Share

Chapter 5

"Kyr, Kyr. Tugas yang ini udah selesai?" tanya seorang teman yang tiba tiba datang ke mejanya. Sebuah buku tulis terbuka di hadapan Kyra. Beberapa soal ditulis menurun dan masih kosong tanpa jawaban.

"E-eh, udah kok." Kyra yang tengah sibuk merapikan meja pun terkejut.

"Tuh ambil aja buku latihan Kyra. Jawaban Kyra bener tadi Alhamdulillah." dagunya sedikit ia angkat, mengarah pada buku tulis di pojok mejanya.

"Sip, makasih," jawab teman itu, kemudian membawa buku catatannya pergi. Itu bukan masalah yang besar bagi Kyra. Gadis kecil ini sangat suka jika bisa membantu teman teman sekelasnya.

/Tokk, tokkk

"Assalamualaikum, haii hai. Coba liat sini dulu." Kyra bangkit dari duduknya. Ia mengambil sebuah penghapus papan tulis dan sesekali mengetuknya ke atas meja guru, ia mencoba meraih perhatian teman temannya sebentar.

"Wa'alaikumussalam," jawab teman temannya serentak. Seketika, mereka menghentikan aktivitasnya, dan memfokuskan perhatian pada Kyra di depan.

"Nanti kalo ada ustadzah dateng, kita diem semua ya. Pokoknya harus rapi lipet tangan diatas meja. Jangan ribut. Oke?" ujarnya menyampaikan rencana yang ia buat.

"Hah? Ngapain?" tanya salah satu santriwati di kelas Kyra heran.

"Makan duren!!" tanya Kyra bercanda. Nada bicaranya cukup tinggi, beberapa mungkin mengira Kyra sedikit emosi saat itu.

"Oke, siap! Kalo makan duren, siap sekali saya." saut teman yang tadi bertanya.

"Yeuuu, makannya nih dengerin dulu. Itu siapa tuh yang dibelakang, coba liat kesini bentar. Kyra mau nyamapein sesuatu." Telunjuknya menunjuk lurus posisi teman yang duduk di bagian paling belakang. 

"Jadi, nanti pas ada ustadzah masuk buat ngisi jam pelajaran kita berikutnya, kita harus cepet cepet duduk rapi ya, pokoknya kelas harus tenang. Biar ustadzah tuh seneng masuk kelas kita." 

"Satu lagi, nanti kalo ustadzah lagi jelasin, jangan ada yang ngobrol sendiri kayak kemarin. Pokoknya, harus dengerin," tegas Kyra. Jabatan Kyra memang sebagai ketua kelas, jabatan ini yang selalu ia dapatkan dari tahun ke tahun semenjak duduk di bangku SMP. 

"Kyra kenapa deh? Mau cari pujian dari guru gitu? Jatohnya nyuruh nyuruh tau." bisik salah seorang teman di kursi paling belakang kepada teman yang lainnya. 

"Gak tau, gak tau. Nurut aja," saut teman yang ia bisiki. 

Tak lama pun, ustadzah mulai memasuki kelas. Dengan gamis indah dan hijab yang menutupi tubuh, ustadzah Kirana memasuki kelas. Seketika kondisi kelas hening, seluruh santriwati diam di kursinya masing masing. Para santriwati memenuhi perintah Kyra sebelumnya. Ustadzah Kirana terlihat senang, melihat santriwatinya siap untuk memulai pelajaran hari itu. Pelajaran pun dimulai, sepanjang pelajaran Kyra cukup aktif bertanya dan menjawab, anak itu memang cukup banyak bicara. Tak sedikit ustadzah disana yang dekat dengan Kyra. Ditambah Kyra banyak aktif di berbagai kegiatan pondok. 

***************************

"Aya, aya," panggil seseorang menghampiri Ataya yang tengah fokus membersihkan kelas. Hari itu jadwalnya Ataya piket. 

"Ah, iya?" Ataya menghentikan sapu yang ia ayunkan sebelumnya. 

"Shtt, sini sini." teman itu mendekat, matanya berkeliaran ke sisi sisi ruangan memastikan tak ada orang lain yang mendengar. Ataya pun mendekatkan telinganya, dengan perasaan heran dan penasaran. 

"Besok besok bilangin Kyra, kalo ada ustadzah kasih kesempatan buat nanya atau jawab sesuatu, kasih izin temen temennya buat jawab atau tanya. Yang mau dapet poin plus, bukan dia doang," ujaranya sedikit diberi taburan emosi. 

"O-oh, oke oke. Nanti Ataya coba sampein ke Kyra." Ataya cukup terkejut, rupaya yang dibicarakan itu tentang Kyra. Ataya mengangguk paham. 

"Makasih ya, kalo gitu aku tinggal. Semangat piketnya." Gadis itu dengan ramah meninggalkan Ataya. Terlihat Ataya masih diam bingung, sebetulnya keluhan soal Kyra mulai banyak di dengar akhir akhir ini. Ataya tak merasa ada yang aneh pada Kyra, mungkin karena dia sudah terbiasa. Ataya pun bergegas menyelesaikan piketnya dan pergi ke kamar untuk menghampiri sahabatnya Kyra. 

/Klekk

"Assalamualaikum." Ataya membuka kenop pintu kamar. Kebetulan sekali, disana hanya ada Kyra yang merapikan buku bukunya di lemari. Sebenarnya, sekarang sudah waktunya makan siang. 

"Wa'alaikumussalam," jawab Kyra spontan, ia melanjutkan kesibukan nya saat itu. 

"Kyr, lagi ngapain sih?" tanya Ataya mendekat

"Beresin buku, kenapa? Udah selesai kah piketnya?" 

"Owalah, udah kok. Aku mau ngomong sesuatu Kyr," 

"Ya Allah, tinggal ngomong aja kali. Kenapa, kenapa?" Kyra duduk tenang diatas ranjangnya, tempatnya di sebelah Ataya.

"Besok besok kalo ada pelajaran apapun itu, kamu boleh aktif, kamu boleh tanya dan jawab pertanyaan ustadzah, tapi kasih kesempatan temen temen lain buat jawab. Yang mau nanya dan jawab bukan kamu doang, Kyr. Bukan Aya, tapi temen temen yang lain," ujar Ataya jujur. Kini matanya menatap serius Kyra. 

"L-lho em-emangnya Kyra berlebihan banget ya?" tanya Kyra mengangkat kedua alisnya. 

"Ya gak gitu, maksudnya kasih giliran juga gitu buat temen temen yang lain." 

"Hmm, oke deh. Makasih lho udah diingetin, emang kayaknya Kyra nya terlalu semangat sih tadi." 

"Gak papa, gak papa. Udah yuk lah, makan."

"Yuk!" Kyra dengan semangat bangkit dari duduknya, dan bergegas keluar kamar bersama Ataya. 

Menu makan siang hari itu, cukup berbeda dari biasanya. Itu menu makan siang favorit Kyra dan Ataya. Nasi kebuli buatan omah. Seketika ruangan makan itu, dipenuhi dengan harumnya nasi kebuli. 

"Eh, Maa Sya Allah tau aja lagi kepengen nasi kebuli. Gas, gass." Kyra memasuki ruang makan dan menghampiri kelompok makannya. 

"Mantep nih, mantep. Yuk yukk, dah pada cuci tangan belum?" lanjut Ataya duduk melengkapi lingkaran yang belum sempurna. 

"Eh iya, ini berarti para santriwan juga makan ini?" tanya Ataya dengan raut bingungnya. 

"Ciee mikirin anak santriwan," ledek teman lain menyenggolnya pelan. 

"Gak gitu, astagfirullah. Abang Aya gak suka nasi kebuli, jangan jangan dia gak makan lagi," terangnya mulai menggenggam sebuah sendok. 

"Oya??" Kyra terkejut. 

"Ho oh, abang gak bisa makan nasi kebuli. Gak suka lebih tepatnya sih," lanjut Ataya. 

"Owalah, mungkin tetep dimakan sama abang mu. Atau paling gak ya nyuap dikit. Cie khawatir cie...." Kyra menggerakan sikutnya menyentuh tubuh Ataya. 

"Gak, gak. Cuma kayak kasian aja masa gak makan." geleng Ataya menolak setuju. 

"Mana dia anaknya gak berani ngomong, diem diem bae." 

"Iya juga, abang mu pendiem kan ya?" 

"Pendiem sih mending, ini mah lebih ke gak mau bersosialisasi. Dia tuh gak betah kalo ada orang di sekitar dia. Kan kayak, ah dahlah. Capek mikirin." 

"Uww, sampe gitu ya? Itu aman kah? Maksudnya, normal gak? Takutnya, ada gangguan apa gitu?" Kyra merespon penasaran. 

"Gak tau juga, jangankan orang lain, lah ini adeknya sendiri aja jarang banget diajak ngobrol." 

"Berarti kamu jarang gitu ya curhat curhat atau cerita sama abang mu?" 

"Ih, boro boro. Kyra baru ngedeket doang mau ngomong sesuatu misalnya, dia udah pindah tempat. Kayak ada firasat nih adeknya mau ngomong, gitu. Makannya, agak kaget pas tau umma masukin abang kesini juga. Ternyata, maksud umma biar abang itu terbiasa sama irang orang dan gak jadi anak yang anti sosial. " 

"Gak salah sih, umma masukin ke pesantren. Ya semoga aja membaik ya kondisi abangmu. Bisa lebih terbuka lagi sama orang," 

"Aamiin aamiin, entar kapan kapan temenin Aya ke gedung abang ya." 

"Wushh, siap laksanakan!" jawab Kyra antusias.

Obrolan mereka siang itu, soal abang Ataya yang belum lama ini masuk pondok pesantren Darul Haq. Ataya cukup banyak bercerita soal abangnya, dan sebagai sahabat yang baik, Kyra tak bosan mendengarnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status