dengan intonasi cepat. Lelaki bersurai pirang itu menghembuskan napasnya agar kembali tenang. Agina mendekap dadanya dengan lengan kiri, sedangkan siku lengan kanan bertopang serta jari telunjuk yang berada di dagu. Khas gaya berpikirnya. “Kalau begitu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.” “Pasti akan saya lakukan, Nona,” tegas Sean. Agina balas tersenyum.
“Seberapa banyak yang kau dapatkan?” tanya Agra. Ia menegapkan tubuhnya pada sofa saat sekretarisnya menyerahkan berkas padanya. “Informasinya tetap sama seperti sebelumnya,” jawab Ezwar. “Sama? Berarti sebelumnya kau sudah pernah menyelidiki tentang Agina ya.” Agra membacanya. Hembusan napas panjang menandakan ketidakpuasan dari apa yang dibacanya. “Sesedikit ini. Bahkan foto masa kecil serta nama panti asuhannya pun tidak ada.” Nama: Agina Pratama Umur: 23 tahun Pekerjaan: Ceo Makanan kesukaannya pun tidak ada, batinnya. “Pertama kali bertemu Agina, aura kepemimpinan begitu kentara menguar dari dirinya. Agina bahkan mampu mengerjakan tugas dengan sempurna. Jadi tidak ada alasan bagi saya membantah saat Ayah mengatakan dia sebagai Ceo Pratama Group,” terang Ezwar. Sedikit menunjukkan reaksi mendengar orang itu juga dibawa-bawa sekretarisnya. “Paman Ilham juga termasuk rupanya. Entah kenapa aku merasa kita berdua dikhia
Ezwar menyalip diantara kendaraan lainnya dengan hati-hati serta menjaga jarak aman dari Agina agar dia tidak curiga. Sial. Apa Agina seorang pembalap profesional juga? Bagaimana bisa dia menyalip kendaraan semulus itu padahal membawa motor dengan cepat. Merepotkan, gerutu Ezwar dalam hati. Begitulah, Ezwar. Selain mengikuti Agina, dia juga tidak berhenti ngedumel dalam hati. Bertanya-tanya anak siapa sampai bisa sehebat ini. Tempat yang didatangi Agina langsung menghasilkan kenyitan di dahinya. Ezwar memarkirkan motornya tidak jauh dari sana dan berjalan mengendap-endap. Melihat rumah besar yang dimasuki Agina. “Anggara Material Art” nama itu yang tertulis di papan atas. “Anggara? Marga itu terdengar gak asing.” Mengetuk-ngetuk kepalanya dengan telunjuk, mencoba mengingat-ingat kata itu kembali namun nihil. “Bagus, Agina tidak menutup pintunya,” ucapnya, melihat Agina yang membuka pintu lebar-lebar tapi lupa menutupnya. Dengan berjinjit-jinji
Suara ketukan pintu menghentikan kegiatan Agina yang sedang mengecek dokumen. Ia menekan tombol remote untuk membuka pintu. Memperlihatkan seorang pria gagap yang berjalan ke arahnya dengan sebuah kardus besar di tangannya. “Apa itu?” tanya Agina. Ia menyingkirkan beberapa berkas ke pinggiran meja, membiarkan kardus besar itu diletakkan di sana. “Kiriman dari orang yang tak diketahui, Nona,” ucapnya. Agina menelisik wajah pria itu yang disangka bawahannya. “Orang baru?” Pria itu membungkuk sedikit. “Ya, Nona. Saya baru diterima dua hari yang lalu.” Tubuhnya ia tegakkan kembali. Sontak matanya melotot melihat pistol yang ditodongkan padanya. Agina langsung menembak tepat mengenai perut. Pria itu terduduk sesaat sebelum akhirnya badannya jatuh tengkurap. Bibirnya tersenyum miring. “Maaf ya, tapi anggota Seven Devil’s punya sesuatu simbol yang tidak dimiliki anggota organisasi lain.” Memasukkan kembali pistol ke dalam saku celana lainnya.
“Kenapa membawaku ke tempat seperti ini?” tanya gadis yang sedang menumpu kaki dengan jus ungu di tangannya. “Tempat ini berbeda dengan tempat biasanya kita kunjungi yang pasti selalu mewah, di sini suasananya hangat dan penuh kegembiraan. Aku ingin merasakan itu denganmu, Tamaki,” kata Erwin dengan senyum. Gadis itu memalingkan mukanya, tanpa tahu kalau perbuatan itu malah semakin memperlihatkan kemerahan di pipinya. “T-tapi ini ‘kan tempatnya kencan pasangan remaja,” tuturnya. “Kita juga belum tua. Lagi pula dengan pakaian seperti ini, tidak akan ada yang tau kalau sebenarnya kita bukan remaja lagi.” Benar. Dengan Erwin yang memakai kaos oblong hitam ditutupi oleh Jaket kulit hijau dipadukan dengan celana jins biru serta sepatu sneakers navy-putih dan Tamaki memakai crop hoodie tosca dengan rok krim selutut juga sepatu sneakers Putih membuat mereka terlihat seperti remaja. “Pantas saja kau menyuruhku memakai pakaian seperti ini tadi,” ucap T