Share

Chapter 6

"Ini sampai kapan sih kayak gini?" tanya seorang santriwan dalam pikirannya sebelum menikmati tidur malam yang panjang. Ya, itu Abian. Abian memang jarang berbicara, namun sebenarnya seribu satu pertanyaan sedang berlalu lalang di pikirannya. Santriwan lain sudah mulai bermain dalam dunia mimpinya masing masing. Tapi tidak dengan Abian. Menatap langit langit kamar yang luas, ia berbaring diatas ranjangnya. Hari itu, Abian mendapat tempat tidur di bagian atas. Ia sebenarnya, sangat tidak nyaman tidur di kasur yang tinggi, ia juga tak bisa bebas bergerak, karena kayu yang menyangganya itu sering kali berbunyi, ia tak mau mengganggu teman di bawah yang sedang tidur. Perlahan Abian bangun, kamar sebenarnya sudah gelap, tapi Abian sangat menyukai suasananya. Suasana yang jarang sekali ia dapatkan semenjak menjadi santriwan di pesantren itu. Abian gunakan waktu malamnya untuk introspeksi diri, mencoba menyelesaikan pertanyaan pertanyaan seputar hidup yang sejak tadi berlari lari di pikirannya. Mengambil kacamata di samping bantal dan memakainya. Matanya belum mengantuk, ia harap tak ada ustadz yang mengganggu ketenangannya malam itu. Abian ingin gunakan waktu itu, untuk berbicara dengan dirinya sendiri tanpa bersuara. Hal aneh namun fakta. Abian berpendapat, bahwa satu satunya makhluk hidup yang perlu di ajak bicara adalah diri sendiri. 

*********

"Allahu akbar allahu akbar," suara adzan berkumandang merdu dari masjid Darul Haq. Masjid yang cukup besar yang berdiri tepat di depan pondok pesantren Darul Haq. Seluruh santri bergegas berebut kamar mandi. Suasananya sudah mulai riuh, masih banyak yang mengantri untuk mandi, dan beberapa mengantri untuk mengambil wudhu. 

"Eh, Abian. Antum udah wudhu?" seorang teman menyapa sembari menepuk punggung belakang Abian. Abian berjalan diam mengarahkan pandangannya ke lantai per lantai yang ia injak. Dirinya sedikit mempercepat langkahnya, tanpa menjawab sepatah katapun. 

“Lah, salahkah? Perasaan nanya baik baik tadi.” gumam temannya membiarkan Abian berjalan lebih dulu. 

Abian kini benar benar tak mau bersosialisasi dengan siapapun. Dirinya jauh merasa tidak nyaman berada ditengah teman temannya yang lain. Wajar saja banyak santri terheran heran melihat sikapnya akhir akhir ini. Banyak ustadz pun mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan Abi? Sejak awal masuk, bahkan kini Abian sudah lebih dari satu minggu tinggal disana, sikapnya tak berubah. 

“Abiann,” 

“Assallamualaikum Bi,” 

“kak Abian,” 

Sapa beberapa teman dan adik kelas yang melihatnya. Ia memang tak terlalu terkenal disana, namun berhubung Abian santri baru, beberapa teman dan adik kelas yang melihat, pasti menyapa. Abian hanya membalas pelan dan melanjutkan langkahnya, ia benar benar tak peduli dengan kondisi disekitarnya. Pagi itu para santri melaksanakn shalat shubuh berjama’ah di masjid. Setibanya di masjid, rupanya imam disana belum datang, tapi alarm sudah berbunyi menandakan shalat harus dimulai. 

“Shtt, shttt...udah waktunya shalat. Ayo, ada yang mau ngimamin?” tanya ustadz mendongakkan kepalanya mengecek dan memastikan para santri sudah rapi di barisan shalatnya masing masing.

"Ayo, kakak kakak kelas 12 yuk. Udah pada besar lho, masa masih belum berani ngimamin?” lanjut ustadz setelah suasana jauh lebih tenang dan hening. 

“Nah, coba Abian! Yuk, nak imamin,” panggil ustadz melihat Abian yang diam di barisan pojok belakang, tangannya berisyarat menyuruh Abian maju mengimami jama’ah shalat shubuh masjid Darul Haq. Perhatian para santriwan pun teralihkan, pandangannya tertuju lurus pada Abi. 

Abian yang terkejut mendengarnya, mencoba tetap tenang mengetahui tatapan orang orang pada dirinya, beberapa percik air wudhu masih tersisa di wajah Abian. Ia melangkah maju memenuhi panggilan ustadz. 

“Nah, Abi yang ngimamin ya. Ustadz mau denger suaranya. Silahkan, nak.” tangan ustadz mengarah pada tempat imam di bagian depan. Abian yang masih mencoba mengendalikan diri pun reflek mengangguk menyetujui. Hembusan napas panjang lepas, Abian melangkah maju ke tempat imam di bagian depan. 

Shalat shubuh pun dimulai, Abian mulai bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya dan diikuti dengan para makmum di belakang. Abian mulai mengeluarkan suara emasnya, suara yang selama ini sedikit sekali ia bebaskan, suara yang belum banyak terdengar di kalangan santri santri pondok pesantren Darul Haq. Lantunan ayat suci Al - Qur’an yang merdu terdengar hingga pemukiman warga sekitar. Tak sedikit jama’ah yang kagum dan tersentuh dengan suara Abian, bahkan Ataya adik kandungnya sendiri pun tak menyangka itu suara sang kakak, saking jarangnya ia mendengar Abian membaca Qur’an. 

“Assallamualaikum warahmatullah,” selesai sudah shalat shubuh pagi itu. Abian membuang napas lega menyelesaikan shalatnya. Ia memutar tubuhnya menghadap para makmum yang jumlahnya tak sedikit. Terkejut Abi melihat beberapa lansia yang mengelap matanya, mata yang jelas terlihat basah seperti usai menangis. Ia kebingungan, bibit bibit pertanyaan mulai tumbuh dalam pikirannya, namun ia hanya ingin menjawabnya sendiri.

“Saya ada salah ayat kah tadi?” batin Abian kebingungan.

“Atau-“ pertanyaannya yang mengusik pikiran itu terputus. 

“Maa Sya Allah Abian, suaranya merdu sekali, nak. Ustadz dengarnya merinding.” ujar ustadz setelah menyelesaikan dzikir setelah shalat. 

“Betul, ustadz. Maa Sya Allah,”

“Saya sendiri juga terharu pak ustadz,” lanjut jama’ah lain ikut menyetujuinya. 

“Maa Sya Allah, Baarakallahu Fiik nak Abian. Besok besok sering ngimamin shalat ya, nak.” Puji abah pemilik dan pendiri pondok pesantren serta masjid Darul Haq. Abian benar benar tak menyangka, suaranya tadi disukai jama’ah bahkan abah pun ikut terharu mendengarnya. Abian mengangguk dengan senyum tipisnya yang manis. Mustahil, sangat mustahil bagi Abian untuk memberikan itu pada banyak orang. Senyum yang selama ini selalu menjadi tanda tanya bagi santiwan lain pun akhirnya terjawab. Itu Abian berikan untuk menghormati para jama’ah yang memujinya, apalagi disana ada abah. 

“AGHH, MERASA TERSAINGI. SENYUMNYA, BRO!!” bisik salah seorang teman yang melihat senyum tipis Abi. Memang sangat manis. 

“Subhanallah, Maa Sya Allah, senyumnya bikin lupa gender,” 

“Pantes itrit senyum, mahal bos senyumnya.” saut beberapa teman lain yang juga terpesona melihat senyum seorang Abian. 

*******************

“Atayaa, Maa Sya Allah ih abang kamu, suaranya bikin geterr.” 

“Iya ih, suka aaaa!!!!” 

“Subhanallah ah suaranya.”

“Ih, itu tadi suara abangnya Ataya? katanya pendiem aish, suaranya suka!”

Puji teman teman Ataya saat perjalanan pulang seusai shalat shubuh di Masjid. Hanya beberapa teman yang mengetahui itu suara Abian, kakak laki laki Ataya. Mereka yang duduk satu baris dengan Ataya saat shalat tadi lah yang ia beri tahu. Sayangnya, Kyra sedang tak shalat hari itu. Kyra hanya mendengar suara merdu sang imam, tapi sosoknya masih misterius.

“Iya, abang Ataya tadi. Ataya aja gak tau dia punya suara sebagus itu. Dah dibilang, anaknya jarang banget ngomong, kalo hafalan juga biasanya di kamarnya sendiri, tadi pas ustadz manggil, agak kaget juga. Untungnya dia berani.”

“Maa Sya Allah, gak adeknya gak abangnya bagus semua. Keren, Ya.”

“Ih, gak. Ataya biasa aja ah tapi makasih banyak lho, hehe.’

Berhenti sudah perbincangan para santriwati itu selama perjalanan pulang menuju pondok. Tak jauh berbeda dengan para santriwan, santriwati pun banyak yang kagum mendengar suara merdu Abian tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status